Berikut ini adalah sambutan Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pendeta Gomar Gultom dalam Pembukaan Sidang Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) di Jakarta, 7 November 2023
Yang mulia Bapak Kardinal, Presidum KWI, Pak Ketua dan Pak Sekjen, Nuncio Apostolik yang saya hormati dan Bapak Direktur Jenderal Bimas Katolik, para Monsinyur yang saya muliakan serta seluruh Sekretaris Eksekutif dan Sekretaris KWI, Bapak-Ibu peserta persidangan yang saya muliakan.
Dalam rasa syukur kepada Tuhan, izinkan pertama-tama saya menyampaikan penghargaan atas kesempatan yang diberikan kepada saya atas nama Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia menyapa para Monsinyur melalui persidangan tahunan ini.
Kerja-kerja bersama PGI dan KWI dari tahun ke tahun saya kira telah makin mempererat insan kristiani di bumi Indonesia dalam merefleksikan peran sosialnya di tengah-tengah masyarakat dan bangsa kita. Izinkan juga saya menyampaikan selamat atas mulai digunakannya gedung yang kita banggakan ini. Semoga batu-batu yang diangkut dari gunung, pasir dari lautan, kayu dari hutan, baja dan kaca dari pabrik-pabrik peleburan menyatu dalam gedung ini dan bisa diresmikan pada Mei yang akan datang, menjadi sumber inspirasi bukan saja bagi umat Gereja tetapi bagi bangsa ini. Kiranya gedung ini menjadi berkat bagi masyarakat sehingga setiap orang yang datang ke gedung ini terberkati. Bahkan orang yang sekadar lewat di Cut Meutia ini juga memperoleh rasa damai dengan menyaksikan nanti gedung yang megah di sini.
Para Monsinyur yang saya hormati,
Persidangan kita ini tidaklah terjadi di ruang hampa, melainkan terjadi di tengah-tengah pergumulan konkret yang mengitari kita sebagai bagian dari masyarakat dan bangsa Indonesia. Sebagai Gereja, saya selalu diingatkan untuk menyimak dengan seksama realitas yang mengitari kehidupan kita sebagai Gereja, dan selanjutnya menanggapi realitas tersebut dalam firman Tuhan. Itu yang saya pahami dengan hidup berteologi atau biasa kita sebut berteologi dalam konteks.
Konsultasi teologia yang pernah diselenggarakan oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, November 1970, waktu itu masih bernama Dewan Gereja-gereja di Indonesia merumuskan, pergumulan rangkap Gereja-gereja di Indonesia yang di satu sisi sebagai warga Gereja, tetapi pada saat yang sama juga warga Kerajaan Allah yang adalah warga negara Republik Indonesia. Dengan demikian, Gereja-gereja di satu sisi orang Kristen bergumul dengan Tuhannya, dalam arti menghayati kebenaran dan anugerah di dalam Yesus Kristus, dan di pihak lain sekaligus merupakan pergumulan dan berefleksi atas kebudayaan dan realitas masyarakat di mana iman kepada Yesus Kristus itu dihidupi.
Saya kira ini juga yang diungkapkan oleh Monsinyur Soegijapranata, Uskup Agung Semarang yang menyatakan 100 persen Katolik, 100 persen Indonesia. Dan kiranya persidangan ini memberi inspirasi baru bagi kita semua dalam merumuskan panggilan dan sikap teologis kita di tengah pergumulan konkret masyarakat Indonesia saat ini.
Salah satu pergumulan konkret kita kini adalah sebagaimana tadi sudah diungkapkan oleh Ketua KWI, bagaimana kita mempersiapkan warga Gereja menyikapi Pemilu yang sudah di ambang pintu. Sebagai bangsa, kita telah menetapkan demokrasi sebagai kendaraan menuju masyarakat adil dan makmur yang kita cita-citakan. Dan salah satu prasyarat negara demokrasi adalah penyelenggaraan Pemilu sebagai mekanisme berkala pemilihan wakil rakyat untuk menjadi penyelenggara negara. Sebagai demikian, meski Pemilu 2024 yang akan datang bukanlah segala-galanya dalam hidup kita, namun tanpa Pemilu 2024 yang berkualitas kita akan makin sulit menggapai keadilan dan kesejahteraan di masa depan. Oleh karena itu, menurut hemat saya, menjadi keharusan bagi kita semua sebagai Gereja, memperjuangkan dan mengawal penyelenggaraan Pemilu 2024 ini untuk sungguh-sungguh mencermati nilai-nilai demokrasi yakni kemanusiaan, kesetaraan dan keadilan.
Saya sungguh bangga melihat jadwal persidangan kita, di mana akan ada juga Ketua KPU dan Ketua Bawaslu untuk memberi kita lebih banyak informasi di mana kita bisa berpartisipasi dalam penyelenggaraan Pemilu ke depan.
Kita bersyukur bahwa sejak reformasi 98, kita telah mampu menyelenggarakan Pemilu yang makin mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan telah melahirkan penyelenggara negara yang lebih mencerminkan kehendak rakyat. Namun, dari pengamatan sementara akan proses demokratisasi yang terjadi beberapa waktu belakangan ini, terutama bulan-bulan terakhir ini, kita sungguh prihatin dengan makin terpinggirkannya etika politik dalam pengambilan keputusan dan perilaku para elit politik kita. Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa perpolitikan kita kini sungguh-sungguh politik niretika.
Realitas sedemikian adalah cermin masyarakat yang sakit. Ketika masyarakat tidak lagi mementingkan kepatutan dalam bersikap. Paling tidak kita bisa katakan masyarakat kita begitu permisif terhadap berbagai bentuk manipulasi maupun korupsi yang menggurita di negeri kita. Ada juga yang menyebutkan bahwa krisis moral sedemikian adalah juga akibat dari kegagalan agama-agama. Dan kalau itu betul, termasuk juga kegagalan kita sebagai Gereja.
Betul, Gereja masih hadir sebagaimana nampak melalui ibadah-ibadah yang mengharubirukan, kidung-kidung pujian begitu membahana, doa-doa semalam suntuk dilantunkan, tetapi patut juga kita berefleksi, jangan-jangan kita tinggal menjalankan fungsi minimal saja dari Gereja berupa ritus-ritus keagamaan. Tetapi peran transformatif Gereja yang menyejarah itu, yaitu membawa pembaharuan di tengah masyarakat, jangan-jangan sudah tidak dijalankan lagi.
Dalam kaitan itulah saya senantiasa mendorong Gereja-Gereja, paling tidak dalam lingkungan PGI untuk terus merumuskan ulang pemikiran dan sikap teologis yang dapat menjawab berbagai permasalahan kini. Terutama juga di tengah masyarakat kita yang semakin kehilangan nilai-nilai etis.
Sependek pemahaman saya, sikap etis atau etika jauh melampaui hukum, karena etika merupakan wahana untuk suatu pertimbangan moral mengenai hal-hal yang sepatutnya di mana seseorang menentukan etis tidaknya suatu tindakan atau keputusan. Tentu di sana kita tidak sedang berbicara mengenai benar dan salah, yang dari perspektif hukum bisa diputuskan secara normatif. Kita semua mengetahui penilaian atas tindakan atau keputusan etis jauh lebih kompleks dari itu. Karena tindakan atau keputusan etis tidak semata soal kepatuhan kepada hukum, tetapi sesuatu yang muncul dari sebuah kesadaran eksistensial. Di sinilah masalah besar yang menurut saya sedang menghantui kita sebagai bangsa. Persoalan yang kita hadapi kini adalah masih rendahnya kemampuan dan kesadaran akan perlunya tindakan dan keputusan etis dalam kehidupan kita terutama sebagaimana diperlihatkan oleh para elit politik kita.
Kita diingatkan oleh psikolog Lawrence Cohlberg, meski disadari bahwa hukum sebagai pengaturan hidup bersama adalah produk kesepakatan, dan olehnya setiap saat bisa berubah, tetapi tetap diperlukan akal sehat, kepatutan, dan tenggang rasa yang memuncak pada kesetiaan hati nurani sebagai yang mestinya mendasari setiap pengambilan keputusan etis.
Dalam kesadaran sedemikianlah, mestinya kita bisa berjalan bersama menuju Indonesia damai di mana kesadaran etis yang melampaui hukum senantiasa dikedepankan dalam perjalanan bersama. Mengingat apa yang dikonstantir oleh almarhum Monsinyur Situmorang, Uskup Padang, kita ini punya kecenderungan menggapai damai bagi diri sendiri dengan mengabaikan bahkan menegasikan rasa damai orang lain. Dengan ungkapan Monsiyur Situmorang (almarhum) itu, maka damai mestinya harus ada dalam kebersamaan. Damai harus ada dalam perjalanan bersama sebagaimana tema persidangan ini.
Semoga persidangan kita kali ini makin menyadarkan kita akan peran Gereja untuk menanamkan nilai-nilai etis, moral, dan spiritual dalam kehidupan kita berbangsa. Tuhan memberkati kita semua!