Tinggal dalam kasih Kristus merupakan sebuah sikap batin yang diharapkan berakar dalam hidup kita sepanjang waktu. Hal ini meminta kita untuk memberi ruang dalam diri kita agar kasih Kristus bertumbuh dalam diri kita. Pastor Gereja Santa Theresia Bongsari, Eduardus Didik Chahyono, SJ menyampaikan hal tersebut dalam ibadat ekumene Pekan Doa Sedunia untuk Kesatuan Umat Kristiani (PDS KUK) 2021, 18 Januari 2021.
Ia menjelaskan, PDS KUK 2021 bertema “Tinggallah di dalam Kasih-Ku, Kamu akan Berbuah Banyak” yang diambil dari Injil Yohanes 15:1-17. Doa, renungan, dan refleksi Pekan Doa Sedunia tahun 2021 dipersiapkan oleh Komunitas Monastik Grandchamp dari Switzerland. Menurutnya, melalui tema tersebut kita diajak untuk berdoa, mengadakan rekonsiliasi dan membangun persatuan Gereja Allah dan keluarga umat manusia.
“Usaha untuk memberi ruang pertumbuhan iman dan kasih tersebut membutuhkan perjuangan yang tidak mudah di zaman ini. Ada sejumlah gangguan, godaan, kebisingan, dan sejumlah tantangan dalam hidup kita. Pekan Doa Sedunia untuk Kesatuan Umat Kristiani 2021 masih diwarnai situasi pandemi Covid-19. Pembatasan-pembatasan yang ada di sekitar kita hendaknya membantu kita untuk semakin berakar dalam Kristus dan mendorong kita memperhatikan aspek spiritual untuk menunjang kesehatan tubuh dan jiwa kita. Maka kita perlu mewujudkan keseimbangan hidup. Aspek duniawi dan rohani perlu mendapat proporsi yang tepat agar kita dapat melalui kehidupan di masa pandemi ini. Tak boleh lupa kita terus diajak untuk peduli pada sesama sebagai tanda nyata kita berbuah banyak karena selalu berakar dan tinggal bersama Kristus,” katanya dalam ibadah yang diselenggarakan di Gereja Santa Theresia Bongsari itu.
Keuskupan Agung Semarang, lanjutnya, menekankan bahwa persatuan dengan Kristus itu mutlak harus terjadi agar semangat kekatolikan, semangat kerasulan, dan semangat kebangsaan yang ingin kita wujudkan dapat terlaksana secara optimal melalui penguatan kerja sama dan bersinergi serta pelayanan yang profesional bagi seluruh pemangku kepentingan dan perangkat pastoral di keuskupan.
“Kita berjuang mewujudkan cita-cita bersama masyarakat Indonesia yang juga sedang bekerja keras mewujudkan tatanan baru kehidupan di pelbagai bidang, terutama dalam mengupayakan kesejahteraan yang berkeadilan, demokrasi yang melibatkan atau partisipatif, dan relasi sosial yang bermartabat. Kita berharap bahwa cita-cita besar itu dapat tercapai yaitu mewujudkan peradaban kasih,” katanya.
Ibadah ekumene sore itu juga dihadiri oleh Vikaris Episkopal Kevikepan Semarang, Pastor FX Sugiyana, Pr; Pendeta Rahmat Pasca Rajaguguk dari GKI Gereformeerd Semarang, Pendeta Sediyoko dari GKJ Semarang Barat, dan Pendeta Wipro Pradipto dari Gereja Pimpinan Roh Kudus Semarang.
Dalam khotbahnya, Pastor Sugiyana menekankan aspek persaudaraan yang berbuah dalam Kristus. “Pada Injil Yoh 15:1-17 tadi, kita bersama-sama diajak untuk menghayati dua hal. Yang pertama kita diajak untuk tinggal dalam Kristus dan berbuah. Ajakan itu telah kita tanggapi melalui baptisan yang kita terima. Sebab kita yakin, setiap orang yang dibaptis bukan hanya percaya kepada Kristus tetapi juga bersatu dengan Kristus dan kita diangkat menjadi anak-anak Allah,” katanya.
Dan siapapun, menurutnya, yang diangkat menjadi anak-anak Allah akan diberi warisan hidup ilahi yang bersumber dari Allah sendiri. “Dan juga siapapun yang bersatu dengan Allah diharapkan ia bisa berbuah banyak. Buah itu bisa buah kasih, buah kekudusan, buah keselamatan, dan terutama buah persaudaraan dan kesatuan kita semua,” katanya.
Yang kedua, menurutnya, kita diajak untuk bisa bersatu dan bersaudara satu dengan yang lain sebagai orang-orang yang percaya kepada Kristus. “Iman akan Kristus menjadikan kita satu dengan yang lain sebagai saudara. Kita punya jalan yang sama, yakni jalan pikiran Tuhan. Kita punya hukum yang sama yakni hukum Tuhan. Kita punya jiwa yang sama yakni Roh Kudus. Dan tugas kita pun juga sama yakni menghadirkan Kerajaan Allah. Dan sampai pada akhirnya kita punya tujuan yang sama yakni Rumah Bapa,” imbuhnya dalam ibadah yang juga disiarkan secara online itu.
Ia pun menyinggung sejarah Gereja yang tidak sejalan sehingga melahirkan gerakan reformasi. “Kita akui dalam perjalanan sejarah Gereja, memang kita pernah mengalami masa di mana kita tidak sejalan walaupun dalam satu iman. Kebijakan-kebijakan Gereja pada waktu itu pernah menjadikan seperti titik perbedaan, titik perpisahan, yang akhirnya memunculkan Gereja Reformasi. Hubungan kita pernah menjadi terasa jauh. Tidak ada komunikasi. Semua merasa belum ada saat yang tepat untuk bertemu, untuk berekumene, untuk bergandeng tangan,” katanya.
Namun, sebagai orang Katolik, ia bersyukur karena Konsili Vatikan II pada akhirnya melahirkan dokumen-dokumen tentang Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik. “Dan juga melahirkan dokumen tentang ekumenisme yang membuat akhirnya kita kembali bersaudara dalam Gereja Kristus,” imbuhnya.
Dalam sebuah film mengenai Konsili Vatikan II, demikian Pastor Sugiyana berkisah, Paus Yohanes XXIII sebagai penggagas Konsili Vatikan II pernah mengatakan hal penting saat ia berjumpa dengan tokoh Gereja lain yang pada waktu itu diundang untuk Konsili Vatikan II. “Beliau mengatakan begini, ‘Kita telah 400 tahun, kita tidak bertemu. Kita mencintai Tuhan yang sama. Tetapi ada yang memisahkan kita. Sekarang inilah waktunya kita menyingsingkan lengan baju dan bekerja agar kita dapat berdoa bersama-sama’,” ungkapnya.
Kerinduan Paus Yohanes XXIII pada akhirnya menjadi kenyataan. Konsili Vatikan II melahirkan Gereja Katolik sebagai Gereja yang berdialog dan berekumene. Empat dokumen dari 16 dokumen berbicara mengenai Gereja yang mau berdialog dan berekumene dengan Gereja-gereja dan agama-agama lain.
“Terhadap Gereja-gereja yang berada dalam Gereja Kristus, Gereja Katolik mengusahakan terwujudnya gerakan ekumenis. Yaitu suatu gerakan untuk mendukung kesatuan umat Kristen yang memiliki kesamaan dalam pengakuan akan Allah Tritunggal dan akan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan penyelamat,” imbuhnya.
Gerakan tersebut, lanjutnya, diwujudkan dengan aneka macam kegiatan yang menumbuhkan kesatuan sebagai Gereja Kristus. Di antaranya adalah melalui doa bersama, pertukaran pandangan tentang hal ikhwal Gereja masing-masing dan juga melalui sikap saling bersaudara sambil mengusahakan adanya pertobatan hati sebagai bentuk pembaharuan diri.
“Pandangan positif Gereja itu diikuti dengan dorongan agar seluruh umat Katolik di manapun berada, seluas dunia, sepanjang masa menjalin kerja sama dan dialog dengan umat yang berkeyakinan lain maupun juga dengan Gereja-gereja lain,” katanya.
Hal itu dinspirasikan dari salah satu dokumen Konsili Vatikan II, “…Gereja mendorong para putranya supaya dengan bijaksana dan penuh kasih melalui dialog dan kerja sama dengan penganut agama lain sambil memberi kesaksian tentang iman dan perihidup kristiani mengakui, memelihara, mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosial budaya yang terdapat pada mereka. (NA 2 )
Dalam perkembangan selanjutnya, Paus Fransiskus melalui Anjuran Apostolik Evangelii Gaudium (EG) atau Suka Cita Injili, menempatkan dialog dan ekumene tersebut dalam konteks evangelisasi yang diusahakan untuk memajukan pengembangan manusia seutuhnya serta kesejahteraan umum. “Melalui dialog, Gereja mewartakan Injil damai sejahtera sambil bekerja sama dengan para pemimpin bangsa untuk memelihara kebaikan universal. Dan ini masa yang paling baik bagi kita bersama-sama, maka persaudaraan kita sebagai Gereja Kristus, kita bersama-sama bisa ikut mengusahakan membantu umat di dalam menghadapi masa-masa yang berat ini, masa pandemi ini,” katanya.
Pastor Sugiyana mengingatkan, saat ini kita mengalami masa yang tidak mudah. Banyak orang membutuhkan dukungan, membutuhkan doa, membutuhkan solidaritas, dan membutuhkan kehadiran. “Maka saya mengajak Anda semua sebagai orang-orang yang telah dipanggil oleh Kristus, telah bersatu dengan Kristus, semoga menghasilkan buah-buah, yakni buah persaudaraan, buah persahabatan, buah solidaritas. Kita berdoa untuk mereka semua yang saat ini mengalami masa-masa berat karena pandemi. Juga di beberapa tempat ada kecelakaan, ada banjir, ada bencana dan macam-macam. Doa-doa Anda dibutuhkan untuk menguatkan hati orang-orang yang sedang mengalami situasi yang berat itu,” katanya.
Pastor Sugiyana berharap, persaudaraan ekumenis bisa menghasilkan sebuah solidaritas. “Solidaritas dengan membagikan apa yang Anda bisa. Berdoa untuk mereka semua agar kita semua bisa segera terhindar dari pandemi ini dan semua mengalami kondisi yang sehat. Kita dukung apa yang menjadi usaha-usaha pemerintah terutama dalam rangka vaksinasi untuk masyarakat Indonesia. Semoga hasil dari vaksinasi ini sungguh-sungguh bisa membuat masyarakat sehat kembali, terhindar dari Corona ini. Mari kita jadikan persaudaraan kita semua dalam iman akan Kristus ini menjadi persaudaraan yang membuahkan perubahan-perubahan hidup dalam diri orang di sekitar kita dan terutama mereka-mereka yang membutuhkan,” katanya.
Sedangkan Pendeta Sediyoko melalui khotbahnya mengingatkan betapa pentingnya bersatu dengan Sang Pokok Anggur, Yesus sendiri. Menurutnya, melalui metafor Yesus sebagai Pokok Anggur, Tuhan Yesus ingin menyatakan Diri-Nya sebagai sumber kehidupan. “Itu artinya setiap umat, setiap orang percaya yang menjadi ranting-ranting-Nya, akan bisa menghasilkan buah yang lebat, bisa menghasilkan buah kebenaran yang sejati,” katanya.
Oleh karena itu, menurutnya, setiap orang yang ingin menghasilkan buah kebenaran dan keselamatan harus melekat dengan Yesus sebagai Pokok Anggur yang benar. “Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri kalau dia tidak tinggal pada pokok anggur,” katanya. Dengan demikian, lanjutnya, relasi umat dengan Kristus pada hakikatnya tidak dapat ditawar-tawar.
Menurutnya, ada dua hal penting yang bisa dilakukan umat Kristus supaya bisa bertumbuh dan berbuah sesuai rencana Tuhan. “Yang pertama adalah umat harus merelakan dirinya dibersihkan oleh Kristus,” katanya. Menurutnya, setiap pohon anggur yang bertumbuh akan selalu dibersihkan oleh pemiliknya, dipupuk dan diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Daun dan ranting yang kering dipotong agar tidak mengganggu pertumbuhan. Ranting yang berbuah itu dibersihkan. Dengan demikian, pohon anggur akan menghasilkan buah yang baik.
“Demikian juga dengan kita semua sebagai umat Kristus, jika ada hal-hal yang mengganggu pertumbuhan iman rohani kita, menghalangi umat untuk dapat menghasilkan buah yang baik, pasti akan dibersihkan. Untuk itu, umat harus memiliki hati yang rela untuk dibersihkan oleh Tuhan Yesus. Jangan mengeraskan hati ketika berada dalam proses pembersihan. Ketika kita punya masalah, masalah datang silih berganti, sebenarnya masalah-masalah yang kita hadapi merupakan cara bagi Tuhan Yesus untuk membersihkan kehidupan umat-Nya,” katanya.
Yang kedua, sebagai umat Kristus, kita harus tetap melekat pada Tuhan Yesus. Menurutnya, ranting-ranting yang menempel pada pokok anggur akan terus mendapat nutrisi yang dibutuhkan dalam hidup. Nutrisi yang dibutuhkan akan terus mengalir. Nutrisi akan menghidupi ranting yang masih melekat pada pokok anggur. Sampai pada proses pertumbuhan buah, nutrisi tetap dibutuhkan. Nutrisi akan terus dibutuhkan agar buah dapat bertumbuh dengan baik.
“Kalau saudara-saudari semua sebagai ranting-ranting Kristus mau berbuah banyak dan lebat, satu kuncinya, umat harus tetap melekat pada Tuhan Yesus,” ungkapnya.
Di kota Semarang, selain di Gereja Bongsari, ibadah ekumene juga diselenggarakan di Gereja Santo Ignatius Krapyak (24 Januari 2021). Di Kabupaten Klaten, ibadah ekumene diselenggarakan di Kecamatan Wedi, tepatnya di Gereja Paroki Wedi (25 Januari 2021 dan GKJ Wedi (23 Januari 2021).