Maraknya kejahatan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Nusa Tenggara Timur (NTT) membuat Pendeta Emmy Sahertian mendirikan Komunitas Hanaf. Ia prihatin dengan kejahatan kemanusiaan TPPO yang seolah mengalami normalisasi di NTT. “TPPO di NTT itu mengalami normalisasi ya. Orang sudah anggap biasa itu kayak kacang goreng aja begitu, dan tidak ada lagi, seolah-olah membuat rasa kemanusiaan itu menjadi baal. Dia menjadi apa tuh, beku. Jadi, akhirnya orang hanya bilang oh gitu toh, oh begitu toh. Dan itu memang cukup menyakitkan,” kata Pendeta Emmy dalam sebuah webinar 20 Februari 2024 lalu.
Menurutnya, kebanyakan korban TPPO adalah perempuan karena banyak yang bekerja di sektor informal misalnya pekerja rumah tangga. Data BP2MI periode 2016-2022 mengatakan penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) dari NTT ke Malaysia dari sektor informal cukup memprihatinkan. “Permasalahan kita ada di sektor informal, jumlahnya itu lumayan. Perempuan ada 5069. Laki-laki ada 1. Jadi jumlah total semua ada 5070. Saya kaget kok laki-laki 1, tapi perempuannya tinggi. Berarti sektor informal di mana mereka pergi biasanya itu pekerjaan rumah tangga,” katanya.
Komunitas Hanaf yang didirikannya, menurutnya, semula hanya untuk menjadi ruang “meratap”. “Sebetulnya itu adalah ruang meratap bagi teman-teman yang tidak punya ruang untuk nangis-nangis, memberitahukan penderitaannya, keterlukaannya, dan kemudian ada anak-anak aktivis yang hebat-hebat membuat kajian, dan kemudian datanya ada,” katanya. Dalam perkembangannya komunitas tersebut menjadi kekuatan. Hanaf dalam bahasa setempat berarti suara. “Kita memberikan ruang kepada mereka untuk bersuara,” ungkapnya.
Kebanyakan PMI dari NTT pergi ke Malaysia. “Berarti negara Malaysia ini merupakan negara tujuan yang memang berkelindan dengan soal pekerja migran baik yang informal dan yang rentan untuk direkrut menjadi korban-korban tidak pidana perdagangan orang,” katanya.
Dalam rentang 2016-2022 terdapat permasalahan yang dialami PMI di Malaysia. Yang meninggal dunia 594 orang. “Sampai tahun 2024 pasti sudah lebih karena tahun 2023 itu ada 151 pekerja migran yang pulang dalam keadaan jenazah, lalu kemudian tahun ini dari Januari-Februari 2024 itu sudah lebih dari 10. Bagi kami itu cukup tinggi,” katanya.
Komunitas Hanaf yang dipimpinnya concern pada PMI yang bermasalah seperti terkena deportasi, sweaping dan kemudian dipulangkan. Dalam periode 2016-2022 terdapat 1756 PMI yang bermasalah seperti putus hubungan komunikasi (33 orang), permasalahan gaji (124 orang), klaim asuransi (15 orang), PMI ingin dipulangkan (57 orang), PMI meninggal dunia (594 orang), dan PMI terkendala (1756 orang). Data tersebut, menurut Pendeta Emmy menunjukkan tanda bahaya.
“Karena mereka dipulangkan, dan ketika pulang ke kampung halaman itu kondisi masyarakat masih seperti dulu, belum berubah. Kondisi ekonomi juga makin terpuruk, karena persoalan-persoalan misalnya dengan perubahan musim, gagal tanam-gagal panen. Dan ini 1756 orang ini pasti pulang dalam keadaan yang galau,” menurutnya. Bahkan, tambahnya, mereka itu akan masuk dalam siklus perekrutan baru sehingga matarantai perekrutan baru yang bernuansa tindak pidana perdagangan orang itu akan makin meningkat.
Apa yang terjadi dengan NTT?
Sekian waktu mendampingi PMI, Pendeta Emmy menemukan dua hal pokok yaitu migrasi terpaksa dan tindak pidana perdagangan orang. “Meskipun ada yang lewat jalur prosedural, tapi itu jumlahnya tidak sebanding dengan mereka yang menjadi korban dan terpaksa pergi. Concern kami justru di migrasi terpaksa dan TPPO. Kami tidak peduli kalau dia pergi baik-baik, pulang baik-baik,” katanya.
Namun, selama masih ada korban, menurutnya, Komunitas Hanaf akan tetap berdiri. “Selama korban masih ada, kami akan tetap berdiri. Karena korban itu adalah diri kami sendiri juga. Itu semacam pengosongan diri dan inkarnasi dari penderitaan dan keterlukaan dari saudara-saudara kami yang kemudian menjadi korban TPPO. Kalau bilang NTT miskin, maka kami juga miskin, maka kami akan berdiri di situ,” tegas Pendeta Emmy.
Pendeta Emmy juga menemukan problem besar yang lain yaitu lahan, budaya, pendidikan, iklim, bencana, dan administrasi kependudukan (adminduk). Terkait dengan budaya, Pendeta Emmy melihat, TPPO terkait dengan perbudakan modern yang pernah ada di NTT sebelum zaman kemerdekaan. “Jadi, TPPO kami anggap itu sebagai mata rantai dari perbudakan modern yang pernah ada di Nusa Tenggara Timur ini. Dan itulah yang membuat kami tetap untuk berdiri memperjuangkannya sebagai bagian dari inkarnasi,” katanya. Selain itu, perjuangan Komunitas Hanaf, menurutnya, juga bagian dari perjuangan nasionalisme sebagai orang Indonesia yang tidak mau orang NTT itu tetap mempunyai level budak dari zaman dulu hingga hari ini. Perbudakan modern itu pula yang berkontribusi terhadap migrasi terpaksa.
Mengenai pendidikan, Pendeta Emmy melihat, PMI yang menjadi korban TPPO memiliki pendidikan yang rendah. “Sampai hari ini belum terselesaikan terutama di daerah-daerah dengan perekrutan tinggi. Di situ tingkat partisipasinya itu hanya 3-6 tahun dalam pendidikan itu. Apa yang mau diharapkan?” imbuhnya.
Perubahan iklim dan bencana di NTT juga membuat gagal tanam dan gagal panen. “Gagal tanam dan gagal panen, itu sangat-sangat banyak sehingga kita lihat angka untuk pergi ke luar dari kampungnya itu cukup tinggi di tahun 2023 dan di awal-awal tahun 2024,” ungkapnya.
Terkait dengan adminduk, Pendeta Emmy mendapati data adminduk PMI kerap dipermainkan. Ia melihat ada oknum petugas adminduk yang terkait dengan mafia perekrutan.
Pendeta Emmy juga melihat problem yang tinggi lainnya seperti konflik tanah yang tinggi, kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan berbasis gender yang tinggi. Banyak perempuan yang harus menjadi orang yang bertanggung jawab terhadap ekonomi keluarga. “Dia harus pergi menjadi pekerja rumah tangga. Nanti dia pulang, dia tetap jadi pekerja rumah tangga, tetapi mengalami kekerasan. Lemah skill,” katanya.
Menurutnya, problem berikutnya adalah uang cash yang kecil. Bahkan dalam satu keluarga di tempat perekrutan tertinggi uang cash di tangan itu 50 sampai 150 ribu per bulan. “Jadi, itu juga menjadi persoalan di dalam kenapa mereka menjadi migrasi terpaksa dan kemudian rentan TPPO,” tegasnya.
Putus sekolah juga menjadi problem yang menyedihkan. Ada korban yang hanya mengenyam pendidikan kelas tiga atau kelas enam SD saja.
Sedangkan yang menurut Pendeta Emmy paling berbahaya adalah mafia akad. “Yang paling berbahaya itu adalah mafia akad. Mafia yang merekrut antarkota, antardaerah. Kita kadang-kadang tercecer di situ. Padahal itu mafianya luar biasa yang dia padukan dengan antarnegara,” katanya.
Menurutnya, ini adalah modus baru. Korban TPPO diselundupkan ke luar negeri dengan mengaburkan kualifikasi TPPO. “Sehingga ketika dibawa ke pengadilan ternyata itu kualifikasi TPPO-nya agak susah diterapkan di dalam klausul-klausulnya karena dia berubah menjadi smugling, menjadi penyelundupan,” kata Pendeta Emmy.
Di NTT, menurut Pendeta Emmy, migrasi terpaksa sangat besar dibanding migrasi yang voluntary “Migrasi yang voluntary dan mempunyai skill itu kalau dihitung, dihitung dengan jari. Karena dia harus ke BLK 3 bulan, sementara masalah-masalah di atas itu mendesak mereka untuk pegang uang di tangan, untuk hidup terutama di daerah-daerah terpencil. Ditambah lagi dengan persoalan good governance di mana korupsi dan penggunaan dana desa itu agak susah,” ungkap Pendeta Emmy.
Solusi
Memerangi TPPO perlu solusi yang memadai. Kajian dan analisa sosial dibutuhkan. Namun, pencegahan dan komunikasi-informasi juga penting. “Pencegahan dan komunikasi informasi dan edukasi tentang migrasi aman, itu juga dilakukan dengan baik karena kami memakai struktur Gereja,” kata Pendeta Emmy.
Namun, Pendeta Emmy menyoroti satgas TPPO belum berfungsi dengan baik. Demikian juga dengan balai latihan kerja (BLK). “Ini metodenya masih metode kontinental, bukan daerah kepulauan. Jadi, orang yang dari mana-mana harus datang ke Kupang mungkin atau di suatu tempat, tapi itu untuk datang itu saja, itu uangnya mereka butuh cukup banyak,” katanya. Bahkan ada yang harus naik ojek dengan tarif bisa mencapai 100-200 ribu rupiah. “Itu membuat mereka malas untuk mengurus secara resmi,” katanya.
Regulasi yang berlaku terkait penghapusan TPPO juga tidak memadai. Demikian juga dengan kebijakan dari pemerintah. Kebijakan dan komitmen memerangi TPPO baru bergulir dengan kencang ketika peran masyarakat (peran semesta) dalam menggulirkan isu TPPO kuat, misalnya memviralkan kasus TPPO.
“Meskipun banyak sekali kita lakukan berbagai misalnya ada LPSK dan lain-lain, membuat seminar yang cukup besar-besaran, tapi kebijakan terutama pemerintah daerah itu masih baal. Bagi kami itu masih belum berdampak terhadap pengurangan tindak pidana perdagangan orang. Jadi, kebijakan afirmatif itu, itu kemudian menjadi periferial, dia hanya pinggiran,” katanya.
Demikian juga soal penindakan. Soal penindakan, menurut Pendeta Emmy, menjadi gamang terkait adanya perubahan modus TPPO. “Perubahan modus itu membuat penindakan itu juga gamang, bahkan mangkrak. Apalagi yang terlibat di dalam itu ada unsur-unsur penguasa, itu juga soal,” ungkapnya.
Pendeta Emmy melalui Komunitas Hanaf juga concern pada reintegrasi dan post reintegrasi untuk mencegah korban terjerat kembali dalam TPPO. “Itu yang sedang kami buat langkah-langkah kecil dengan Hanaf. Reintegrasi itu ketika pasca pengadilan, korban ini lepas, dan dia bisa direkrut kembali. Karena itu harus ada post reintegrasi, penyiapan masyarakat,” katanya.
Post reintegrasi, menurutnya, lebih condong kepada pemberdayaan penyintas misalnya dengan mengoptimalkan bakat atau ketrampilan yang dimilikinya supaya bisa menjadi mandiri. “Itu adalah sebuah proses healing, post reintegrasi di mana dia menemukan dirinya dari penyintas,” katanya.
Di NTT, cukup banyak masyarakat yang tidak pergi ke luar NTT untuk bekerja, tetapi menjadi petani dan di sisi lain ada juga yang masih sekolah atau kuliah. Pendeta Emmy melihat adanya potensi masalah, mengingat ada modus baru TPPO yang menyasar anak-anak dengan dalih studi atau kuliah sambil bekerja.
Siapa yang mengajak pergi pelaku migrasi?
Dari berbagai kasus yang ditangani, Pendeta Emmy mendapati bahwa korban diajak oleh orang-orang dekat. Mengingat adanya tindakan non prosedural dan mengarah ke eksploitasi, Pendeta Emmy berusaha mengajak korban untuk lapor ke polisi. Namun Pendeta Emmy mendapati kalau mereka takut melapor ke pihak berwajib. “Mereka takut, karena ternyata yang mengirim mereka itu temannya, keluarga dekatnya, dan kemudian orang-orang yang mereka kenal. Dan sebagian mereka masih ada di negara tujuan sehingga kalau itu diadu ke polisi, mereka takut nanti satu desa itu akan dibantai atau oleh polisi ditangkap ramai-ramai masuk penjara. Dan akhirnya mereka tidak bisa hidup dengan baik bahkan terancam,” kata Pendeta Emmy.
Dari berbagai kasus yang ditangani, Pendeta Emmy menemukan bahwa pelaku migrasi tertinggi hanya lulusan SD (31,7%); tarikan dari luar (pull factor) merupakan penyebab tertinggi terjadinya migrasi, sebanyak 61,79% pergi karena diajak orang; sebagian besar pelaku berasumsi bahwa pergi merupakan bagian dari upaya perbaikan nasib keluarga (52,55%), dan diri sendiri (26,76%); tren migrasi dari desa masih tinggi ke daerah lain (37,5%); persoalan gaji merupakan keluhan tertinggi yang diberitahukan pada keluarga; pengaturan soal kesehatan selama bermigrasi merupakan hal penting; hanya 26,34% pelaku migrasi yang diketahui memiliki kontrak kerja; sebanyak 26% tidak pernah berkomunikasi lagi (tidak ada kabar, hilang).
Problem Terkini
Meski telah mengupayakan berjuang menghentikan TPPO, namun Pendeta Emmy merasa pengembangan dan perubahan modus TPPO lebih signifikan dibandingkan dengan penyiapan kebijakan dan UU atau regulasi yang memadai. “Modusnya itu lebih cepat berlari,” katanya.
Pertama, digitalisasi perekrutan dan scam cyber mulai tinggi. “Dan ini kalau mereka itu merekrut secara individual, mengirimkan tiket dan lain-lain melalui whatsapp dan lain-lain. Ketika orang itu jalan, kita tidak bisa tangkap mereka bahwa mereka sedang direkrut,” katanya. Melalui scam cyber, lanjutnya, banyak yang ditipu dan kemudian mereka berangkat dan menjadi korban sexual trafficking.
Kedua, TPPO berwajah smuggling, penyelundupan. “Agak sulit menjadi kasus TPPO, karena dia jalan dengan voluntary, lalu kemudian kalau ditangkap prosesnya itu tidak memenuhi kualifikasi TPPO,” katanya.
Ketiga, paduan modus akad dan antar negara. Contohnya, semula dijanjikan akan dipekerjakan menjadi pekerja rumah tangga di Jakarta, namun pada kenyataannya PMI dikirim ke Malaysia.
Keempat, pengembangan daerah transit. Daerah transit itu makin bertambah.
Kelima, modus pendidikan. Ada perekrutan pada mereka yang mau kuliah gratis di suatu negara, tapi dengan syarat harus bekerja. “Ternyata sampai di sana modusnya adalah kerja paksa. Pendidikannya tidak terakreditasi dan kalau mereka mendapat ijazah maka itu tidak bermanfaat di Indonesia,” katanya.
Melihat banyaknya korban TPPO, Pendeta Emmy menyatakan tetap akan mendampingi korban. “Sampai hari ini kami tetap berdiri karena siapapun yang pergi, yang ditipu, yang menjadi korban, mereka itu adalah kami,” katanya, “kalau kami masih hidup berarti tugas kami adalah berdiri untuk membela”.
Itu semua tidak mudah dilakukan. “Lelah memang. Di-bully. Bahkan mengalami apa yang disebut baal kemanusiaan dari orang-orang yang mempunyai kekuatan, kuasa untuk mengurangi paling tidak atau memberantas TPPO. Itu adalah konsekuensi. Dan itu salib yang harus kami pikul,” pungkasnya.