Panggilan Pastoral Gereja di Masa Pandemi

Pandemi Covid-19, menurut Pdt Dr Henriette Tabita Lebang, MA, telah memorakporandakan kehidupan, menyebabkan kepanikan dan ketakutan. Namun, justru di tengah-tengah situasi tersebut, kita saling membutuhkan antar satu dengan yang lain.

“Kita membutuhkan sapaan, kita membutuhkan pertemuan-pertemuan. Justru kita diajak untuk menjaga jarak. Protokol kesehatan harus kita pelihara,” katanya dalam webinar Munas Unindo XIII 15 September 2021 lalu.

Pendeta  Henriette pun menegaskan, pandemi Covid-19 mengingatkan kita akan kerapuhan diri kita dan kerapuhan bumi rumah bersama. “Banyak disrupsi yang terjadi. Rencana-rencana yang sudah tersusun baik, ternyata harus ditunda atau harus di-cancel. Kita menyaksikan makin meningkatnya jumlah orang-orang yang terpapar oleh virus ini, menyebabkan para tenaga medis kewalahan,” kata Ketua Umum Pengurus Yayasan LAI itu.

Banyak orang yang terinfeksi, bahkan meninggal, di antaranya orang-orang yang kita kenal dekat, keluarga, teman sejawat, maupun anggota jemaat atau paroki.  Hal itu, menurut Pendeta Henriette, menyebabkan kepanikan dan ketakutan. “Sementara titik terang kapan pandemi ini akan berlalu masih tetap merupakan misteri. Dan ini justru ironis karena di tengah kebingungan dan ketidakpastian yang kita rasakan, kita justru harus menjaga jarak, harus jauh dari yang lain,” katanya.

Menurutnya, pandemi Covid-19 merupakan krisis kemanusiaan, “tapi juga pada saat yang sama krisis ekologi”. “Covid-19 berkelindan dengan kesenjangan ekonomi yang makin melebar. Diskriminasi sosial juga terjadi dan kerusakan lingkungan,” tegasnya.

Selain pandemi, masyarakat juga ada yang harus menghadapi bencana alam yang beruntun di beberapa tempat di tanah air. “Ini tentu menambah kebingungan bagi mereka yang secara langsung harus mendapat dampak dari bencana alam ini, harus hidup di tenda pengungsian, kehilangan harta benda dan bahkan anggota keluarganya,” ungkap Pendeta Henriette.

Dalam kondisi itu, warga sangat membutuhkan pendampingan. Namun, sayangnya, menurut Pendeta Henriette, cukup banyak Gereja yang masih terjebak dalam pola pelayanan rutin. “Sibuk mewujudkan visi dan misi serta rencana-rencana strategis pengembangan jemaat dan kriteria pencapaiannya. Bahkan rencana pembangunan atau renovasi gedung Gereja berlanjut seolah-olah tidak ada disrupsi yang membutuhkan pengalihan dana. Singkatnya, ada banyak Gereja, persekutuan umat kristiani yang sulit berubah, yang bisa saja menyebabkannya menjadi tak berdaya, menjadikan Gereja tidak relevan dan ditinggal warganya,” imbuhnya.

Di tengah-tengah kesulitan itu, menurutnya, para gembala juga banyak yang tak mampu menjawab, tak mampu membantu warga jemaatnya untuk merespon situasi yang sedang dihadapi. Tentang hal itu, ia menukil Yehezkiel 34:4.

Menurutnya, Yehezkiel telah mengingatkan para imam sebagai pemimpin. “Yang lemah tidak kamu kuatkan, yang sakit tidak kamu obati, yang luka tidak kamu balut, yang tersesat tidak kamu bawa pulang, yang hilang tidak kamu cari, melainkan kamu injak-injak mereka dengan kekerasan dan kekejaman.”

Menurut Pendeta Henriette, teguran tersebut sangat berat. Selanjutnya, ia menukil nasihat Rasul Paulus (Rom 12:2),  “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Menurutnya, nasihat Rasul Paulus tersebut seharusnya membangunkan Gereja dari tidurnya.

Di tengah-tengah berbagai keberhasilan yang dicapai manusia karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang luar biasa, lanjutnya, pandemi mengingatkan manusia bahwa kita adalah makhluk yang rapuh baik secara fisik maupun secara psikis.

“Walaupuan perkembangan ilmu dan teknologi sedemikian rupa maju, termasuk di dalam bidang kedokteran, namun belum juga mampu secara cepat mendeteksi penyebab virus Covid-19 ini dan menemukan cara jitu untuk mengatasinya. Dan manusia memang mempunyai kehebatan sebagai mahkota ciptaan Allah, tapi juga pada saat yang sama mempunyai keterbatasan. Kita diingatkan bahwa kita diciptakan dari debu tanah, namun menjadi makhluk hidup hanya oleh rahmat Allah. Yaitu melalui nafas kehidupan yang dihembuskan Allah ke dalam hidup kita,” ungkapnya.

Pandemi, lanjutnya, selain mengingatkan mengenai kerapuhan diri kita, pandemi juga mengingatkan kita akan kerapuhan bumi sebagai rumah kita bersama. Kerapuhan tersebut, menurutnya,  merupakan realitas di mana nilai-nilai Injil kerajaan Allah harus disemaikan supaya bisa bertumbuh dan berbuah bagi kelanjutan kehidupan di planet ini yang ditandai dengan kesejahteraan.

“Jadi, panggilan misional kita tidak pernah berubah dalam keadaan apapun sebagai Gereja, sebagai persekutuan orang percaya kepada karya penyelamatan Allah di dalam Kristus yang diutus Allah untuk menjadi berkat melanjutkan misi Kristus untuk memberitakan injil kerajaan Allah bagi segenap ciptaan-Nya di dunia ini,” katanya.

Namun, perwujudan panggilan pastoral tersebut, menurutnya, membutuhkan perubahan di tengah konteks yang berubah cepat. “Dan inilah yang seringkali sulit, seringkali kita mengalami kesulitan berubah dalam rangka perwujudan panggilan pastoral yang kontekstual,” katanya.

Menurutnya, tuntutan untuk melayani mereka yang rapuh dan merawat kehidupan segenap ciptaan-Nya dengan hati yang dijiwai oleh nilai-nilai kerajaan Allah menjadi hal yang urgen terutama di masa pandemi ini.

Bagaimana menjadi Gereja pada pascapandemi?

Dengan menukil pemikiran Pendeta Joas Adiprasetya dalam buku “Gereja Pascapandemi Merengkuh Kerapuhan”, Pendeta Henriette mengatakan, Gereja Pascapandemi diundang untuk merengkuh kerapuhannya sendiri dan kerapuhan dunia dengan menghidupi sebuah gaya hidup reflektif yang menghasrati penubuhan Kristus di dalam kuasa Roh Kudus melalui penghayatan kebajikan-kebajikan kristiani, termasuk kasih solidaritas kita kepada sesama dan kepada lingkungan.

Seperti yang dikutip oleh Yoas dari Tod Bolsinger, Pendeta Henriette menyampaikan beberapa proses kalau Gereja mau terbuka yaitu learning-unlearning, facing loss, dan navigating competing values.

Proses learning and unlearning

Dalam proses ini ada saat berhenti sejenak yaitu untuk merenungkan gaya pelayanan kita. “Merenungkan gaya pelayanan kita selama ini dan bertobat dari cara-cara yang tidak sesuai dengan nilai kerajaan Allah. Kita membutuhkan waktu yang cukup dalam proses ini agar kita dapat bernafas di tengah pengalaman yang traumatis dan memberi ruang bagi Roh Kudus merembesi diri kita dan menolong kita,” katanya.

Di sini, proses reflektif dilakukan seperti merenungkan apa yang kita lakukan ini masih bisa? Apa yang selama ini kita lakukan harus mengalami perubahan? Haruskah mengalami pembaruan? “Dan kita harus berani meninggalkan cara-cara pelayanan kita selama ini yang tidak menolong kita di masa pandemi,” katanya.

Proses facing loss (menghadapi kehilangan)

“Kita realistis menghadapi keadaan, menghadapi kehilangan yang kita hadapi, merebahkan, meratapi kehilangan yang kita alami,” kata Pendeta Henriette. Banyak orang bertanya kapan saat pandemi hilang supaya bisa berkumpul lagi. Mereka kehilangan kebiasaan berkumpul dengan keluarga dan teman maupun kebiasaan berkumpul di gedung gereja. Bahkan mereka harus menghadapi kematian banyak saudara dan teman. “Tidak beribadah di gedung gereja itu dianggap sebagai kehilangan yang sangat besar. Di mana kita bisa bertemu Tuhan? Dan berbagai kebiasaan lain yang harus ditinggalkan. Namun di tengah menghadapi kehilangan ini, umat mengakui dan merasakan kehadiran Allah yang memberi kekuatan dan tuntunan di masa yang sulit itu,” katanya.

Navigating competing values (mengarahkan nilai-nilai yang saling bersaing)

Menurutnya, kita hidup di tengah masyarakat dengan nilai-nilai yang saling bersaing. Di tengah arus globalisasi yang begitu kuat, ekonomi pasar menjadi hal yang utama. Orang tidak segan menyikut sesamanya untuk mencari keuntungan yang semakin besar, bahkan tidak segan merusak alam.

“Masihkah kita mampu mempertahankan, menghidupi nilai-nilai kerajaan Allah di tengah competing values yang ada. Ini perjuangan kita sebagai pengikut Kristus untuk tidak ikut-ikutan dengan nilai-nilai dominan di tengah lingkungan kita yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya dan menghidupi nilai-nilai injil Kerajaan Allah yang menginspirasi berbagai etika atau kebajikan kristiani,” ungkapnya.

Hal itu, menurutnya, juga tugas para gembala yang tidak mudah di tengah-tengah persaingan nilai-nilai yang begitu dahsyat saat ini. Apalagi dengan peranan media sosial yang begitu dahysat, seringkali membuat orang-orang tersesat.

Gereja proklektif

Lebih lanjut Pendeta Henriette menyampaikan kalau Pendeta Yoas mengusulkan tentang Gereja Proklektif, yaitu Gereja yang menerima kerapuhan komunalnya dan terbuka pada kerapuhan penduduk semesta yang menyintas dari kemurungan pandemi ini. “Gereja semacam ini berani memasuki paradoks learning-unlearning agar tak terjebak ke dalam romantisme masa silam yang harus ditinggalkannya, berani meratap bersama Allah yang meratapi dunia ini, serta berani melangkah ke depan berbekal nilai-nilai kebajikan atau virtues demi bertahan dalam tugas misionalnya,” katanya.

Ia pun menegaskan, hal ini merupakan keberanian kita untuk melangkah ke depan dalam sebuah proses yang kita yakin bahwa Allah beserta kita dalam proses itu.

Refleksi dan profleksi

Berbeda dengan refleksi yang terfokus pada masa lampau dan terarah kepada diri sendiri, menurutnya, di dalam profleksi, kasih dan kebenaran membelok ke masa depan, terarah kepada yang lain. “Gereja harus berani melangkah ke depan walau tertatih-tatih. Pasti kita merasakan tertatih-tatih di masa pandemi ini. Melangkah ke depan dan berjumpa dengan yang lain, yang juga rapuh, dan menyambut Kerajaan Allah yang datang dari masa depan memasuki kekinian kita, sambil mewujudnyatakan kebajikan kristiani,” imbuhnya.

Pendeta Henriette mengapresiasi banyak Gereja yang melakukan berbagai bentuk kebajikan pada masa pandemi dan ketika terjadi bencana. Pada gilirannya, katanya, pandemi ini membantu masyarakat untuk melihat potensi-potensi yang ada pada dirinya yang bisa dikembangkan untuk kesejahteraan bersama. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, pandemi, menurutnya, membangun solidaritas sosial.

“Dan ini, menurut hemat saya, sebuah kerjasama, sebuah bentuk solidaritas sosial yang meningkat justru di masa pandemi ini. Dan saya kira ini yang perlu kita terus bangun tumbuhkembangkan dan perkuat,” katanya.

Beriman dan berpastoral secara baru

Salah satu tawaran pemikiran eklesiologis dalam masa pandemi maupun pascapandemi, menurutnya, adalah beriman dan berpastoral secara baru dalam konteks kekinian kita.

“Saya kira kita tidak mungkin lagi bermimpi akan kembali kepada suasana seperti sebelum pandemi. Kita menghadapi situasi yang sama sekali baru, tanpa kepastian, namun menuntut gerak langkah pendampingan pastoral yang baru. Dan kita butuh semangat dan hikmat-Nya untuk mengembangkan pelayanan pastoral yang baru, yang kontekstual sambil terus berdoa, “Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga,” katanya.

Komunitas ekklesia yang lentur menghadapi krisis

Menurut Pendeta Henriette, kemampuan Gereja untuk bertahan di tengah masa pandemi ini ditentukan oleh kesediaan Gereja untuk merespon masa krisis secara cepat dan tepat. “Tentu dengan keyakinan dan pengharapan yang kokoh,  bahwa Allah dalam kasih-Nya berjalan bersama kita, solider dengan pergumulan manusia dan dunia ciptaan-Nya, serta terus berkarya mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi-Nya. Inilah komunitas ekklesia yang lentur menghadapi krisis karena apa? Karena pengharapan di dalam Allah, bahwa Allah berjalan bersama dengan kita,” ungkapnya

Ia pun mengambil inspirasi kekuatan iman dalam Pesan Natal KWI-PGI 2020: “Satu hal yang membuat kita tetap berdiri teguh di tengah badai ini adalah karena kita yakin bahwa hanya Allah saja sumber pertolongan kita. Sebagai orang Kristen kita bisa menderita sama seperti yang dialami orang lainnya, namun  kita bisa menjalaninya dengan damai di dalam keyakinan bahwa Allah sorgawi berjalan bersama kita untuk menghadapinya. Allah tidak membiarkan kita dikuasai oleh roh ketakutan, tetapi oleh kekuatan cinta yang memampukan kita mengontrol hidup kita, dan menghadapi situasi yang sulit ini dengan keyakinan dan kedamaian sepenuhnya.”

 

 

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *