Oleh JB HARYONO
Entah masa pandemi atau tidak, mendengar adalah hal mudah yang biasa kita lakukan. Sebagai mahkluk yang tidak tuli, kita tidak dituntut banyak energi untuk mendengar. Kita juga tidak dituntut banyak inisiatif dan persiapan sebagaimana saat bicara. Hanya dengan sedikit fokus, kita bisa mendengarkan kicauan burung atau lenguhan sapi. Di malam sunyi, kita bisa dengarkan nyanyian kodok di sungai bahkan nyamuk yang berputar-putar sekitar telinga. Dengan lebih banyak konsentrasi, kita bisa mendengar tangisan kesakitan dan jeritan penderitaan hati sesama.
Tak mengherankan, mendengarkan disadari sebagai awal dari peristiwa iman. St. Paulus berkata, “Iman timbul dari pendengaran dan pendengaran oleh firman Kristus” (Rom 10:17). Poinnya adalah bahwa iman bukanlah gambaran aktivitas kita semata melainkan penerimaan kita atas aktivitas orang lain.
Inilah yang disebut dengan “mendengarkan karena iman” (Gal 4:2,5). Orang beriman karena pemberitaan Injil. Orang mengangkat pencapaiannya akan Kristus karena pendengarannya. Pendengaran menjadi saluran rahmat dan menjadikan kehidupan kristiani bermula dan terjaga.
Namun meskipun tampak mudah, kita mesti berjuang untuk mendengarkan. Kita berjuang secara rohani atau secara internal. Karena dosa, kita lebih percaya pada diri sendiri ketimbang “Yang lain”. Kita terpesona kebenaran kita sendiri ketimbang menerimanya dari “Yang lain”. Kita bicara pikiran kita sendiri ketimbang bersedia mendengarkan yang lain.
Mendengarkan secara aktif, benar dan terjaga adalah langkah iman yang besar. Mendengarkan menjadi sarana besar untuk rahmat, yang berguna baik bagi diri sendiri maupun paguyuban. Dari mendengarkan mengalirlah evangelisasi.
Cepat mendengarkan
Dalam kitab suci kita temukan karakter pendengar yang baik. Dalam Surat Yakobus 1: 9 “Biarlah setiap orang cepat untuk mendengarkan, lambat untuk berbicara dan lambat untuk marah“.
Sepintas lalu, prinsip ini begitu simpel. Namun St. Yakobus pun tahu bahwa hampir mustahil kita menghidupinya. Kenapa? Terlampau sering kita lambat dalam mendengarkan. Kita cepat untuk bicara dan cepat pula untuk marah. Dalam hidup keluarga, menggereja dan memasyarakat acap kali, orang dengan enggan hati mendengarkan sementara orang dengan brutal bicara, menghakimi dan merespon kata-kata buruk.
Santo Yakobus tahu bahwa menjadi rasul itu berarti menjadi pendengar, menjadi murid berarti displin duduk mendengarkan. Tanpa mendengarkan, tak ada pewartaan yang hebat; tanpa mendengarkan tak ada karya misi yang kontekstual atau menjawab kebutuhan zaman.
Belajar mendengarkan secara baik (good listening) memang tidak bisa terjadi dalam waktu singkat. Ini membutuhkan kedisiplinan, kerja keras dan maksud baik. Pendengar yang baik akan terbentuk seiring waktu. Menjadi pendengar yang baik tidak hanya bergantung pada satu ketetapan hati untuk mendengarkan secara sungguh-sungguh dalam satu percakapan. Ia perlu membangun pola untuk selalu memfokuskan diri pada satu orang pada momen tertentu.
Di bawah ini kita haturkan beberapa poin untuk pengembangan kerasulan mendengarkan. Inspirasi tema “the ministry of listening” ini didapat dari Dietrich Bonhoeffer dan Janet Dunn.
Selengkapnya ada di edisi cetak Majalah INSPIRASI, Lentera yang Membebaskan no. 201 Mei Tahun XVII 2021. Hubungi +6285101923459