Oleh MARTINUS JOKO LELONO, PR*
Di ulang tahunnya yang ke-79, negeri ini hidup di dalam dua kenyataan besar. Kenyataan pertama, kita sudah mengalami banyak kemajuan yang tentu kita banggakan. Kenyataan kedua, kita larut menjadi bangsa yang sentimental dan kurang memiliki daya pikir kritis. Sementara untuk kenyataan pertama, tentu ada banyak pihak yang bisa berkomentar, saya ingin menjadikan ruang berpendapat ini untuk membincang mengenai kenyataan kedua, yaitu berkembangnya sebuah bangsa yang sentimental dan kurang memiliki daya pikir kritis. Uraian ini mungkin sedikit menyesakkan, tetapi kiranya refleksi dan kejujuran atas situasi diri bisa menjadi pintu masuk untuk membongkar kebekuan-kebekuan yang kini menjadi bagian dari nuansa hidup masyarakat negeri ini. Saya memberi judul Merdeka Berpikir dan Berpikir Merdeka, sebuah usaha untuk memahami betapa pentingnya berpikir. Tampaknya dalam hal ini, kita terperangkap di dalam lumpur hisap. Bangsa ini berkali-kali berjuang untuk keluar dari situasi terjerembab, tetapi berkali-kali pula bangsa ini mengalami kejatuhan dalam pola berpikir yang sama.
Sifat takhayul orang indonesia
Dalam pidato kebudayaan yang disampaikannya di Taman Ismail Marzuki pada 6 April 1977, Mochtar Lubis, seorang jurnalis dan novelis Indonesia, mengungkapkan gambarannya tentang siapa manusia Indonesia. Dalam pidatonya, ia mengungkap bahwa manusia Indonesia itu dicirikan dengan sifat munafik, enggan dan segan bertanggung jawab atas perbuatannya, bersifat dan berperilaku feudal, percaya takhayul, artistik dan berbakat seni, serta lemah watak dan karakternya (Lubis, 2001, 27-33). Saya ingin memberi tekanan terhadap kenyataan warga masyarakat Indonesia yang percaya kepada takhayul dan menyerahkan banyak hal kepada kekuasaan ilahi (Tuhan, Dewa, Roh) yang lalu melahirkan generasi yang kurang tahan dalam memperjuangkan banyak hal. Kritik ini mirip dengan apa yang menjadi tema utama dalam buku Madilog karangan Tan Malaka yang menyebut manusia Indonesia hidup dalam Logika Mistika, pemikiran magis religius atau pemikiran yang meletakkan takhayul sebagai penyebab dari terjadinya segala peristiwa (Madjid, 2014, 35). Hasil dari cara berpikir ini adalah lahirnya orang-orang yang tidak belajar mengatasi permasalahan satu per satu, tetapi berpikir bahwa ada penyebab tunggal yang menjadi alasan terjadinya suatu hal. Orang Indonesia percaya kepada apa yang disebut sebagai penyelesaian akhir. Semboyan yang hidup pada masa pra kemerdekaan, Merdeka atau Mati, meninabobokkan bangsa ini untuk membayangkan bahwa kemerdekaan berarti selesainya segala perkara, padahal kemerdekaan merupakan awal dari sebuah perjuangan baru. Hal ini diperparah oleh konsep ratu adil (dalam kajian sosial lebih dikenal sebagai Logika Mesianik), sebuah harapan akan lahirnya figur tunggal yang akan menyelesaikan segala perkara di negeri ini sehingga orang-orang tidak perlu bersusah-susah untuk turut serta menyelesaikan setiap jengkal masalah di negeri ini. Dalam hal ini, model berpikir kita adalah model berpikir pelari sprint, mengerjakan secepat-cepatnya suatu pekerjaan untuk kemudian ongkang-ongkang silo tumpang, santai-santai menikmati kehidupan. Kita tidak belajar untuk memiliki logika pelari marathon, yang harus mengatur tenaga, strategi dan juga kecerdasan untuk bisa mencapai garis finis yang tidak pendek.
Kritik keras dari Mocthar Lubis yang sejalan dengan pemikiran Tan Malaka ini rupanya sempat juga menjadi pembahasan dalam opini-opini beberapa surat kabar Indonesia yang terbit pada 1935-an yang kemudian disatukan dalam tema Polemik Kebudayaan. Ungkapan ini menunjuk pada perdebatan di antara penulis Indonesia mengenai identitas kebudayaan dan pendidikan nasional pada masa akhir kolonial. Achdiat K. Mihardja kemudian menyatukannya dan menerbitkan buku itu pada 1948. Perdebatan ini dimulai dengan terbitnya artikel Sutan Takdir Alisyahbana yang berjudul Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru yang terbit pada Agustus 1935 dalam majalah budaya Pudjangga Baru. Ia mengusulkan agar kebudayaan Indonesia abad ke-20 tidak bisa berasal dari kebudayaan pra-Indonesia. Dengan tegas ia menulis, “Jelas bagi kita bahwa semangat keindonesiaan semestinya tidak bisa tidak akan melahirkan masyarakat dan kebudayaan Indonesia yang berbeda dari masyarakat dan kebudayaan pra-Indonesia” (Alisjahbana 1935:15). Hal ini mirip dengan apa yang pernah ditegaskannya saat berbicara tentang kekuatan penjajah Barat. Ia mengatakan, “Kalau bangsa Belanda yang kecil bisa dengan gampang menaklukkan seluruh wilayah Indonesia, maka hanya kembali ke kebudayaan sendiri tidak mungkin menjadi jalan yang betul bagi bangsa Indonesia. Lalu bangsa Indonesia harus belajar dari Barat,” (Suseno, n.d, 110). Itulah sebabnya, ia berpendapat bahwa masyarakat Indonesia haruslah masyarakat yang berbeda dari masyarakat pra-Indonesia (Alisjahbana 1935:15). Beberapa pemikir lain (Sanusi Pane, Purbatjaraka, Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, M. Amir dan Ki Hadjar Dewantara) mencoba mengkritisi pesan dari tulisan tersebut. Tema-temanya berkisah antara memahami budaya bangsa sendiri, mempertemukan dengan budaya barat dan mempertanyakan perjumpaan antar keduanya. Koran-koran yang memuat antara lain Pujangga Baru, Suara Umum, Pewarta Deli, dan Wasita. Di dalam lintasan sejarah Indonesia, Polemik Kebudayaan ini dikenal sebagai perdebatan penting untuk menentukan masa depan negeri ini. Sayangnya pemikiran di dalamnya tidak pernah dipertanyakan dan dinyatakan di dalam pelajaran sejarah. Akibatnya, gaungnya tidak berlanjut sehingga orang bahkan tidak lagi berpikir bahwa memikirkan kebudayaan bangsa itu penting.
Logika kritis
Penelusuran sejarah di atas lalu menghantar kita kepada pertanyaan, Njuk ngapa (Lalu apa yang bisa kita lakukan?). Tentang hal ini, Tan Malaka menawarkan kepada kita sebuah cara berpikir rasional versi Indonesia di dalam bukunya yang berjudul Madilog (Materialisme, Dialektika dan Logika). Materialisme menunjuk kepada kemauan untuk menjumpai materi, benda atau realita dan keluar dari kungkungan imajinasi. Dalam hal ini, kalau memang Indonesia sedang bermasalah, orang tidak mudah mengatakan bahwa “Kita sedang berjuang.” Realita dijumpai sebagai realita. Tan Malaka juga mengajarkan tentang dialektika. Teori tentang dialektika Hegelian menggambarkan tentang segala pemikiran sebagai hal yang bisa dipertentangkan dengan pemikiran baru yang pada akhirnya melahirkan pemikiran yang merupakan hasil perjumpaan di antara keduanya. Pemikiran awal tersebut dinamai tesis, sementara pemikiran yang melawan disebut antitesis dan pemikiran yang merupakan perjumpaan keduanya adalah sintesis. Sintesis tersebut lalu berbuah menjadi tesis baru yang siap dihadapkan dengan antitesis lain (Angelica Nuzzo, 2010, 12-13). Pola berpikir macam ini melahirkan masyarakat yang siap menghadapi situasi baru. Dalam tulisannya, Tan Malaka mengatakan, “Demikianlah juga pengetahuan baru menimbulkan persoalan baru, terus-menerus. Tetapi persoalan baru itu akan terus-menerus pula bisa diselesaikan. Tidak ada batas pengetahuan dan tiada pula batas-batasnya persoalan. Inilah bagian dari kehidupan manusia dan bagian dari dunia pikiran. Barang siapa mengaku, bahwa ada batas pengetahuan atau batas persoalan, maka dia jatuh ke lembah mistika terperangkap dogmatisme. Dia akan berpangku tangan, memuncang hidungnya, membilang oum, oum ……………Dia tiada lagi akan mengeluarkan kritik atas pengetahuan yang sudah diperoleh dan tiada akan mencari pengetahuan yang lebih sempurna. Dia mati dengan pengetahuannya, karena pengetahuannya mati pula. Semua barang yang hidup mesti berubah, karena semua perubahan itu menandakan hidup. Tidak ada yang tetap, semuanya berubah. Yang tetap cuma ketetapan perubahan, atau perubahan ketetapan (Tan Malaka, 1943).
Melalui Madilog, orang diajari untuk berpikir secara rasional dan siap untuk saling mengkritik dan dikritik. Orang diundang untuk siap menerima namanya perubahan dan siap dengan adu gagasan.
Belenggu populisme dan post truth
Pada zaman ini apakah bangsa kita sudah beranjak dari situasi yang disebut di atas? Rasanya belum. Sikap sentimental dalam berpolitik, semangat Asal Bapak Senang (ABS), ketidakmampuan mengatakan yang salah sebagai salah dan yang benar sebagai benar bisa jadi adalah bukti bahwa kita belum beranjak terlalu jauh, atau bahkan jalan di tempat. Semoga saja kita tidak sedang berjalan mundur. Salah satu yang menjadi tantangan adalah kenyataan bahwa kita hidup di zaman internet. Pada zaman ini terdapat dua kecenderungan yang merusak cara berpikir kita yaitu populisme dan Post Truth. Ensiklopedia Brittanika menyebut populisme sebagai hal yang seringkali dihubungkan dengan politik otoriter. Biasanya politik populis ditandai dengan nasionalisme ekstrem, rasisme, dan kambing hitam terhadap kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Mereka mengkolodisasi kekuasaan pemimpin guna mengalihkan perhatian publik dari kegagalan pemimpin atau untuk menyembunyikan sifat pemerintahan pemimpin dari rakyat atau menyembunyikan alasan munculnya masalah di bidang ekonomi dan sosial. Dalam hal ini, internet memfasilitasi para pemimpin untuk menyebarkan pengetahuan ‘versi pemimpin’ kepada masyarakat sehingga pemikiran yang berlawanan dengan pemikiran pemimpin dianggap sebagai pemikiran yang salah dan tidak perlu didengarkan. Hal ini seakan menafikan adanya pemikiran alternatif dan bahwa semua orang berhak berpendapat berbeda. Sementara post truth menunjuk kepada keadaan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan daya tarik emosional. Hal ini misalnya, orang lebih percaya kepada seorang pendakwah agama yang dianggapnya benar daripada penelitian lapangan yang menunjukkan suatu realita. Yang lebih mengerikan kecenderungan ini adalah fakta bahwa orang bahkan dengan sengaja memilih untuk memercayai suatu hal yang sudah pasti salah daripada harus memercayai fakta objektif. Pertanyaan tentang mengapa data negara bisa bobol tidak dianggap penting karena percaya buta bahwa sang Menteri adalah orang baik dan selalu bicara benar bisa jadi salah satu contohnya.
Kedua kecenderungan ini bisa membawa orang kepada berbagai macam kehancuran. Masyarakat bisa terpecah-pecah karena mempercayai kebenaran yang berbeda-beda. Kebusukan pihak yang berkuasa bisa saja ditutupi dengan berbagai macam dalih yang ada. Dalam kesimpulan saya, sejauh masyarakat tidak pandai memilah dan memilih mana yang benar dan yang salah, masyarakat kita belum benar-benar merdeka. Maka, kini perlu dipertanyakan, apakah bangsa ini sudah bersenjatakan pemikiran kritis, atau masih hidup dalam ruang sentimental dan emosional yang tidak pernah membantu kita beranjak dari lumpur hisap kebodohan.
Menjadi pemimpin
Menutup rangkaian penggambaran tentang masyarakat kita ini, saya senang menyitir Sutan Sjahrir yang dalam buku Perjuangan Kita pernah menulis ungkapan, “Pemuda kita itu umumnya hanya mempunyai kecakapan untuk menjadi serdadu, yaitu berbaris, menerima perintah menyerang, menyerbu dan berjibaku dan tidak pernah diajar memimpin” (Sjahrir). Sudah saatnya bangsa ini bersenjatakan pemikiran kritis sehingga tidak lagi jatuh kepada kecenderungan dipimpin oleh sikap sentimental dan emosional. Bangsa ini butuh orang-orang yang adu gagasan dan berani mengatakan yang benar sebagai benar yang salah sebagai salah. Tidak ada jalan abu-abu di sana. Hal ini mirip ungkapan Yesus ketika mengatakan, “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat,” (Mat 5: 37).
Senjata pemikiran kritis menjadikan manusia bangsa ini menjadi manusia yang merdeka dan tidak merasa harus tunduk menyerah pasrah kepada kekuatan apa pun kecuali keinginan untuk memperbaiki keadaan. Tidak ada pula orang yang berpikir bahwa persoalan bangsa ini adalah tanggung jawab satu dua orang saja. Bangsa ini adalah bangsa yang didirikan oleh banyak pihak dan diperjuangkan juga oleh banyak pihak, termasuk Anda dan juga saya. Tema “Merdeka untuk Membangun Bangsa” bisa dimaknai sebagai kemerdekaan pola pikir dan kemerdekaan hati untuk berada di posisi yang bebas saat kita membela kebaikan bangsa ini. Saya jadi ingat kata-kata dalam film “Gundala Putra Petir” yang di-launching di bioskop pada 2019. Di akhir film dikatakan, “Negeri ini butuh pahlawan.” Saya yakin, ini adalah sebuah undangan untuk menemukan jiwa pahlawan di dalam diri masing-masing warga negeri ini. Sudah bukan waktunya untuk meletakkan tanggung jawab pada pihak lain. Sudah bukan waktunya untuk hanya memercayakan negeri ini kepada pihak-pihak tertentu. Sudah waktunya bagi kita untuk bekerja dan berjuang di medan perjuangan masing-masing. Negeri ini butuh pahlawan di ranah keluarga di mana anak-anak dididik dan ditemani menjadi orang yang dewasa. Di keluarga pula setiap pribadi ditemani agar bisa mengalami kebahagiaan. Negeri ini butuh pahlawan di medan pendidikan, keagamaan, perpolitikan, isu lingkungan, pembelaan kepada kaum miskin dan sebagainya.
Akhirnya, negeri ini membutuhkan pahlawan dalam diri Anda. Semoga masing-masing kita tidak sekadar menjadi pengikut, tetapi menjadi pahlawan yang mampu memimpin diri keluar (e-ducere- pendidikan) menjadi pahlawan untuk zaman dan medan perjuangan masing-masing.
*Penulis adalah Imam diosesan Keuskupan Agung Semarang;
Pengajar di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma