Tulisan ini pernah disampaikan di Seminar Nasional Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri Pontianak, 20 November 2021
Oleh Dr Mayong Andreas Acin, OFMCap*
Pada tanggal 13 Oktober 2020, Paus Fransiskus menandatangani Ensiklik “Fratelii Tutti” di Assisi, tempat kelahiran dan hidup St. Fransiskus dari Assisi. Ensiklik ini bertujuan untuk mendorong keinginan akan persaudaraan dan persahabatan sosial. Pandemi covid-19 menjadi latar belakang ensiklik ini. Kedaruratan kesehatan global telah membantu menunjukkan bahwa “tak seorang pun bisa menghadapi hidup sendirian” dan bahwa waktunya sungguh-sungguh telah tiba akan “mimpi sebagai keluarga umat manusia” di mana kita adalah “saudara dan saudari semua”.
Hidup merupakan “seni perjumpaan” dengan setiap orang, bahkan dengan orang-orang di pinggiran dunia dan dengan bangsa-bangsa asli, karena “masing-masing dari kita bisa belajar sesuatu dari yang lain. Tak seorang pun tidak berguna dan tak seorang pun bisa disingkirkan”. Paus memberi catatan, khusus tentang mukjizat “kebaikan hati”, suatu sikap untuk dipulihkan kembali karena merupakan bintang “yang bersinar di tengah-tengah kegelapan” dan “membebaskan kita dari kekejian….kecemasan….keramaian yang gila-gilaan” yang menonjol di era sekarang ini.
“FRATELLI TUTTI”. Dengan kata-kata tersebut, Santo Fransiskus dari Assisi menyapa saudara-saudarinya dan mengajukan kepada mereka suatu cara hidup yang ditandai dengan aroma Injil. Berangkat dari nasihat yang Fransiskus sampaikan, Paus Fransiskus ingin memilih satu nasihat, di mana dia mengundang siapa saja untuk berbuat kasih yang mengatasi hambatan geografis dan jarak, dan menyatakan berbahagialah semua yang mengasihi saudaranya, “baik ketika dia jatuh darinya demikan juga saat bersama dengannya”. Dengan cara yang sederhana dan langsung ini, Paus Fransiskus mengungkapkan hakikat dari keterbukaan persaudaraan yang memungkinkan kita untuk mengakui, menghargai dan mencintai setiap pribadi, tanpa tergantung pada kedekatan fisik, tanpa memerhatikan di mana dia dilahirkan atau berada.
Fransiskus dari Assisi, Santo kasih persaudaraan, kesederhanaan, dan kegembiraan ini, yang telah menginspirasi Paus Fransiskus untuk menuliskan ensilkik Laudato Si’, mendorong dia kembali untuk mencurahkan ensiklik ini akan persaudaraan dan persahabatan sosial. Fransiskus merasa dirinya adalah saudara bagi matahari, lautan dan angin, kini dia mengetahui bahwa dia semakin dekat dengan mereka yang bertubuh seperti dirinya. Ke manapun dia pergi, dia menebarkan benih-benih perdamaian dan berjalan bersama kaum miskin, yang tersingkir, lemah dan terbuang, yang terkecil dari saudara-saudarinya.
Ada kisah dari kehidupan Santo Fransiskus yang memperlihatkan keterbukaan hati, yang tidak mengenal batas dan yang melampaui perbedaan asal, kebangsaan, warna kulit atau agama. Itu adalah kunjungannya kepada Sultan Malik el Kamil di Mesir, suatu kunjungan yang pasti sangat tidak mudah, mengingat kemiskinan Fransiskus, terbatasnya sumber daya, jarak jauh yang harus ditempuh dan perbedaan bahasa, budaya dan agama. Perjalanan tersebut dilakukan di masa perang salib, yang lebih lanjut hal itu menunjukkan betapa lebar serta besarnya kasihnya, yang mencoba merangkul semua orang. Kesetiaan Fransiskus akan Tuhannya sepadan dengan kasihnya kepada saudara-saudarinya.
Tanpa peduli akan kesulitan dan bahaya yang menyertai, Fransiskus pergi menjumpai Sultan dengan sikap yang sama dengan yang dia tanamkan kepada para murid-muridnya: kalau mereka menjumpai dirinya “berada antara kaum Muslim dan orang tak beriman lain”, dengan tanpa menyangkal identitas dirinya mereka jangan “terlibat dalam adu argumen atau perdebatan, namun memperlakukan setiap umat manusia sebagaimana Allah menerimanya”. Di tengah situasi zaman saat itu, hal ini adalah suatu anjuran yang sangat luar biasa. Kita terkesan bahwa sekitar delapan ratus tahun lalu, Santo Fransiskus mendesak segala bentuk permusuhan dan konflik dihindari serta suatu bentuk “penaklukan diri” secara rendah hati dan penuh persaudaraan diperlihatkan kepada mereka yang bukan seiman.
Fransiskus tidak melancarkan perang kata-kata yang dimaksudkan untuk memaksakan ajaran; dia sebaliknya benar-benar menyebarkan kasih Allah. Dia mengetahui bahwa “Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada dalam kasih, dia tetap berada di dalam Allah” (1 Yoh 4:16). Dengan cara seperti ini, dia menjadi bapa bagi semua dan menginspirasikan visi tentang kasih persaudaraan.
Panggilan akan kasih persaudaraan menggema di seluruh Perjanjian Baru. “Sebab seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Gal 5:14). “Barangsiapa mengasihi saudara atau saudarinya, dia tetap berada dalam terang, dan di dalam dia tidak ada penyesatan. Tetapi barangsiapa membenci sesamanya dia berada dalam kegelapan” (1Yoh 2:10-11). “Kita tahu bahwa kita telah berpindah dari dalam maut ke dalam hidup, yaitu karena kita mengasihi saudara kita. Barangsiapa tidak mengasihi, dia tetap di dalam maut” (1 Yoh 3:14). “Barangsiapa tidak mengasihi saudara atau saudarinya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya” (1 Yoh 4:20).
Namun panggilan untuk mengasihi ini dapat disalahpahami. Santo Paulus mengetahui godaan yang dihadapi jemaat Kristiani awal untuk membentuk kelompok yang tertutup dan terpisah, mendorong para muridnya agar berlimpah dalam kasih, “seorang terhadap yang lain dan terhadap semua orang” (1 Tes 3:12). Dalam komunitas Yohanes, sesama umat Kristiani disambut, “sekalipun mereka adalah orang-orang asing” (1 Yoh 5). Di dalam konteks ini, kita dapat lebih baik memahami pentingnya perumpamaan orang Samaria yang murah hati: kasih tidak mempedulikan apakah seorang saudara atau saudari yang membutuhkan datang dari sini atau dari tempat lainnya. Sebab “kasih menghancurkan rantai yang menjadikan kita terkurung dan terpisah; kasih pada tempatnya membangun jembatan. Kasih memampukan kita menciptakan satu keluarga besar, di mana semua dari kita merasa kerasan…..Kasih memancarkan belaskasihan dan martabat”.
Yesus menceritakan kisah seseorang yang dirampok oleh penyamun dan tergeletak penuh luka di pinggiran jalan. Beberapa orang melewati jalan itu, namun tidak berhenti. Mereka itu adalah orang-orang yang memegang posisi sosial penting, namun kehilangan kepedulian nyata bagi kepentingan bersama. Mereka tidak mau meluangkan waktu sejenak merawat orang yang terluka atau bahkan meminta bantuan. Hanya satu orang yang berhenti, mendekati orang itu dan merawatnya sendiri, bahkan mengeluarkan uangnya sendiri untuk memenuhi kebutuhan perawatan itu. Dia memberikan waktunya. Pasti, dia punya rencana sendiri untuk hari itu, kebutuhannya, janji-janji dan keinginannya. Namun, dia mampu menyisihkan itu semua ketika berhadapan dengan seseorang yang membutuhkan. Walau tidak mengenal orang yang terluka itu, dia memandangnya layak mendapatkan waktu dan perhatiannya.
Siapa dari ketiga orang itu yang seakan identik dengan diri kita masing-masing? Pertanyaan ini, walaupun blak-blakan, namun langsung dan tajam. Sifat mana yang menggambarkan diri kita? Kita perlu mengakui bahwa kita terus-menerus digoda untuk mengabaikan sesama, terlebih mereka yang lemah. Baiklah kita akui bahwa, di samping segala kemajuan yang telah kita buat, kita masih “buta huruf” dalam hal mendampingi, memerhatikan serta mendukung anggota masyarakat yang paling lemah dan rentan dalam kemajuan masyarakat kita ini. Kita menjadi biasa untuk mencari jalan lain, melewatinya, mengabaikan situasi yang ada hingga semua itu mengenai kita secara langsung. Ini semua adalah gejala-gejala dari masyarakat yang tidak sehat. Suatu masyarakat yang mencari kemakmuran namun mengabaikan penderitaan.
Semoga kita tidak tenggelam terlalu dalam! Marilah kita mengikuti teladan dari orang Samaria. Dengan tindakannya, orang Samaria yang murah hati memperlihatkan bahwa “keberadaan setiap dan masing-masing orang sangat terkait dengan keberadaan orang lain: kehidupan bukan sekadar waktu yang berlalu, kehidupan adalah saat bagi interaksi”. Perumpamaan ini secara mengesankan memperlihatkan keputusan dasar yang perlu kita buat untuk membangun ulang dunia kita yang terluka. Berhadapan dengan begitu banyak luka dan penderitaan, arah jalan kita hanyalah mencontoh orang Samaria yang murah hati. Pilihan keputusan lain hanya akan membuat kita entah menjadi salah satu penyamun atau salah satu dari mereka yang berjalan dengan tanpa menunjukkan kepedulian pada penderitaan orang yang terkapar di pinggir jalan.
Perumpamaan menunjukkan kepada kita bagaimana sebuah komunitas dapat dibangun kembali oleh pria dan wanita yang mengenali kerapuhan sesama, yang menolak terbentuknya suatu masyarakat yang menyingkirkan, dan bertindak sebagai sesama, mengangkat serta memulihkan yang jatuh demi kepentingan bersama. Secara bersamaan, ini memperingatkan kita tentang sikap mereka yang hanya memikirkan dirinya sendiri dan gagal untuk memikul tanggunjawab yang tak terelakkan akan kehidupan sebagaimana mestinya.
Perumpamaan ini jelas tidak berhenti pada moralisasi abstrak, atau pesannya sekadar sosial dan etis. Dia berbicara kepada kita tentang suatu aspek yang mendasar dan sering dilupakan dalam kemanusiaan kita bersama: kita diciptakan akan suatu pemenuhan yang hanya dapat ditemukan dalam kasih. Kita tidak bisa tidak peduli akan penderitaan: kita tidak dapat membiarkan seorang pun menjalani hidup sebagai orang buangan. Perumpamaannya jelas dan terus terang, namun juga menimbulkan pergulatan batin yang dialami masing-masing dari kita selagi kita secara bertahap mengenali diri kita sendiri melalui relasi kita dengan saudara-saudari kita. Cepat atau lambat, kita semua akan menjumpai orang yang menderita. Saat ini ada banyak dan semakin banyak mereka itu. Setiap hari kita perlu merumuskan apakah menjadi orang Samaria yang murah hati atau menjadi penonton yang tidak peduli.
Merupakan sesuatu yang luar biasa bagaimana berbagai karakter dalam cerita dapat berubah, ketika berhadapan dengan pandangan menyakitkan akan orang miskin di pinggiran jalan. Perbedaan antara Yahudi dan Samaria, imam dan pedagang, tidak penting lagi. Kini hanya ada dua jenis orang: mereka yang peduli pada seseorang yang terluka dan mereka yang lewat begitu saja; mereka yang membungkuk untuk menolong dan mereka yang menempuh jalan lain dan bergegas pergi. Di sini, segala perbedaan, label dan kedok hilang: inilah saat kebenaran. Adakah kita akan membungkuk untuk menyentuh dan menyembuhkan luka sesama? Adakah kita akan membungkuk dan membantu orang untuk bangkit? Inilah tantangan saat ini, dan kita jangan takut menghadapinya.
Yesus percaya akan apa yang terbaik dalam jiwa manusia; dengan perumpamaan ini, Dia mendorong kita untuk bertekun dalam kasih, memulihkan martabat mereka yang menderita serta membangun suatu masyarakat yang berharga reputasinya.
Perumpamaan lalu meminta kita untuk mengamati secara lebih dekat pada orang-orang yang lewat. Ketidakpedulian yang menggelisahkan yang menjadikan mereka melewati sisi jalan lain – entah sengaja atau tidak, entah tanda penghinaan atau sekadar merasa terganggu – membuat imam dan orang Lewi mencerminkan jurang yang semakin lebar antara diri kita sendiri dan dunia di sekitar kita. Ada banyak cara untuk melewati pada jarak yang aman; kita bisa menarik mundur ke dalam, mengabaikan orang lain, atau tidak peduli akan situasi buruk. Ada satu fakta menonjol terkait orang yang hanya melewati: mereka itu agamawan, mereka yang mengabdikan diri pada Tuhan.
Fakta tersebut jangan diabaikan. Hal ini menunjukkan bahwa percaya kepada Allah dan berbakti kepada Allah tidaklah cukup memastikan bahwa kita sungguh hidup dengan cara hidup yang selaras dengan kehendak-Nya. Seorang beriman bisa tidak benar dalam segala hal yang dituntut oleh imannya, namun berpikir bahwa dia dekat dengan Allah dan lebih baik daripada yang lain. Jaminan akan keterbukaan yang otentik akan Allah, di sisi lain, merupakan suatu jalan untuk mewujudkan iman yang membantu membuka hati kita kepada saudara-saudari kita. Santo Yohanes Chrysostomus mengungkapkan hal ini secara tajam ketika dia menantang para umat Kristiani yang mendengarkannya. “Adakah kamu ingin menghormati tubuh Penyelamat? Jangan memandang hina tubuh yang telanjang. Jangan menghormati-Nya di dalam Gereja dengan pakaian sutra, sementara di luar ada yang telanjang dan mati kedinginan”. Suatu paradoks, mereka yang mengaku tidak beragama seringkali dapat melaksanakan kehendak Allah secara konkret lebih baik daripada kaum beragama.
Marilah kita akhirnya melihat orang yang terluka. Ada saat ketika kita merasa seperti dia, terluka parah dan dibiarkan di pinggiran jalan. Marilah kita ikut ambil bagian dalam memperbarui dan mendukung masyarakat kita yang sedang bermasalah. Saat ini kita memiliki kesempatan besar untuk menyatakan rasa persaudaraan kita yang terdalam, menjadi orang Samaria yang murah hati, yang menanggung rasa sakit persoalan sesama bukannya membangkitkan kebencian dan kemarahan. Layaknya seperti musafir yang kebetulan lewat seperti dalam perumpamaan, kita hanya perlu memiliki hasrat murni dan sederhana untuk berada bersama orang-orang, komunitas, upaya terus –menerus dan tanpa kenal lelah untuk melibatkan, mengintegrasikan dan mengangkat mereka yang jatuh. Kita mungkin sering menemukan diri kita mengalah pada mereka yang memiliki mentalitas kekerasan, ambisi buta, serta menyebarkan ketikdapercayaan dan kebohongan atau hoaks.
Marilah kita keluar menjumpai sesama dan memeluk dunia sebagaimana adanya, tanpa takut akan luka atau perasaan tidak mampu, sebab di sana kita akan menjumpai segala kebaikan yang Allah tanamkan dalam hati manusia. Segala kesulitan yang tampak sangat menekan merupakan kesempatan untuk bertumbuh, bukan alasan untuk dengan muram menarik diri yang hanya akan menjadikan kita menyerah diam-diam. Akan tetapi marilah kita melakukannya tidak sendirian, sebagai individu. Orang Samaria menemukan pemilik penginapan yang dapat merawat orang; kita pun dipanggil untuk bersatu sebagai satu keluarga yang lebih kuat daripada sejumlah kecil anggota individual. Sebab “keseluruhan lebih besar daripada bagian, dan lebih besar pula daripada jumlah bagian-bagian”. Marilah kita menanggalkan kepicikan dan kebencian dari pertikaian terus-menerus dan konfrontasi tanpa henti. Marilah kita berhenti memaafkan diri sendiri dan mengakui kejahatan kita, sikap tidak peduli kita, dan kebohongan-kebohongan kita.
Pemulihan serta perdamaian akan memberi kita kehidupan baru dan membebaskan kita dari ketakutan. Orang Samaria yang berhenti di jalanan itu pergi tanpa mengharapkan pengakuan atau ucapan terima kasih. Upayanya untuk membantu orang lain telah memberinya kepuasan besar dalam hidup dan di hadapan Allahnya, dan hal itu karenanya merupakan kewajiban. Kita semua memiliki tanggungjawab akan mereka yang terluka, entah mereka itu orang-orang kita sendiri atau semua orang-orang di bumi ini. Marilah kita memperhatikan kebutuhan setiap pria dan wanita, muda dan tua, dengan semangat persaudaraan yang sama dalam kepedulian dan kedekatan sebagaimana telah menandai orang Samaria yang murah hati.
Yesus mengisahkan perumpamaan orang Samaria yang murah hati untuk menjawab pertanyaan, “Siapakah sesamaku” Kata “sesama’ dalam masyarakat di masa Yesus, biasanya dimaksudkan mereka yang dekat dengan kita. Dirasakan bahwa bantuan hendaknya diberikan terutama kepada mereka yang satu kelompok dan ras. Bagi sementara orang Yahudi saat itu, orang Samaria dipandang rendah, dianggap najis. Mereka tidaklah termasuk orang-orang yang ditolong. Yesus, walaupun dia sendiri orang Yahudi, sepenuhnya memperbarui pendekatan tersebut. Dia meminta kita tidak memutuskan mereka yang cukup dekat menjadi sesama kita, melainkan kita sendiri menjadi sesama bagi semua orang. Yesus meminta kita agar hadir pada mereka yang membutuhkan pertolongan, tanpa peduli apakah mereka menjadi bagian dari kelompok sosial kita atau tidak. Dalam kisah ini, orang Samaria menjadi sesama bagi orang Yudea yang terluka. Dengan menjumpai dan menjadikan dirinya hadir, dia melintasi segala batas budaya dan sejarah.
Yesus mengakhiri perumpamaan ini dengan mengatakan, “Pergilah dan perbuatlah demikian” (Luk 10.37). Dengan kata lain, Dia menantang kita untuk menyisihkan segala perbedaan, dan, di hadapan penderitaan, mendekati sesama tanpa mengajukan pertanyaan. Saya tidak lagi mengatakan bahwa saya memiliki sesama untuk dibantu, namun bahwa saya harus menjadi sesama bagi yang lain. Akan tetapi, perumpamaan tersebut meresahkan, sebab Yesus mengatakan bahwa orang yang terluka itu adalah seorang Yudea, sementara orang yang berhenti dan menolongnya adalah seorang Samaria. Gambaran ini sangat berarti bagi refleksi kita akan kasih yang melingkupi semua orang. Orang Samaria tinggal di suatu wilayah di mana ibadat kafir dijalankan. Bagi orang-orang Yahudi, hal itu menjadikan mereka itu najis, menjijikkan, berbahaya. Dalam kenyataannya, sebuah teks Yahudi kuno ketika menyebut mereka bangsa yang dibenci, menyebut bangsa Samaria sebagai “bukan suatu bangsa” (Sir 50:25), juga disebut sebagai “bangsa bodoh yang berkediaman di Sikhem” (50:26).
Hal ini menjelaskan mengapa perempuan Samaria, ketika diminta Yesus akan air, menjawab singkat. “Masakan Engkau seorang Yahudi, minta minum kepadaku seorang Samaria?” (Yoh 4:49). Tuduhan yang paling menyerang kepada Yesus bahwa mereka yang berusaha mencela Yesus dapat menyebut bahwa Dia “dirasuki setan” atau “Seorang Samaria” (Yoh 8:48). Maka perjumpaan kasih antara seorang Samaria dengan seorang Yahudi sangat provokatif; ini menantang kita untuk memperluas garis batas kita. Hal itu memberi dimensi universal akan panggilan kita untuk mengasihi yang mengatasi segala prasangka, segala batas historis dan budaya, segala kepentingan sempit.
Marilah kita kembali kepada perumpamaan orang Samaria yang murah hati, sebab masih banyak yang dapat dikatakan. Seorang yang terluka tergeletak di pinggiran jalan. Orang-orang berjalan melewatinya tanpa mengindahkan panggilan batinnya untuk bertindak sebagai sesama; mereka lebih peduli dengan kewajibannya, status sosialnya, kedudukan terhormatnya dalam masyarakat. Mereka menganggap dirinya penting dalam masyarakat saat itu, dan lebih peduli dengan bagaimana menjalankan peran itu secara tepat. Orang di pinggir jalan, memar dan diabaikan, adalah suatu gangguan: dalam segala hal dia tidak penting. Dia bukanlah siapa-siapa, tak dikenal, tidak relevan dengan rencana masa depan mereka. Orang Samaria melampaui sebagai klasifikasi-klasifikasi sempit tersebut. Dia sendiri tidak sesuai dengan satu pun kategori tersebut; dia sepenuhnya orang asing tanpa tempat dalam masyarakat. Bebas dari setiap label dan posisi, dia dapat menghentikan perjalanannya, mengubah rencananya, dan secara tak terduga datang membantu orang terluka yang membutuhkan pertolongannya.
Bagaimana kiranya reaksi akan kisah yang sama di masa ini, dalam dunia yang menyaksikan terus muncul dan bangkitnya kelompok-kelompok sosial yang melekat pada suatu identitas yang memisahkan mereka dari yang lain? Bagaimana hal itu memengaruhi mereka yang menata dirinya sendiri dengan cara yang mencegah kehadiran setiap orang asing yang mungkin mengancam identitas mereka serta struktur mereka yang tertutup dan berpusat pada diri? Di situ, malahan kemungkinan untuk bertindak sebagai sesama disingkirkan, seseorang itu sesama hanya kalau melayani rencana mereka. Kata “sesama” kehilangan segala maknanya; hanya ada “teman”, konco, link, dan rekan untuk mengejar kepentingan tertentu.
Hidup tanpa persaudaraan yang murah hati menjadi suatu bentuk kesibukan perdagangan, di mana kita terus menerus menimbang apa yang kita berikan dan apa yang bisa kita dapatkan sebagai balasannya. Allah, sebaliknya, memberikan secara cuma-cuma, malahan sampai menolong mereka yang tidak percaya ; Dia “menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik” (Mat 5:45). Ada alasannya mengapa Yesus mengatakan kepada kita “jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat oleh tangan kananmu, hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi” (Mat 6:3-4). Kita menerima kehidupan secara cuma-cuma; kita tidak membayar apapun untuk itu. Konsekuensinya, kita semua sanggup untuk memberi tanpa mengharapkan balasan, berbuat bagi sesama tanpa menuntut mereka memperlakukan kita dengan baik sebagai balasannya. Sebagaimana Yesus mengatakan kepada para murid, “Kamu telah memperoleh dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma” (Mat 10:8).
Selanjutnya, pada 4 Februari 2019 di Abu Dhabi, Paus Fransiskus bersama Imam Besar Al-Azhar, Sheikh Ahmed el-Tayeb telah menandatangani “The Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together”. Dokumen Abu Dhabi ini menjadi peta jalan yang sungguh berharga untuk membangun perdamaian dan menciptakan hidup harmonis di antara umat beragama, dan berisi beberapa pedoman yang harus disebar luaskan ke seluruh dunia. Paus Fransiskus mendesak agar dokumen ini disebarluaskan sampai ke akar rumput, kepada semua umat yang beriman kepada Allah.
Paus Fransiskus mengatakan: “You will find life by giving life, hope by giving hope, love by giving love”. Syekh Tayeb dan Paus Fransiskus secara konkret memperlihatkan bahwa perbedaan bukanlah penghalang untuk menenun persaudaraan dan koeksistensi atau hidup berdampingan. Kita patut mengikuti jejak mereka agar perdamaian bersemi di hamparan bumi, termasuk di negeri tercinta kita, Indonesia.
Sekilas tentang Sejarah Misi Katolik di Kalimantan (diambil dari Buku Mozaik Gereja Katolik Indonesia 50 Tahun Pasca Konsili Vatikan II)
Menurut catatan sejarah, pada tahun 1312 datanglah di pulau Kalimantan seorang Pater Fransiskan, yakni Pater Olderico de Pardenone. Tidak ada berita yang pasti mengenai tempat di mana beliau berkarya.
Tiga ratus tahun kemudian sejak kedatangan pater Olderico, tepatnya 2 Februari 1688, Pater Antonino Ventimiglia menginjakkan kaki pertama kali di bumi Kalimantan. Sebelum tiba di Kalimantan, Pater Antonino Ventimiglia menerima dua buah tawaran menarik untuk mewartakan Sabda Tuhan di daerah Sukadana dan Banjarmasin; ketika itu dirinya masih berada di daratan Macau. Tawaran dari Kerajaan Sukadana berasal dari Raja Sukadana yang sangat menginginkan kehadiran pastor di wilayah kekuasaannya. Berita ini disampaikan melalui seorang ibu yang menerima Pater Ventimiglia sebagai bapa pengakuan. Menurut ibu tersebut, sang raja berjanji akan mengijinkan Pater Ventimiglia untuk membangun gereja dan apa saja yang dikehendakinya.
Pada waktu bersamaan datang pula kapal dari Banjarmasin yang membawa orang-orang Melayu. Dari merekalah Pater Ventimiglia mendapat berita bahwa Sultan Banjarmasin ingin menjalin hubungan dagang dengan orang Portugis. Sultan berjanji untuk membagi tanah kepada orang Portugis guna membangun benteng. Sultan juga mengizinkan orang Portugis datang membawa seorang pastor.
Berita ini sangat menggembirakan Pater Ventimiglia. Ia percaya bahwa banyak kerajaan akan dibuka oleh Tuhan untuk menerima sabda-Nya. Kedua tawaran itu merupakan jalan bagi penyebaran iman di Borneo (Kalimantan). Pilihan Pater Ventimiglia akhirnya jatuh pada Banjarmasin. Pada saat ini agama Islam dan penyebarannya merupakan tantangan yang berat buat penyebaran agama Katolik.
Pater Antonino Ventimiglia adalah imam pertama dari ordo “Rohaniwan Regulir Penyelenggara Ilahi” yang merintis “Misi Borneo”. Perintis misi Borneo ini kemudian diangkat oleh Paus Innocentius XII sebagai Vikaris Apostolik pertama untuk seluruh pulau Kalimantan. Sayang sekali bahwa jabatan Vikaris ini tidak dijalani karena beliau sudah meninggal dunia pada tahun 1692.
Lebih dari 100 tahun yang lalu, karya misi Katolik dimulai di bagian selatan Kalimantan Timur atau daerah sungai Mahakam. Ketiga misionaris yang pertama dari Ordo Kapusin memulainya di stasi Laham pada bulan Juni 1907. Mereka adalah Pastor Libertus Cluts OFMCap, Pastor Camilus Buil OFMCap, dan Bruder Ivo OFMCap. Pada awalnya para misionaris itu mau memulai karya misi di kampung lain, misalnya Mamahak Besar atau Long Iram, tetapi akhirnya kampung Laham yang dipilih karena jumlah penduduknya waktu itu 96 orang. Kedatangan para misionaris tidak disambut dengan penyambutan yang meriah tetapi mereka diterima sebagai orang asing. Orang kampung malahan bersikap “tunggu saja” sampai menjadi jelas apa maksud ketiga orang Belanda itu mendatangi kampung mereka.
Meskipun begitu masyarakat di kampung Laham membantu para misionaris dengan membangun pastoran yang sederhana dan kapel yang kecil. Tetapi tidak ada satu orang Dayak pun yang datang kepada salah satu pastor dan memberi tahu bahwa ia mau menjadi Kristen. Belum ada seorang Dayak yang berpikir mengenai hal itu. Tetapi mereka mulai menghargai misionaris sebagai orang yang “sangat baik”, yang selalu siap sedia untuk membantu dengan obat atau garam, yang kadang tidak ada.
Setelah beberapa tahun ketiga misionaris itu mulai mendirikan sekolah yang sama sederhananya dengan bangunan pastoran. Sekolah itu harus diisi dengan murid. Itulah sulitnya. Masyarakat kampung memandang sekolah tidak perlu; orang tidak perlu belajar di sekolah untuk menjadi seorang petani yang rajin atau seorang ibu yang melahirkan anak yang sehat. Pastor kadang-kadang mesti memakai paksaan halus, juga “tangan keras” dari seorang pegawai Pemerintah Belanda. Ada pegawai yang setuju dengan pastor, tetapi ada juga yang sependapat dengan orang Dayak yang anti sekolah. Tetapi para pastor maju terus, tidak mau kalah; pendidikan kaum Dayak harus dinomorsatukan.
Banyak kampung di sekitar Laham dikunjungi pastor untuk mencari anak, calon murid SD Katolik yang pertama di daerah itu. Di sekolah memang nama Yesus disebut, Injil-Nya dan kematian-Nya dibicarakan, namun tidak ada seorang pun anak yang terpikat untuk menjadi anggota Gereja Katolik. Para misionaris yang pertama sangat hati-hati mengenai pembaptisan anak sekolah. Baru tanggal 6 Januari 1913 – 6 tahun sesudah para misionaris tiba di Laham – 4 orang anak laki-laki murid sekolah dibaptis. Pada tahun 1924 ada 6 perkawinan Katolik pertama yang diberkati. Karya misi maju, tetapi hanya “setahap demi setahap” , bukan “dalam tempo cepat”. Di Laham air pemandian tidak mengalir seperti sungai yang deras; air pemandian hanya bertetesan.
Di luar karya misi di daerah Laham, Ordo Kapusin juga bekerja di Kalimantan Barat dan memerhatikan karya misi di seluruh pulau Sumatera. Semua tugas ini dipandang terlalu berat untuk Ordo Kapusin. Pada tanggal 13 Agustus 1924 Superior Provinsi Ordo Kapusin di Nederland mengirim surat meminta bantuan tenaga misionaris kepada Kongregasi MSF di Grave. Pada tanggal 12 Januari 1925 Pater General MSF membalas surat itu dan memberitahu, bahwa MSF bersedia mengambil alih sebagian dari Vaikariat Apostolik Kalimantan. Dalam tempo yang tidak lama menjadi jelas bahwa MSF kemudian dipercayai untuk mengambil alih sebagian daerah Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan (pada waktu itu Kalimantan Tengah termasuk wilayah Kalimantan Selatan). Seluruh anggota Kongregasi MSF, terutama di Belanda bersorak-sorai. Meskipun tidak ada seorang anggota Dewan General yang tahu sedikit pun mengenai daerah Kalimantan yang diambil alih, tetapi hal itu dianggap penting; yang penting bahwa mereka mempunyai daerah misi sendiri.
Akhirnya keputusan penting diambil, 2 pater dan 1 bruder diutus menjadi perintis di daerah misi Kalimantan. Pada tanggal 1 Januari 1926 Pastor Fr. Groot MSF, Pastor J. Van de Linden MSF, dan Bruder Egidius Stoffels naik kapal laut dari Amsterdam dan sampai di Laham pada tanggal 27 Februari 1926. Mereka tidak memiliki pengalaman misi, tetapi hati mereka adalah hati misioner.
Tantangan dan harapan: Membangun persaudaraan dengan sesama tanpa sekat
Hidup bersaudara sebenarnya bukan sama sekali baru bagi umat di Pulau Kalimantan karena praktik hidup itu sudah mereka lakukan dengan sesama, khususnya mereka yang sekampung dan sesuku. Yang ingin dikembangkan adalah kesadaran bersama bahwa persaudaraan itu bukan hanya berlandaskan nilai-nilai manusia semata, melainkan iman. Selain itu, persaudaraan yang terbuka dan dengan siapapun tanpa sekat dalam semangat ensiklik Fratelli Tutti, hendaknya menjadi fokus perhatian semua kalangan. Perjumpaan dengan mereka yang datang dari latar belakang suku dan agama yang beraneka ragam perlu semakin digalakkan. Kita yakin bahwa ajaran-ajaran autentik agama mengundang kita untuk tetap berakar pada nilai-nilai perdamaian: untuk mempertahankan nilai-nilai pengertian timbal balik, persaudaraan manusia dan hidup bersama yang harmonis; untuk membangun kembali kebijaksanaan, keadilan dan kasih. Kesadaran beragama di kalangan orang-orang muda perlu semakin dibangkitkan kembali sehingga generasi mendatang dapat dilindungi dari ranah pemikiran materialistis dan dari kebijakan berbahaya akan keserakahan dan ketidakpedulian tak terkendali.
Pluralisme dan keragaman agama, warna kulit, jenis kelamin, ras, dan bahasa dikehendaki Tuhan dalam kebijaksanaan-Nya, yang melaluinya Ia menciptakan umat manusia. Dialog, pemahaman dan promosi luas terhadap budaya toleransi, penerimaan sesama dan hidup bersama secara damai akan sangat membantu untuk mengurangi pelbagai masalah ekonomi, sosial, politik dan lingkungan yang sangat membebani sebagian besar umat manusia.
Perlindungan tempat ibadah, entah gereja, masjid, dan lain-lain adalah kewajiban yang dijamin oleh agama, nilai-nilai kemanusiaan, dan hukum. Setiap upaya untuk menyerang tempat-tempat ibadah atau mengancam mereka dengan serangan kekerasan, pemboman atau perusakan, merupakan penyimpangan dari ajaran agama-agama serta pelanggaran jelas terhadap hukum.
Konsep kewarganegaraan berlandaskan pada kesetaraan hak dan kewajiban, di mana semua menikmati keadilan. Karena itu, pentinglah untuk menolak penggunaan istilah minoritas secara diskriminatif yang menimbulkan perasaan terisolasi dan inferioritas. Penyalahgunaannya melicinkan jalan bagi permusuhan dan perselisihan; hal itu mengurangi setiap keberhasilan dan menghilangkan hak-hak agama dan sipil dari beberapa warga negara yang terdiskriminasi karenanya.
Gereja Katolik Kalimantan dipanggil untuk terus menerus melakukan rekonsiliasi dan persaudaraan di antara semua umat beriman, juga di antara umat beriman dan yang tidak beriman, dan di antara semua orang yang berkehendak baik. Penting dibina hati nurani yang jujur yang menolak kekerasan dan ekstremisme buta. Inilah yang dapat menjadi saksi keagungan iman kepada Allah yang mempersatukan hati yang terpecah dan mengangkat jiwa manusia. Allah telah menciptakan kita untuk saling memahami, saling bekerja sama dan hidup sebagai saudara dan saudari yang saling mengasihi.
Tidak ada alasan untuk pesimis, takut-takut untuk berlebihan merasa terancam. Lewat segala pengalaman selama puluhan tahun kemerdekaannya, Indonesia telah membangun modal kebangsaan, persaudaraan, dan pluralisme yang cukup tangguh. Memang, kecenderungan-kecenderungan primordial seperti intoleransi, kecurigaan, dan prasangka selalu juga ada. Kita harus lebih intensif membangun komunikasi positif dengan umat beragama lain tanpa sekat, sebagaimana Pater Antonino Ventimiglia, perintis misi Borneo telah memulai karya misinya lewat tawaran Sultan Banjarmasin. Kita dengan sabar dan tegas menuntut dari negara agar cita-cita Pancasila, UUD 1945 dan ketentuan hukum yang berlaku, dilaksanakan sebagaimana mestinya di bumi persada, secara khusus di bumi Kalimantan.
Membangun persaudaraan dengan lingkungan hidup
Salah satu keprihatinan serius Gereja Katolik di Kalimantan adalah kerusakan lingkungan hidup. Santo Fransiskus dari Assisi mengingatkan kita bahwa rumah kita bersama adalah seperti seorang saudari yang dengannya kita berbagi hidup, dan seperti seorang ibu yang menawan yang menyambut kita dengan tangan terbuka. “Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari kami, Ibu Pertiwi, yang menyuap dan mengasuh kami, dan menumbuhkan aneka ragam buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rumput-rumputan”.
Saudari ibu pertiwi ini sekarang menjerit karena kerusakan yang telah kita timpakan kepadanya, karena tanpa tanggung jawab kita menggunakan dan menyalahgunakan kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya. Kita barangkali sampai berpikir bahwa kita adalah pemilik dan penguasanya yang berhak untuk menjarahnya. Kekerasan yang ada dalam hati kita yang terluka oleh dosa, tercermin dalam gejala-gejala penyakit yang kita lihat pada tanah, dalam air, di udara dan pada semua bentuk kehidupan. Oleh karena itu, bumi terbebani dan hancur, termasuk kaum miskin yang paling ditinggalkan dan dilecehkan oleh kita. Dia “mengeluh dalam rasa sakit bersalin” (Roma 8:22).
Dalam Ensiklik Laudato Si’, Paus Fransiskus menyerukan pertobatan. Pertobatan itu tidak hanya berarti pertobatan pribadi, melainkan juga pertobatan lembaga. Yang mau digarisbawahi Paus adalah bahwa pertobatan itu perlu diwujudkan dalam perilaku terus menerus sehingga menjadi habitus. Pendidikan iman yang mencakup kepedulian pada lingkungan hidup perlu lebih digalakkan. Dalam hal ini, perlu dicatat bahwa kepedulian pada lingkungan hidup juga berarti kepedulian pada generasi yang akan datang. Karena itulah, secara khusus, Paus juga menyebut pentingnya pendidikan kepedulian ini pada keluarga melalui pembiasaan yang membentuk habitus peduli lingkungan hidup.
Paus mengatakan “konsumerisme yang tidak beretik” telah menyebabkan tingkat konsumsi yang memperparah kerusakan lingkungan hidup. Ia juga mendesak agar masyarakat mengubah gaya hidup mereka, menanam pohon dan mematikan lampu-lampu yang tidak digunakan. Merawat bumi adalah mandat iman, bagian integral iman kristiani. Judul ensiklik diambil dari syair-doa Santo Fransiskus dari Assisi, menegaskan bahwa kepedulian dan tanggung jawab memelihara “Ibu Bumi” adalah panggilan kemanusiaan sepanjang masa. Ia mendesak manusia bertanggungjawab secara moral untuk merawat lingkungan seperti yang tertulis di Kitab Kejadian 2:15 bahwa kita memiliki tugas untuk “menjaga” dan “merawat” Bumi.
Pengelolaan alam mesti memperhitungkan keadilan antargenerasi. Generasi yang akan datang berhak hidup dari sumber alam yang sama, anugerah Pencipta, melalui Ibu Bumi. Kita diajak berdoa bersama Paus Fransiskus, meminta Tuhan untuk memberikan “kesembuhan dalam hidup kita, agar kita dapat terus melindungi dan merawat bumi dan menggerakkan hati orang-orang yang hanya mencari keuntungan dan mengorbankan orang-orang miskin dan dunia”.
*Penulis adalah imam Kapusin; mengajar di Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri Pontianak; mengajar di STT Pastor Bonus Pontianak