Oleh BAVO BENEDICTUS SAMOSIR, OCSO*
Senja telah di penghujung hari. Sebuah perayaan Natal baru saja usai. Udara dingin membuat kami terburu menyeberang di sebuah jalan di kota Dublin, menuju tempat di mana mobil kami diparkir. Tiba- tiba Father Lawrence berhenti dan langkahku pun ikut terhenti. Ia mengeluarkan dompet dari saku jubah, lalu mengeluarkan selembar sepuluh euro dan memberikan kepada seorang pengemis yang duduk berselimut kumal tebal di trotoar. “God bless You,” kata Father Lawrence sambil memberikan uang itu ke tangan pria tua tersebut. Ia menerima sambil mengucap banyak terimakasih. Matanya yang tadinya sayu dan bibirnya yang terkatup karena udara dingin di bulan Desember menjadi berbinar dan tersenyum.
Peristiwa itu telah berlalu di tujuh kali bulan Desember, namun masih membekas hingga di penghujung bulan tahun ini. Father Lawrence tidak hanya memberikan lembar euronya yang tidak seberapa. Namun, ia mengucapkan berkat untuk pria yang janggut dan kumisnya tidak terawat itu. Berkat yang diucapkan Father Lawrence menjadi semacam jembatan persaudaraan, meskipun baru bertemu di trotoar di penghujung senja. Aku yang saat itu berdiri menyaksikan ikut merasakan rasa persaudaraan. Dan saat ini, mengingat peristiwa itu, saya jadi teringat pesan Paus Fransiskus dalam ensiklik Fratelli Tutti, yang dirilis dalam bulan Oktober 2020. Bapa Paus berpesan bahwa kita semua bersaudara.
Natal sesungguhnya merupakan sebuah peristiwa sukacita. Namun bagi sebagian orang, sukacita itu belum menggema dalam hati dan kehidupan mereka. Sukacita yang dibawa oleh para malaikat untuk seluruh umat manusia karena Sang Juru Selamat telah lahir ke dunia (Lukas 2:10-11) seakan terhalang oleh kemiskinan dan kesepian hidup yang mereka alami. Keadaan mereka semakin diperburuk dengan adanya dampak pandemi Covid-19 yang hingga saat ini masih kita alami – meski keadaan mulai membaik.
Oleh karena itu, Natal adalah saat istimewa untuk mengulurkan tangan bagi sesama kita yang kekurangan dan kelaparan karena sesungguhnya wajah Tuhan pada saat Natal lebih terlihat di dalam diri orang-orang miskin yang tidak berdaya daripada di dalam diri orang yang kaya dan berkuasa. Tuhan datang sebagai bayi tidak berdaya dan miskin. “Maria melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkus dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan” (Lukas 2:7). Maka hari ini, jika kita ingin seperti para gembala yang menemukan jalan ke tempat palungan tidur Sang Bayi di Betlehem, kita perlu melihat orang-orang yang paling tak berdaya yang tinggal di lingkungan kita.
Situasi Natal tahun ini tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Masih adanya virus Covid-19 membuat kita seperti berada dalam kegelapan. Cahaya lilin Natal tidak akan mampu meneranginya. Berkaitan dengan itu, Paus Fransiskus masih dalam ensikliknya tersebut mengatakan bahwa awan gelap menutupi dunia kita. Ketika melihat ke seluruh dunia saat ini, beliau sangat prihatin karena tidak adanya persaudaraan. Oleh karena itu, beliau mendorong kita semua untuk merangkul semangat persahabatan, kebaikan, kasih sayang, dan solidaritas bagi sesama. Dengan demikian cahaya lilin Natal sungguh mampu menerangi kegelapan dunia saat ini.
Bunda Maria dan Santo Yosep menyambut kedatangan para gembala di palungan pada malam Natal (Lukas 2:16-19). Meskipun tidak ada ruang yang indah untuk menyambut para gembala, namun mereka memberikan sebuah penyambutan yang membuat para gembala merasakan sebuah rumah yang indah, yang memberikan kedamaian. Kita juga diundang untuk datang agar merasakan damai kasih-Nya yang luar biasa sehingga akhirnya kita juga mampu memberikan damai bagi sesama sebagai saudara dan saudari di dalam Tuhan Yesus Kristus yang telah lahir ke dunia. Selamat Natal!
*Penulis adalah Rahib dan Imam Mount. St. Joseph Abbey, Roscrea, Irlandia