Menjadi Pribadi yang Membawa Damai

Oleh BAVO BENEDICTUS SAMOSIR OCSO*

 

Hati yang tidak damai

Ribuan bangunan hancur dan puluhan ribu nyawa melayang karena serangan militer yang dilakukan Rusia terhadap Ukrania. Apapun yang menjadi alasannya, serangan tersebut sangat bertentangan dengan kemanusiaan. Sebagai sesama manusia kita ikut merasakan kesedihan  mereka yang kehilangan anggota keluarga, kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan  sebagai sumber nafkah hidup mereka. Kita merasakan kesedihan mereka yang harus meninggalkan negara mereka – karena tidak ada jaminan keamanan lagi – dan menjadi pengungsi di beberapa negara Eropa lainnya – termasuk ke Irlandia.

Mungkin kita bertanya-tanya, mengapa ada pribadi bisa melakukan serangan yang begitu kejam sehingga penduduk yang tidak berdosa menjadi korban? Jawaban sangat jelas karena ambisi politik sang pimpinan tersebut. Pemimpin yang ingin menunjukkan bahwa dirinya memiliki kuasa, meski secara hukum sesungguhnya ia tidak memiliki kuasa atas apa yang ia klaim ia berhak berkuasa.

Namun ada penyebab yang lebih mendalam atas tindakan serangan tersebut, yakni karena tidak ada kedamaian di dalam hatinya. Ada rasa takut jika kekuasaannya dibatasi sehingga ia harus menghancurkan si pembuat batasan tersebut. Hidup seperti ini tentu tidak ada kedamaian. Hal ini membuktikan bahwa semua yang bisa kita dapatkan di dunia ini – termasuk kekuasaan – tidak dapat menjamin kedamaian hati kita. Hal ini juga membuktikan bahwa keadaan perang yang ada di luar diri manusia menunjukkan keadaan perang yang ada di dalam diri manusia; tidak ada damai di dalam hati.

‘Perang’ dalam hidup harian

Sebenarnya masalah perang tidak hanya terjadi antara dua negara, seperti yang terjadi antara Rusia dan Ukrania. ‘Perang’ juga bisa terjadi di kehidupan kita sehari-hari. Kita juga bisa menjadi pribadi yang menyerang hingga melukai orang lain. Bahkan ada pribadi yang ‘sangat suka’ menyerang sesamanya, sehingga bukan hanya satu orang yang terluka tetapi dua, tiga orang bahkan hampir semua orang yang ada di sekitar hidupnya terluka akibat serangan yang ia lakukan. Serangan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari bukan dengan bom nuklir MK-24 tetapi dengan bom kemarahan, gosip, fitnah, adu domba dan sebagainya.

Bom dalam kehidupan harian ini kadang tidak kalah mematikan dengan bom MK-24 yang kekuatan ledakannya bisa menghancurkan sebuah bangsa dalam sekejap. Bom fitnah bisa menghancurkan perjalanan karier seseorang, bahkan menghancurkan masa depan dan kehidupan orang lain. Sebaliknya dapat terjadi pribadi yang hatinya terluka karena serangan yang ia terima kembali menyerang si penyerang dengan kemarahan yang sama atau dengan senjata senyap pamungkas yakni menghindari pribadi si penyerang. Menutup ruang hatinya untuk si penyerang. Dengan demikian terjadilah ‘perang Rusia – Ukrania’ dalam hidup harian

Salah satu bom fitnah yang pernah terjadi dalam sejarah hidup manusia, adalah bom fitnah yang pernah dialami Yesus oleh ahli Taurat dan kaum Farisi (Markus 3:21-22). Bahkan bom kemarahan dan iri hati dari para pembenci Yesus membuat Yesus harus mati di salib. Mengapa ada bom kebencian, kemarahan, gosip, fitnah? Karena tidak ada damai di hati manusia.

Hati yang damai

Meskipun kita manusia dicipta sebagai ciptaan yang segambaran, secitra dengan Allah, namun di sisi lain, kita manusia adalah ciptaan yang memiliki kelemahan. Kita memiliki kecenderungan untuk berbuat dosa dari dalam diri kita, termasuk melakukan ‘agresi’, ‘penyerangan’ terhadap sesama. Dalam konteks inilah mengapa St. Benediktus mengajak para pengikutnya dan semua pribadi yang ingin berkembang dalam hidup rohani untuk masuk dalam peperangan rohani. Kita diajak untuk mengatasi peperangan yang ada di dalam diri kita, di dalam hati kita yang diakibatkan karena kelemahan dan dosa. Ketika kita mampu mengatasi “peperangan” dalam diri kita maka kita akan menjadi pribadi pembawa damai karena kita telah memilki hati yang damai. Namun, jika kita tidak mengatasi ‘peperangan’ yang ada dalam diri, maka kita sangat potensial menjadi seorang ‘pengobar perang’ dalam kehidupan.

Tentu saja kita tidak mampu mengatasi sendiri peperangan tersebut. Saya ingat kalimat yang pernah diungkapkan St. Agustinus berdasarkan pengalaman hidupnya; “Gelisah hatiku selama belum beristirahat pada-Mu, bilakah aku beristirahat pada-Mu, bilakah aku akan jumpa dan memandang wajah-Mu?” Hanya Dia Sang Sumber Damai yang akan memampukan kita berdamai dengan diri kita dan kehidupan kita. Dan damai yang kita alami bukan dari dunia ini, seperti Yesus katakan: “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.” (Yohanes 14:27). Kita perlu meluangkan waktu doa agar mampu menerima damai yang diberikan Yesus Kristus kepada kita. Damai itu akan mengisi hati kita dan kita bawa ke orang-orang sekitar kita. Dan damai itu akhirnya ada di bumi kita.

*Penulis adalah Rahib- Imam Mount St. Joseph Abbey, Irlandia

 

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *