
Jumat, 21/3/2025, saya menempuh perjalanan lumayan panjang dari Jakarta menuju ke Pineleng, Keuskupan Manado. Pukul 08.30 WIB, saya naik Grab dari Wisma Unio Indonesia di Kramat VII/10 Jakarta Pusat menuju Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng. Pukul 11.20 WIB boarding pesawat Batik Air untuk terbang menuju Bandara Samratulangi di Manado, Sulawesi Utara.
Sesudah landing di Bandara Samratulangi, Manado, saya dijemput oleh Romo Berty, MSC untuk melanjutkan perjalanan ke Skolastikat MSC Pineleng, Rumah Formasi untuk para calon imam MSC. Kepada Romo Berty saya mengatakan, “Sejujurnya, kerinduan saya sejak SMA Mertoyudan, saya bergabung dengan MSC dan tinggal di Pineleng, pada era Mgr Suwatan sebagai Provinsial kala itunamun Tuhan mengubah jalan hidup panggilan saya menjadi Imam Diosesan KAS.” Romo Berty menjawab, “Iya Romo. Wah, sayang ya. Kalau nggak MSC sudah mendapatkan calon yang berkualitas seperi Romo.” Saya pun menjawab, “Jalan Tuhan selalu tak terduga”
Tak jauh dari Rumah Biara MSC ada Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng (STFSP). STFSP adalah institusi pendidikan bagi para calon pemimpin Gereja dan bangsa, yang bercita-cita menekankan aspek dialogis dan humanis dalam profil lulusannya. Dalam semangat tersebut , STFSP ingin membagikan semangat dialogis dan humanis kepada kaum Muda di Sulawesi Utara. Mereka menyadari bahwa kaum muda adalah kelompok di mana idealisme masih mudah ditanamkan. Kaum muda juga memiliki daya nalar dan kreativitas tanpa batas sehingga sangat perlu untuk terus digaungkan semangat kebhinekaan demi terjaganya persatuan bangsa. Hal ini juga di tegaskan dengan fakta bahwa masih ada gerakan-gerakan ekstrimis di Indonesia yang menyasar kaum muda guna menanamkan nilai-nilai intoleransi sehingga hal ini harus dilawan.
***
Pada Hari Sabtu, 22 Maret 2025, pukul 08.30 – 12.30 WITA STFSP mengadakan seminar yang bertajuk “Menimba Inspirasi Paus Fransiskus dalam membangun dialog antar umat beragama: Iman, Persaudaraan, dan Belarasa” demi membangun toleransi. Tema tersebut dipilih mengacu dan selaras dengan kunjungan Paus Fransiskus di Indonesia pada bulan September 2024 yang menjadi peristiwa iman umat katolik pada khususnya dan bagian dari sejarah Indonesia secara umum yang mengarah pada penekanan aspek kebhinekaan dan semangat toleransi yang digaungkan pasca kunjungan Paus Fransiskus di Indonesia.
Seminar tersebut melibatkan sejumlah Narasumber yang hebat dalam Focus Group Discussion (FGD). FGD Kelompok 1 bertema “Paus Fransiskus dalam Usaha dialog dengan umat Islam dunia & Indonesia: Mendalami Dokumen Abu Dhabi dan Deklarasi Istiqlal”dengan Pemateri Damianus Pongoh,SS , Lic.Ar.Is. Kelompok II dengan tema “Paus Fransiskus dan usaha Ekumenisme” dengan Pemateri Dr. Gregorius Hertanto. Kelompok III membahas tema “Paus Fransiskus dan Usaha Membangun Dialog dengan Kepercayaan Pemikiran Timur: Buddhisme, Hinduisme, dan Konfusianisme” dengan Pemateri Dr. Barnabas Ohoiwutun. Kelompok IV mengupas tema “Paus Fransiskus dan Usaha Gereja Katolik dalam Berdialog dengan Judaisme” dengan Pemateri Drs. Julius Salletia.
Menurut hemat saya, tujuan dari seminar ini bagus banget. Adapun tujuan ini, sebagaimana disampaikan Panitia kepada saya adalah sebagai berikut. Pertama, turut berkontribusi dalam usaha menjaga persatuan bangsa. Kedua, menciptakan budaya dialogis dan humanis dalam kehidupan berbangsa dan negara khususnya bagi generasi muda sebagai calon pemimpin bangsa. Ketiga, memperdalam spiritualitas Cinta Tanah Air beserta kekayaan budaya dan religiusnya. Keempat, menanamkan sikap toleransi dan keterbukaan dialogis dan humanis.
Seminar ini diikuti oleh seluruh Mahasiswa/i Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Organisasi Kepemudaan Katolik se-Keuskupan Manado dari setiap kampus yang mendapat undangan dengan masing-masing mengutus 5 orang peserta, Mahasiswa/i dari Universitas Tamu yang di undang Se Kota Manado-Tomohon masing-masing mengutus 5 orang peserta, Orang Muda Katolik di Paroki-paroki Sekitar Pineleng masing-masing mengutus 5 orang peserta. Dari sisi kepesertaan, dominasi adalah kaum muda. Menurutku ini keren banget, sesuai dengan arahan melalui Dialog dalam Kebenaran dan Kasih, Orientasi Pastoral untuk Dialog Antarumat Beragama (2015) yang disampaikan oleh Dewan Kepausan untuk Dialog Interreligius pada era mendiang Kardinal Ayuso. DKDI sekarang ini diubah menjadi Dikasteri untuk Dialog Interreligius (DDI) oleh Paus Fransiskus dalam Praedicate Evangelium (2022).
Pada kesempatan tersebut saya diminta untuk menjadi Keynote Speaker. Sesuai temanya, pertama-tama saya mengajak para hadirin untuk mencermati beberapa foto terpenting yang kiranya langsung menginspirasi siapa saja yang melihatnya betapa Paus Fransiskus senantiasa menghayati imannya sebagai Wakil Kristus dalam Gereja Katolik (Roma) untuk selalu merajut Persaudaraan dan Berbelarasa dengan siapa saja tanpa diskriminasi. Foto pertama yang saya tampilkan adalah perjumpaan Paus Fransiskus dengan Imam Besar Al-Azhar, Syeikh Ahmad Al-Tayyeb. Perjumpaan bersejarah pada tanggal 4 Februari 2019 tersebut amat istimewa. Foto yang saya pilih adalah foto yang memotret momentum Paus Fransiskus dan Syeikh Al-Tayyeb saling bercipika-cipiki. Ciuman itu saya sebut sebagai “Ciuman Interreligius” sebab dilakukan oleh dua tokoh besar Katolik dan Islam. Ciuman serupa terjadi pada foto lainnya yang saya tampilkan yakni Ciuman Imam Besar Istiqlal Prof Dr. Nasaruddin Umar pada kening Paus Fransiskus dan Ciuman Paus Fransiskus pada punggung telapak tangan Prof Nasaruddin yang sesudah momentum itu dipilih oleh Presiden Prabowo sebagai Menteri Agama-Agama Republik Indonesia dalam Kabinet Merah Putih. Pada momentum “Ciuman Interreligius” itu termuat pula kesaksian “Ciuman Persaudaraan” antara Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar maupun Imam Besar Istiqlal. Saya meyakini dengan segenap iman saya pada Kristus, bahwa saling peluk cium Bapa Suci dan Para Imam Besar Islam itu lebih dari sekedar ekspresi persahabatan melainkan lebih mendalam sebagai ungkapan persaudaraan. Hal serupa termaknakan dalam saling peluk cium antara Paus Fransiskus dan Patriark Gereja Ortodoks dalam aras Ciuman Ekumenis sebagai sesama Pemimpin sekaligus Pelayanan dalam Gereja, kendati berbeda denominasi.
Kalau kita menelusuri Vatican.va, Vaticannews atau laman lainnya, kita akan menemukan foto dokumenter yang mengabadikan foto Paus Fransiskus mencium kepala anak-anak yang sakit dan maaf: cacat atau yang lansia. Bagi saya itulah “Ciuman Belarasa” penuh kasih sayang dan berkat kepada mereka yang menerimanya. Bahkan sudah terjadi, ciuman Paus Fransiskus kepada anak-anak yang sakit mendatangkan mukjizat kesembuhan sebab ciuman itu disertai dengan doa dan berkat berlimpah yang bersumber dari imannya kepada Tritunggal Maha Kudus: Bapa, Putra, dan Roh Kudus.
Itu inspirasi pertama dari Paus Fransiskus bersumber dari foto. Begitu sederhana namun memuat makna yang istimewa!
Inspirasi kedua yang saya tawarkan pada kesempatan itu adalah belajar dari Paus Fransiskus melalui ajaran dan seruannya. Terkait iman, persaudaraan dan belarasa yang signifikan dan relevan untuk digali dari Paus Fransiskus setidaknya saya mengajak hadirin untuk menyimak Ensiklik Laudato Si’ (2015), Ensiklik Fratelli Tutti (2020), dan Dilexit Nos (2024). Ketiga Ensiklik tersebut memuat ajaran penting terkait iman, persaudaraan, dan belarasa yang bahkan memiliki warna ekoteologis interreligius, yakni sikap iman, persaudaraan, dan belarasa dalam kaitannya dengan perawatan Bumi, keutuhan ciptaan, dan kelestarian lingkungan yang dilakukan bersama oleh semua orang apa pun agama dan kepercayaannya. Tanpa diskriminasi.
Paus Fransiskus juga memberikan seruan-seruan penting melalui dokumen yang ditandatangani bersama. Saya sebutkan dua dokumen penting yakni Dokumen Abu Dhabi yang ditandatangani bersama Imam Besar Al-Azhar dan Deklarasi Istiqlal yang ditandatangani bersama Imam Besar Istiqlal.
Menurut hemat saya, baik ketiga Ensiklik itu: LS, FT, DN maupun kedua Dokumen itu: Dokumen Abu Dhabi dan Deklarasi Istiqlal, memiliki benang merah yang tebal. Benang merah itu dalam konteks iman, persaudaraan, dan belarasa dapat dirangkum dalam satu kalimat sedesah nafas satu tekad yakni iman kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berbuah pada persaudaraan sejati demi terwujudnya peradaban kasih ekologis. Itulah yang menjadi visi Komisi HAK KWI, yakni terwujudnya peradaban kasih ekologis bagi Gereja dan Bangsa Indonesia yang bersaudara, berdamai-sejahtera, bermartabat, dan beriman dalam keberagaman.
Visi itulah yang pada sore harinya saya jelaskan lebih lanjut dalam animasi bersama Komisi HAK Keuskupan Manado. Romo Echa selaku Ketua Komisi HAK Keuskupan Manado menyambut kehadiran saya dengan merancang pertemuan dengan komisi/lembaga serumpun kemasyarakatan di Sentrum Agraris Lotta tempat Ketua Komisi PSE Caritas Keuskupan Manado tinggal.
Mulai pukul 15.00 WITA para peserta mulai registrasi dan menikmati snack sore. Pukul 16.00 WITA mulai pertemuan yang saya koordinasikan dalam rangka animasi HAK. Pukul 17.30 WITA dilangsungkan acara buka bersama dan dilanjutkan dengan makan malam.
Dalam animasi ini hadir Para Ketua Organisasi Kepemudaan Lintas agama yang ada di Sulawesi Utara. Mereka sangat antusias terlibat dalam kegiatan buka bersama itu. Rupanya, kedatangan dan kehadiran saya memberikan semangat dan antusiasme dalam diri mereka karena mereka sudah sering mendengar dan mendapat informasi tentang saya. Itulah yang diwartakan oleh Romo Echa selaku Ketua Komisi HAK Keuskupan Manado. Pada saat buka bersama dan makan malam hadir pula 25 OMK dari salah satu paroki/stasi di Kevikepan Manado yang kebetulan hari itu mereka mengadakan rekoleksi di sekitar lokasi kegiatan. Syukur pada Allah, Pastor moderatornya mau melibatkan mereka untuk mulai terlibat dalam kegiatan bersama lintas agama. Bergabung pula dalam kegiatan itu para pengurus Komisi PSE-Caritas dan Komisi HAK Keuskupan Manado.
Aloys Budi Purnomo Pr