Transformasi Bangsa Berangkat dari Transformasi Pribadi

Kalau mau membangun Indonesia secara utuh, tokoh agama jangan hanya dilibatkan dalam persoalan hilir tapi mestinya dilibatkan dalam persoalan hulunya. Demikian Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, MA menegaskan hal tersebut dalam Dialog Ramadhan di Gedung Keuskupan Agung Jakarta, 14 Maret 2024.

“Tokoh agama ini jangan hanya dilibatkan untuk membicarakan akibat tapi tidak pernah diajak untuk membicarakan sebab yang menyebabkan akibat itu muncul. Kan aneh bagaimana kami diminta untuk memberikan solusi terhadap satu akibat yang penyebabnya kita nggak pernah terlibat. Kita hanya diminta untuk menyelesaikan persoalan, tapi tidak pernah kita diajak untuk membicarakan apa yang menyebabkan persoalan itu muncul,” kata Nasaruddin.

Dalam kesempatan itu, Nasaruddin juga menyampaikan antusiasme umat lintas agama ketika menghadapi pandemi Covid-19. Secara bergotong royong umat lintas agama melakukan penggalangan dana dan hasilnya bisa terkumpul dana sebesar 22 milyar dalam waktu yang sangat singkat. “Jadi ini satu bukti ya, Bapak-Ibu sekalian, bahasa agama itu sangat efektif digunakan pada masa kritis, pada masa krisis. Jadi bukan bahasa politik. Jadi ada saatnya kita menggunakan bahasa agama,” katanya.

Terkait dengan kepeduliannya pada kerukunan, Nasaruddin mendorong pemerintah untuk melakukan renovasi Masjid Istiqlal dengan membangun terowongan antara Masjid Istiqlal dengan Katedral Jakarta dan menambah area parkir yang tidak hanya bisa dipakai jemaat masjid, namun juga bisa dipakai jemaat Katedral.

“Memang Katedral tidak punya tempat parkir. Saya kasihan kalau ada acara-acara di sini markir-nya ke mana gitu kan. Waktu dibangun ini 100 tahun lebih itu mungkin pakai kuda, waktu itu gak ada mobil ya, jadi nggak ada parkir mobil, parkir kudanya ada. Nah, jadi semenjak ada parkir di sini, kami memperhatikan, semenjak itu juga ramai pengunjung. Jadi, ini rahmat untuk kita bersama. Nah, inilah buah daripada sebuah kerjasama yang baik,” katanya.

Ketika terowongan penghubung antara Masjid Istiqlal dan Katedral Jakarta jadi dan diresmikan, terowongan menjadi viral di dunia. “Ternyata jadi viral, satu-satunya di dunia ini ada terowongan yang menghubungkan 2 rumah ibadah,” ungkapnya dalam acara yang diselenggarakan oleh Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Jakarta (HAK KAJ) dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Pemerintah Daerah Khusus Ibu (DKI) Kota Jakarta itu.

Dalam sambutannya, Ketua Komisi HAK KAJ, Romo Antonius Suyadi, Pr, menyampaikan, acara tersebut diselenggarakan dalam rangka bulan Ramadhan. “Tentunya kami semua ingin ambil bagian di dalam kebersamaan untuk saling mendukung,” katanya. Romo Suyadi berharap, kebersamaan itu bisa membangun kebersamaan dengan lebih baik. “Dalam kebersamaan ini, mudah-mudahan kita bisa saling berbagi pengalaman terutama dari para narasumber nanti untuk saling menemukan bagi kita semua, untuk membangun persaudaraan sebagai umat beragama dengan rahmat Ramadhan ini, di mana kita membangun kebersamaan, kedamaian, terutama baru saja kita menyikapi bersama yaitu pemilu yang sudah berjalan untuk kita semuanya,” ungkap Romo Suyadi.

Sementara itu, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Daerah Istimewa Ibukota (FKUB DKI), Prof. Dr. K.H. Dede Rosyada, MA menyampaikan, pentingnya membangun kesejahteraan. Salah satunya dari aspek ekonomi. “Ekonomi itu kan tidak akan naik sendiri kalau tidak ada yang bekerja, maka harus bekerja,” katanya. Untuk itu, menurutnya, pemerintah harus andil. Menurutnya, Indonesia menjadi negara maju terlihat dari dua indikator yakni bisnis ekonomi dan bisnis society.

Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo menekankan pentingnya transformasi umat beragama. Salah satu yang ia contohkan adalah upaya Imam Besar Istiqlal, Nasaruddin, yang dengan banyak cara telah melakukan transformasi, salah satunya dengan mendorong pembangunan lorong yang menghubungkan dua rumah ibadah dan area parkir yang bisa dipakai bersama.

“Yang saya tangkap adalah, di dalam perjalanan kepemimpinan Bapak Nasaruddin, Istiqlal ini mengalami transformasi yang dahsyat. Transformasi. Lalu Prof Dede tadi berbicara mengenai tujuan dari negara kita, yang saya tangkap rumusannya adalah sejahtera yang semakin meningkat. Harta semakin meningkat. Itu saya baca juga sebagai transformasi. Dari masyarakat atau bangsa yang hanya menggali kekayaan alam menjadi bangsa yang menggunakan pengetahuan untuk mencapai kesejahteraan itu,” katanya.

Transformasi, bagi Kardinal Suharyo sangat penting. “Bagi saya kata kuncinya adalah transformasi. Transformasi institusi. Entah itu kehidupan bangsa, entah itu Masjid Istiqlal dengan contoh yang sangat jelas,” ungkapnya.

Menurut Kardinal Suharyo, syarat terjadinya transformasi institusi adalah kasih. Dalam bahasa Yunani, sambung Kardinal, kasih yang dalam bahasa Indonesia sama dengan cinta, ada tiga kata yang sangat berbeda. “Yang pertama adalah Eros. Eros itu adalah kasih antara laki-laki dan perempuan. Eros. Lalu kata yang kedua adalah philia. Philia itu adalah kasih persahabatan. Persahabatan dengan siapapun. Dan yang ketiga ini adalah kasih yang diresapi oleh iman. Jadi ketika philia itu adalah kasih yang horizontal. Saya sebagai manusia dianugerahi Tuhan untuk mengasihi sesama saya, kawan saya. Tetapi sebagai orang beriman, ada kata yang ketiga yaitu agape. Itu adalah kasih seseorang beriman yang sudah sangat ditentukan oleh imannya. Kalau di dalam agama Katolik, agama Kristiani, itulah kasih Ilahi. Dan manusia itu dipanggil untuk menjadi semakin manusiawi, iya, tetapi kemudian menjadi pribadi yang juga Ilahi. Ketika hidup kita diresapi oleh kasih Allah menjadikan kita semakin mengalami dan mencerminkan kasih Allah itu,” katanya.

Lebih lanjut, ia menyampaikan permenungannya. Transformasi institusi, negara, bangsa, komunitas agama bersumber dari transformasi pribadi. Transformasi pribadi terjadi kalau kita sungguh-sungguh dipengaruhi bukan oleh pikiran sendiri, “tetapi oleh kehendak Allah yang tentu saja kita temukan di dalam Kitab Suci kita yang berbeda-beda”.

Transformasi pribadi, menurutnya, bersumber pada penghayatan iman yang otentik. “Kalau tidak ada transformasi pribadi, transformasi institusi nggak bisa terjadi. Yang berkelahi akan tetap berkelahi. Yang bersaing saling mengalahkan akan tetap saling mengalahkan. Tetapi kalau terjadi transformasi pribadi yang tadinya berkelahi menjadi bekerja sama. Yang tadinya memikirkan kepentingannya sendiri, memikirkan kepentingan bersama,” ungkapnya.

Lebih lanjut Kardinal menegaskan, kalau orang tidak sampai kepada penghayatan agama yang otentik, transformasi pribadi tidak terjadi. “Hanya beragama sebagai pakaian, tetapi keyakinan iman, perintah-perintah Allah yang ada di dalam Kitab Suci ini tidak akan berpengaruh pada cara berpikirnya, pada cara mengambil keputusan, pada pilihan-pilihannya,” tuturnya.

Namun, dalam kenyataannya tranformasi bangsa terjadi sangat lambat. Menurut Kardinal, penyebab terjadinya transformasi bangsa yang sangat lambat ada dua. Yang pertama adalah korupsi. “Korupsi itu istilahnya adalah kejahatan luar biasa. Coba silakan membayangkan kalau uang-uang yang dikorupsi itu kan uang kita, pajak yang semestinya dipakai untuk mengembangkan pengetahuan. Tetapi tidak. Uangnya entah dipakai untuk apa. Korupsi itu sebabnya apa? Nah, itu nanti yang harus menjawab adalah para sosiolog dan sebagainya. Mungkin karena zamannya. Saya tidak tahu. Tetapi bagi saya, seandainya bangsa kita, negara kita itu mampu bertransformasi dari kebiasaan korupsi menjadi kebiasaan berpikir untuk kebaikan bersama, jadi masyarakat yang semakin sejahtera, saya yakin suasananya akan sangat berbeda,” katanya.

Yang kedua, menurutnya, masih terkait dengan korupsi yaitu kebenaran yang seringkali ditutup-tutupi untuk berbagai macam kepentingan yang tidak mulia. “Saya berpikir begini. Pada suatu zaman, pada suatu periode di dalam perkembangan sejarah manusia, seorang filsuf Prancis itu merumuskan jati diri manusia pada zamannya, “saya berpikir, maka saya ada”. Itu zaman dulu, zaman mulainya ilmu-ilmu positif. Pemikiran-pikiran itu menjadi sangat penting. Zaman berubah. Sekarang ini kita berada, kata para cerdik pandai, berada di dalam zaman pasca kebenaran, post truth. Betul ya. Pasca kebenaran. Rumusannya itu kalau dulu “saya berpikir, maka saya ada”, sekarang ini pada zaman pasca kebenaran,  rumusannya “saya berbohong, maka saya ada”. Mengerikan sekali. Mengerikan sekali. Oleh karena itu jangan heran kalau banyak hoaks di media sosial. Tetapi yang paling mengerikan adalah kalau kejahatan itu dicoba ditutup-tutupi untuk kepentingan yang tidak terpuji. Nah, itu banyak sekali contohnya, saya tidak usah menyampaikan. Kita semua membaca di koran atau melihat di televisi,” katanya.

 

 

 

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *