
Olga Lydia melihat sosok Mgr Albertus Soegijapranata SJ sebagai sosok yang luar biasa. Ia merasakan hal itu ketika ia menjalani salah satu peran di film Soegija (2012) di bawah arahan Garin Nugroho. “Waduh saya ini senang banget, tapi juga cemas karena ini adalah tokoh yang sangat luar biasa,” katanya dalam Webinar yang diselenggarakan The Soegijapranata Institute “Membangun Perdamaian dan Kebangsaan dalam Perspektif Mgr. Alb. Soegijapranata, SJ”, 28 Maret 2022 lalu.
Dengan menjalani salah satu peran di film tersebut, Olga mengaku banyak belajar tentang sosok Mgr Soegija. “Dalam rangka memerankan film itu, saya jadi banyak belajar juga tentang Romo Soegija dan bagaimana peran dia dalam kebhinekaan Indonesia,” ungkap perempuan kelahiran 4 Desember 1976.
Olga terkesan dengan suasana di film itu yang menggambarkan situasi perang dengan Jepang. Menurutnya, situasi itu, meski di film sudah cukup membuatnya merasa ngeri. “Saya jadi mikir orang-orang yang gampang banget mengatakan, ya udah kita perang aja, ya udah kita perang aja, itu adalah sesuatu yang sangat ceroboh karena dalam film saja, bukan yang asli, itu sangat mengerikan. Kita dihadapkan kepada sebuah ketidakpastian. Ketidakpastian kita tinggal di mana. Ketidakpastian keluarga kita keadaannya bagaimana. Ketidakpastian akan bisa makan apa nggak. Dan sebetulnya kan ujung-ujungnya ketidakpastian kita besok masih hidup apa nggak,” kata Olga yang membintangi banyak film itu.
Olga berharap, orang-orang sebelum memutuskan untuk perang menyadari risiko yang bakal terjadi. “Saya berharap sih, orang-orang tersebut juga menyadari gitu. Ini akan berdampak pada keluarga besarnya juga, kepada kehidupan dan kepada banyak hal. Jadi, itu sih pengalaman yang paling mencekam, pada saat saya memerankan peran di film Soegija,” katanya.
Olga melihat kehebatan Mgr Soegija yang dalam usia relatif muda, 44 tahun, telah diangkat menjadi uskup Semarang oleh Takhta Suci. “Saya rasa memang kelebihan beliau sangat menonjol, sehingga walaupun beliau lebih muda dari yang lain, tetap yang dipilih adalah Romo Soegija. Itu sih satu hal yang paling menonjol karena menjadi pemimpin di masa sedemikian genting, itu kan butuh nyali, nggak semua orang punya nyali sebesar Romo Soegija. Dan tidak semua orang bisa memiliki keteguhan hati dengan keputusannya. Itu juga sangat penting. Karena bayangkan ya pada saat itu Romo Soegija, peran pertamanya mungkin adalah menyelamatkan sebanyak mungkin umat Katolik dan juga masyarakat Indonesia yang di mana dia sering berinteraksi juga,” ungkap Olga.
Bagi Olga, Mgr Soegija telah menghidupi panggilan kemanusiaan sebagai seorang romo. “Dia juga harus menyelamatkan gerejanya, tidak hanya orangnya tetapi juga gerejanya, karena saat Jepang datang banyak sekali barang yang dirampas, termasuk gereja, properti gereja, banyak sekali yang diambil Jepang. Dan juga biarawatinya, pastormya, khususnya yang keturunan Belanda itu ditahan dan banyak juga yang meninggal dalam tahanan Jepang,” kata Olga.
Sebagai uskup pribumi, menurut Olga, Mgr Soegija mesti bersikap hati-hati karena ia tampil dalam komunitas yang beragam. Dengan sesama orang Katolik, ia masih berhubungan dengan sebagian para imam yang berasal dari Belanda. Demikian pula ia harus bertemu dengan para pemimpin republik dan masyarakat.
“Jadi, posisi dia itu, kaya berjalan di ladang ranjau. Harus benar-benar sangat berhati-hati. Tetapi mungkin kenapa juga dia dipilih karena dia adalah seorang diplomat yang sangat handal, bisa bicara kepada pemimpin Indonesia yang waktu itu kan juga masih belum tahu bagaimana menata Indonesia, bagaimana mendirikan sebuah negara yang baru, nggak ada yang punya pengalaman mendirikan negara baru dari semua bapak bangsa kita itu. Jadi, ya mereka itu ada meraba-rabanya juga dan pastinya ada perselisihan dan di situ Romo Soegija bisa menjadi tokoh yang bikin adem juga,” tutur Olga.
Olga pun memperlihatkan semangat Mgr Soegijapranata tentang kekatolikan dan kebangsaan dengan mengutip tulisan G. Budi Subanar, SJ (2005). “Jika kita merasa sebagai orang Kristen yang baik, kita semestinya juga menjadi seorang patriot yang baik. Karenanya, kita merasa bahwa kita 100 persen patriotik, sebab kita juga merasa 100 persen Katolik. Malahan, menurut perintah keempat dari Sepuluh Perintah Allah, sebagaimana tertulis dalam katekismus, kita harus mengasihi Gereja Katolik, dan dengan demikian juga mengasihi negara, dengan segenap hati.”
Olga menegaskan, untuk menjadi orang Katolik yang baik tentunya juga harus menjadi warga negara yang baik dan menjalankan segala kewajiban kepada negara. “Jadi, itu adalah sebuah tagline kebangsaan yang beliau sampaikan kepada seluruh masyarakat. Dan dia buktikan juga salah satunya adalah pada saat pemerintah Indonesia berpindah dari Jakarta ke Jogja, beliau dari Semarang juga pindah ke Jogja. Itu kan sebuah aksi politis untuk menyatakan bahwa saya bersama republik. Jadi, luar biasa sih, menurut saya, bahwa dia tidak hanya cuman mengatakan saja, tapi juga melakukan, bahwa dia ikut pindah ke Jogja sampai akhirnya pemerintah kembali ke Jakarta, baru dia kembali lagi ke Semarang,” kata perempuan yang juga berprofesi sebagai model, pembawa acara dan produser film.
Olga pun mengatakan, Mgr Soegija adalah seorang diplomat ulung, yang berhasil menyampaikan kepada Vatikan tentang yang terjadi di Indonesia sehingga negara Vatikan yang cukup berpengaruh di Eropa bisa segera mengakui Indonesia sebagai negara merdeka waktu itu dan dalam waktu tak lama segera mengirim duta besarnya untuk Indonesia.