Kebahagiaan dan kegembiraan tampak jelas terpancar dari wajah pasangan suami-istri (pasutri) Stefanus Jongki Prasetya Djaja dan Maria Lidia Soetanto (Ledy). Suatu sore, di rumahnya, di kawasan Surabaya, waktu hujan deras mengguyur, mereka berkisah tentang perjalanan 50 tahun perkawinan mereka.
Lelaki yang bisa disapa Jongki itu memulai kisah pernikahan mereka. “Saya menerima seadanya. Adanya ini, ya sudah ini. Sudah nggak neka-neka (tidak mengada-ada). Jadi, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, saya tidak mencari kesempurnaan. Tapi saya memang mau sama dia. Jadi, apapun saya terima. Kalau bisa diperbaiki, diperbaiki. Kalau ndak isa (bisa), ya aku sing ngalah (yang mengalah). Ngono ae (begitu saja). Timbang rame (daripada ribut),” tutur Jongki dengan lugas.
Jongki yang duduk bersebelahan dengan istrinya yang biasa disapa Ledy mengilustrasikan relasi mereka ketika bertengkar dengan tegangan listrik. Kalau Ledy bertegangan 220 volt, Jongki memilih 110 volt. Sebaliknya, kalau Ledy 110 volt, Jongki 220 volt. Jongki ingin menunjukkan bahwa dalam relasi itu harus saling mengerti dan menyesuaikan dengan pasangan. Bagi Jongki, tak mungkin sepasang suami-istri tanpa pertengkaran. “Selama sebulan nggak pernah bertengkar, nanti itu jadinya sakit,” katanya berseloroh.
Selama 50 tahun perkawinan, pasutri Jongki-Ledy telah dikaruniai 3 anak dan 5 cucu. Namun, satu anak mereka telah dipanggil Tuhan dalam sebuah kecelakaan.
Ledy mengatakan, salah satu hal penting yang membuat perkawinan mereka langgeng adalah komunikasi. “Komunikasi itu yang paling penting dalam satu keluarga,” kata Ledy. Segala sesuatu kalau dikomunikasikan dengan baik pasti akan berujung baik, terlebih ketika menghadapi situasi yang tidak nyaman.
Jongki dan Ledy sering menghabiskan waktu bersama. Terlebih ketika anak-anak mereka sudah berumah tangga. “Kita ini kan ke mana-mana berdua,” tutur Ledy. Mereka bahkan berdua menghabiskan waktu ke luar kota. Jongki kerap menyetir sendiri. Ledy membawa bekal di jalan seperti kopi, teh dan aneka camilan. Ledy pun menyuapi Jongki selama menyetir.
“Romantis. Harus gitu supaya ndak ngantuk. Makanya kita ini harus komunikasi. Itu yang paling penting di dalam keluarga,” kata Ledy.
Ledy mengatakan, kalaupun mereka harus bertengkar karena sesuatu hal, 5 menit sudah selesai dan berdamai. “Palingan 5 menit bar kuwi omong (setelah itu bicara) lagi,” katanya. Komunikasi yang baik, bagi Ledy, tidak hanya dilakukan dengan pasangan. Namun juga dengan anak-anak dan para menantu. Ia kerap mendengar adanya konflik antara mertua dengan menantu. Namun, baginya, itu tidak berlaku.
“Kalau saya sih nggak ya. Karena saya anggap menantu itu kan suatu hadiah yang luar biasa buat saya. Karena apa? Aku ora melu nggedeke (tidak membesarkan), ora melu mbiayai (tidak ikut membiayai). Dikei (Diberi) cuma-cuma. Tau-tau wis (tahu-tahu sudah) jadi,” katanya.
Komunikasi yang baik dengan menantu membuat relasi semakin baik. “Kadang-kadang kalau jalan berdua dengan menantu itu malah dianggap yang menantu itu anak saya. Anak saya itu yang dianggap menantu,” kata Jongki. Sedangkan Ledy bahkan biasa digandeng menantu laki-laki. “Malah mantuku nggandeng aku,” kata Ledy. Semua itu menunjukkan komunikasi yang baik. Antara mertua dan menantu terjalin komunikasi yang sangat baik.
Pertemuan awal
Jongki tak menyangka akan bertemu dengan Ledy. Waktu masih kuliah di Solo, ia punya teman yang menjadi guru les Ledy. Melalui temannya itu akhirnya ia berkenalan dengan Ledy. Jongki pun jatuh hati pada gadis itu. “Saya tertarik pada Ledy, karena cantik, menik-menik ayu,” kata Jongki yang diikuti derai tawa mereka berdua.
Ledy melihat Jongki sebagai orang yang memiliki komitmen tinggi dan berperilaku sopan. “Yang saya suka dari dia itu orangnya komit. Saya ini kan bedigasan dulu waktu masih muda,” kata Ledy yang lahir di Malang, 30 Januari 1952 itu. Orang tua Ledy terkesan dengan Jongki yang selalu sopan ketika datang ke rumah.
Namun, Jongki sadar kalau Ledy adalah anak dari keluarga Katolik yang dididik dengan kekatolikan yang ketat. Orang tua Ledy yang tinggal di Malang sungguh-sungguh menerapkan kekatolikan dalam hidup sehari-hari. Waktu itu, Jongki belum Katolik. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk menjadi Katolik pada tahun 1966.
“Dia seorang keluarga Katolik. Saya awalnya bukan orang Katolik. Saya mikir gini, kalau saya mau dekat sama dia kalau saya nggak jadi Katolik, wah ribet nanti. Jalannya kurang lancar. Karena saya tahu dari mama, papanya itu sungguh-sungguh Katolik. Akhirnya saya masuk (Katolik),” tutur Jongki yang lahir di Bojonegoro, 30 November 1947 itu.
Menikah
Setelah dibaptis dan selesai kuliah, Jongki pun melamar Ledy dan bertunangan. Setelah semua siap, mereka pun menikah di Gereja Widodaren, Surabaya pada 21 Januari 1973. Mereka pun menjalani hidup berkeluarga. Kadang ada konflik. Namun, mereka bisa menyelesaikannya dengan baik.
“Selama perkawinan terjadi, tidak pernah mengalami konflik yang berat. Ndak pernah geger (ribut). Yang terlalu ramai pun ndak pernah. Jujur. Karena dia itu so nice,” kata Ledy. Jongki mengatakan kalau perkawinan adalah janji kepada Tuhan maka harus ditepati.
“ Saya kan sudah berjanji dan janji itu bukan pada manusia, pada Sang Pencipta. Apa jadinya, kalau saya sudah berjanji saya mengingkari janji saya? Ya itu prinsip saya cuman di situ. Jadi, walaupun bagaimana, tetap saya akan selamatkan,” kata Jongki.
Ketika anak-anak satu demi satu lahir, mereka pun mendidik mereka sebaik-baiknya sambil berbagi perhatian dengan saudara-saudaranya. “Masa-masa itu banyak tantangan hidup saya yaitu, saya harus menyelesaikan sekolah adik-adik. Jadi ya mengawinkan, ya menyelesaikan, membiayai sampai jadi. Sehingga saya kadang-kadang kalau boleh dikatakan, anak-anak saya itu ya agak terlantar lah dalam masalah ini. Tapi, saya percaya buah-buahnya,” kata Jongki.
Sebagai orang Katolik, Jongki pun terpanggil untuk melayani parokinya. Ia pun menjadi ketua wilayah, asisten imam dan ikut kegiatan gereja lainnya. Tak hanya itu, demi membuat umat semakin nyaman dalam beribadah, ketika ia menjumpai perangkat sound system gerejanya kurang beres, ia pun dengan segera menggantinya dengan perangkat sound system yang lebih layak. Ia ingin umat bisa beribadah dengan baik dan mendengarkan sabda Tuhan serta homili imam dengan lebih jelas. Ia juga tergerak untuk membantu banyak pihak yang membutuhkan pertolongannya.
Jongki dan Ledy bersyukur menerima anugerah perkawinan ke-50 tahun yang kemudian dirayakan dengan misa kudus pada tanggal 28 Januari 2023 lalu. “Jangan ngomong setelah 50 tahun, sebelum 50 tahun pun saya sudah merasa bersyukur. Bahwa 50 tahun ini saya pikir luar biasa sekali. Tuhan itu mencurahkan rahmatnya yang begitu besar karena saya sudah diberikan rahmat dan berkat rohani maupun jasmani dalam keadaan yang sekarang ini,” tuturnya dengan wajah penuh senyum, sementara tangannya menggandeng mesra tangan Ledy. Ledy pun tersenyum balik padanya. Indah sekali.