Menyiapkan Generasi Muda yang Mencintai Bumi

Matahari bersinar cerah. Angin bertiup sepoi-sepoi. Suster Maria Dwi Nurwaningsih PI (Penyelenggaraan Ilahi) berkeliling mengamati pertumbuhan aneka tanaman di kompleks Laboratorium Sekolah Berbasis Alam Kebon Dalem yang beralamat di Jalan Durenan Indah, Mangunharjo, Tembalang, Kota Semarang.

Di lahan seluas 5,245 meter persegi milik Yayasan Penyelenggaraan Ilahi Indonesia (YPII) itu, perempuan yang kerap disapa Suster Nur itu memastikan aneka tanaman bertumbuh, berkembang, dan berbuah dengan baik. Di tempat tersebut, Suster Nur bersama para guru mendampingi siswa-siswi mulai dari TK hingga SMU untuk belajar langsung di alam terbuka. Di tempat tersebut tersedia fasilitas seperti ruang kelas terbuka, taman pintar, sawah mini, green house dan laboratorium penelitian alam maupun tempat pengelolaan sampah. Selain aneka tanaman, aneka hewan pun dipelihara di tempat tersebut supaya bisa menjadi sarana siswa dalam belajar mengenal alam lebih baik.

Suster Nur yang juga Kepala Sekolah SMP Kebon Dalem menemani jalannya proses pembelajaran siswa-siswi bersama para guru. Secara bergantian, setelah belajar di kelas konvensional, siswa-siswi mulai dari TK hingga SMU datang ke tempat yang diresmikan pada tanggal 15 Juni 2022  itu untuk belajar di tempat terbuka. Mereka diharapkan bisa belajar langsung dari alam dan bisa dekat dengan alam. Di tempat tersebut, siswa-siswi dilibatkan untuk menyemai, menanam, merawat, memanen, dan mengolah hasil budi dayanya.

Sedang di sekolah yang dipimpinnya, Suster Nur mengajak para peserta didik untuk hidup ekologis misalnya dengan memakai tumbler dan wadah makanan sendiri.

Menurut Suster Nur, konsep pendidikan di YPII memiliki keterhubungan antar sekolah (interconnected school) dari TK hingga SMA yang berkaitan dengan pendidikan ekologisnya. Kurikulum pendidikannya pun disesuaikan dengan jenjang usianya.

Tujuan didirikannya laboratorium alam itu adalah untuk menyiapkan generasi muda supaya benar-benar mengenal, mencintai dan merawat bumi ini melalui pendidikan secara berjenjang.

Suster Nur memeriksa tanaman di kebun

Suster Nur sendiri sangat tidak asing dengan dunia ekologi. Masa kecil Suster Nur bersama orang tuanya di Sragen sudah sangat akrab dengan lingkungan hidup. Mereka mempunyai kebun dengan hasil budidaya yang melimpah seperti aneka sayur dan buah-buahan. Bahkan hasilnya tak hanya dinikmati sendiri, para tetangga pun turut menikmatinya. Memori itu terekam dengan baik. Bahkan habitus merawat tanaman dan lingkungan masih dihidupi hingga saat ini.

Tak harus yang fenomenal dan luar biasa. Bagi Suster Nur, merawat lingkungan bisa dilakukan dengan hal-hal biasa dan sederhana namun berdampak luar biasa. “Kalau saya bukan harus yang luar biasa, tetapi yang tidak kelihatan ini yang bagi saya, saya yakini. Mungkin membersihkan sampah itu orang nggak melihat. Mungkin kaya nyemprot eco enzyme itu orang gak melihat, atau ngajak anak untuk memberikan penerangan, memberikan pengetahuan itu mungkin tidak tampak. Tapi bahwa itu menjadi suatu asupan. Sekarang kalau kita makannya jambu segar ada vitamin, masa kita nggak sehat? Kalau kita itu makannya kangkung yang memang ditanam organik lalu kita mengolahnya dengan baik masa kita nggak sehat. Dan itu cukup. Itu yang menurut saya cara menanggapi panggilan masa kini. Justru dengan yang seperti itu,” kata suster kelahiran 19 Mei 1973 itu.

Siswa-siswi membuat karya dari barang bekas

Menurutnya, panggilan secara mistik terkoneksi dengan Tuhan menjadi suatu ruang yang tidak bisa ditutup dan tergantikan. Maka, ketika orang lain melihat hal-hal biasa di sekitarnya tidak menarik, namun bagi Suster Nur menarik. “Mungkin melihat batu bagi orang itu tidak menarik, tapi aku bisa jadikan itu menjadi suatu potret yang direfleksikan di saat itu,” katanya. Demikian juga dengan rumput dan bunga yang kecil bisa menimbulkan kesan yang luar biasa. Saat itulah muncul rasa syukur dan kagum atas anugerah Tuhan. Ini bisa dijadikan sarana untuk pendidikan lingkungan. “Di situlah sebetulnya panggilan dalam konteks mistikus selalu terkoneksi dengan Tuhan. Dan itu menjadi bahan utama dalam suatu edukasi. Bahan utama dalam suatu pewartaan. Karena di sana itu tersimpan kasih Allah yang luar biasa untuk semuanya,” kata suster Nur.

Menurut Suster Nur, setelah mengalami peristiwa mistik, anak didik diajak untuk menghidupi aspek profetiknya yang bisa dilakukan dalam berbagai kegiatan. “Nah, unsur profetiknya itu dengan macam-macam, misalnya, yuk anak-anak kita memilah sampah, menghemat air, menggunakan listrik yang secukupnya. Bapak jangan membekali anak dengan bungkus-bungkus plastik. Kalau bawa sendiri plastik dirawat sendiri. Nah, itu kan kenabian zaman sekarang,” katanya.

Bagi Suster Nur, para pejuang ekologi saat ini di tempat masing-masing dengan caranya adalah nabi-nabi zaman sekarang. “Karena kita itu butuh menghirup udara, butuh oksigen yang sehat untuk bisa hidup dan sebagainya. Maka, bagi saya, para pejuang ekologi itulah nabi-nabi yang luar biasa. Dan di sana tentu dalam masa sekarang menghayati panggilan tidak bisa sendiri. Melakukan pengutusan tidak bisa lagi sendiri. Religius sendiri, awam sendiri matilah kita kan,” tegasnya. Suster-suster di kongregasinya pun bekerja sama dengan banyak kelompok untuk mewujudkan karya kerasulannya misalnya dengan kelompok lintas agama.

Menjadi Suster PI

Suster Nur lahir dari keluarga yang sederhana. Semula mereka tinggal di desa Nyawak, Tenggak, Sidoarjo, Sragen. Suatu ketika, keluarganya pindah lebih dekat dengan jalan raya dan Sungai Bengawan Solo. Di tempat baru tersebut, keluarganya bertemu dengan tetangga Katolik. Dalam perkembangannya relasinya sangat baik bahkan menjadi seperti saudara.

Nur kecil waktu itu kerap diajak keluarga tersebut untuk kegiatan doa maupun misa. Nur pun tertarik menjadi Katolik. Kelas 4 SD ia memutuskan diri untuk dibaptis menjadi Katolik. Kemudian ayah dan ibunya menyusul menjadi Katolik. Mengenang peristiwa itu, Suster Nur menyadari kalau semua itu adalah anugerah Tuhan yang sangat indah.

Dalam perjalanan waktu, ia pun aktif dalam kegiatan gereja. Waktu SMP, ia bersekolah di SMP negeri tanpa pernah mendapat pelajaran agama Katolik. Ketika SMA ia masuk Sekolah Katolik. Di sana ia benar-benar mendalami kekatolikan dan menghidupi tradisi-tradisi Katolik.

Selain tradisi kekatolikan yang kuat, Suster Nur juga banyak dididik keluarganya untuk memiliki semangat berbagi. “Saya bersyukur dari keluarga yang pas-pasan, kadang kurang. Tapi itu, bapak-ibuku itu orangnya apa ya, perhatian, lumo, murah hati,” tuturnya.

Suster Nur berdiri dekat ruang-ruang pembelajaran bernuansa etnik

Orang tuanya memiliki kebun yang cukup luas yang ditanami aneka tanaman seperti jambu bangkok, nangka, jeruk bali, jeruk siam, dondong, buah naga, dan anggur. Tetangga yang tertarik untuk menikmati pun dipersilakan untuk memetiknya. Semangat berbagi itulah yang kemudian dihidupi Nur kecil hingga kini.

Sebagai orang desa, Nur banyak berkegiatan di alam bebas. “Saya itu anak alam sehingga memang sukanya itu kalau kegiatan di luar. Bagi saya itu memberi daya hidup yang luar biasa,” katanya. Suatu ketika, Nur terlibat pembicaraan dengan teman SMA-nya. Entah mengapa, tiba-tiba Nur mengatakan pada temannya. “Kamu besok manggil aku harus Suster Maria loh!” kata Nur remaja waktu itu. Temannya heran. “Apa kamu mau jadi suster?” tanya temannya. “Lah, siapa tahu?” timpal Nur.

Suster Nur mengakui, meski waktu itu iman akan Kristus masih awam, namun, ia diperkaya pengalaman hidup harian keluarganya yang penuh keutamaan yang membuat benih-benih panggilan muncul. “Dari pengalaman hidup harian yang dapat contoh ya, contoh hidup dari keluarga yang sederhana seperti itu ada benih-benih panggilan,” katanya.

Suatu ketika, ia diajak menjenguk anak tetangganya yang kecelakaan dan dirawat di rumah sakit dr. Oen di Surakarta. Di dekat rumah sakit itu, terdapat Susteran PI. Ketika ke Susteran PI, ia berkenalan dengan Suster Beata, PI. Nur pun tertarik dengan kehidupan para Suster PI. Setelah mempertimbangkan sekian waktu, Nur memberanikan diri untuk mengenal kehidupan para Suster PI dengan tinggal di Panti Asuhan di Temanggung yang dikelola para Suster PI. Di sana ia menjadi pengasuh anak-anak sekaligus belajar mengenal kehidupan keseharian dan semangat para Suster PI.

Dari proses itu dan setelah mempertimbangkan dengan matang, Nur merasa hatinya tersambung dengan hidup para Suster PI. Ia memutuskan untuk bergabung menjadi anggota Suster PI dengan menjadi postulan pada tahun 1995. Ia menjalani kaul pertama pada tahun 1998 ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi pasca turunnya Soeharto. Ia pun ditugaskan di Jakarta waktu itu.

Selang beberapa waktu kemudian, pecah konflik di Timor Timur yang menyebabkan banyak korban dan pengungsi. Suster Nur pun ditugaskan untuk melayani para pengungsi Timor Timur di sekitar Atambua dan Kupang.

Melihat perjalanan panggilannya, Suster Nur menemukan makna bahwa Tuhan mendidik seseorang melalui latar belakang orang tersebut. “Seperti para rasul mereka berada di area laut sebagai nelayan. Tidak perlu sekolah teologi, mereka dipakai Yesus untuk pengajaran semua ajaran kasih-Nya,” katanya.

Yesus menguatkan iman para rasul. Misalnya, ketika mereka menjala ikan semalaman tapi tidak mendapat ikan, Yesus menguatkan mereka dengan menyuruh mereka bertolak ke tempat yang dalam. Ikan yang dijala pun sangat banyak.

“Semuanya menjadi cara Tuhan untuk memanggil, mendidik, menguatkan dan mengutus di situ. Maka, saya pun menyakini karena saya itu orang dari desa, anak yang dekat dengan alam. Maka, sebetulnya inti panggilanku itu ada di mana? Inti pengutusanku ada di mana? Bahwa saya dipanggil dalam dan melalui Kongregasi Penyelenggaraan Ilahi,” tuturnya.

Bagi Suster Nur, Penyelenggaraan Ilahi itu sangat dekat dengan pemeliharaan kehidupan. “Allah Sang Penyelenggara. Namanya Allah Sang Penyelenggara, Allah yang memelihara kehidupan, Allah yang menyelenggarakannya. Bagian terbesar dari penyelenggaraan Allah itu apa? Alamkan? Itu bagian terbesarnya. Semesta itu. Maka, seluruh semesta itu, saya yakini, itu menjadi tempat Tuhan memanggil saya, mendidik saya, dan mengutus saya. Artinya apa? Kalau sekarang ini kita mengalami suatu krisis tentang iklim, perubahan iklim yang luar biasa, dan punya dampak yang sangat besar bagi kehidupan manusia, nah, di sanalah saya meyakini Suster PI dipanggil di sana,” tutur Suster Nur.

Menurut Suster Nur, dalam hal merawat kehidupan, para Suster PI juga banyak terlibat dalam aneka kerasulan. Selain mengelola panti asuhan dan pendidikan, ada suster yang terlibat menangani human trafficking dan membuat kerajinan untuk dijual dengan intensi untuk misi. “Misalnya, buat hiasan natal,  buat kartu lipat yang dari bungkus-bungkus lalu dijual. Barang-barang yang masih bagus dikumpulkan dan didonasikan untuk apa? Semuanya untuk pemeliharaan kehidupan,” katanya.

 

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *