Nama ahli hukum pertanian tidak berkibar seperti ahli hukum pidana atau perdata. Yang dosen punya banyak mahasiswa berjubel. Yang bekerja di lingkungan pengadilan seperti hakim, jaksa, dan pengacara sibuk bukan main apalagi ketika KPK aktif melakukan OTT –panen kerja dan duit–, misalnya. Sama-sama bidang hukum fungsinya mengatur dan melindungi kehidupan, hukum pertanian termasuk tidak menarik. Kurang bonafide. Lahan kering: sedikit peminat, sedikit penghasilan. Sebab yang dilindungi adalah permasalahan kelompok masyarakat tak berduit. Petani kecil. Membenarkan sinisme sarkastis, “hukum membenarkan yang bayar bukan yang benar”, kelangkaan ahli hukum pertanian adalah gambaran (reperkusi) tidak adanya perhatian pada profesi petani di Indonesia.
Padahal dari data kasar, jumlah penduduk Indonesia di tahun 2022 ini 275,77 juta, 12,1 persen di antaranya petani. Hidup dari profesi petani tidak lagi menarik bagi generasi muda petani usia 20-39 persen (2,34 juta) dari jumlah keluarga petani sebesar 33,4 juta dari total penduduk (data 2019). Dengan rata-rata penguasaan tanah di Indonesia oleh petani kurang dari 0,3 hektar (data 2021), petani adalah kelompok miskin. Sementara latar belakang profesi penduduk negeri ini adalah petani seperti yang ditegaskan sosiolog pertanian IPB Sediono MP Tjondronegoro, Sajogyo dan amatan Francis Wahono (Kompas, 24 September 2022).
Menjadi ironis dan berlarut-larut ketika kemudian perundangan dan kebijakan tidak berpihak pada petani. Tidak ada keberpihakan pada petani dan dunia pertanian. Taruh contoh kebijakan nasional, Politik Pangan Murah di era pemerintahan SBY, demikian menurut Ancelyco Sebastianus Koerniatmanto Soetoprawiro (69), guru besar Hukum Pertanian Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Kebijakan itu hanya akal-akalan pemerintah “memenangkan” masyarakat kota, sebab mereka yang bisa menyuarakan kepentingannya, sementara kelompok petani hanya bisa diam “nderek sendiko”. Dulu ada kebijakan diversifikasi pangan, tetapi mandek dengan kebijakan ketahanan pangan “harus beras” sebagai dampak penghargaan Indonesia dinyatakan swasembada beras di tahun 1984. Diversifikasi pangan belakangan ini coba dihidupkan kembali, tetapi tertatih-tatih sebab orang sudah terbiasa makan berarti makan nasi.
Ketahanan pangan yang sering disampaikan sebagai kebijakan kementerian pertanian akhir-akhir ini, menurut Koerniatmanto—Prof. Koerni–lebih baik diubah jadi kemandirian pangan. Sebab dengan konsep ketahanan pangan berarti pangan bisa terpenuhi dengan segera lewat impor, sementara dengan konsep kemandirian pangan artinya masyarakat diberdayakan memenuhi kebutuhan pangan sendiri. Dengan demikian berbagai produk impor yang bisa dihasilkan sendiri, dicari masyarakat apalagi bisa dibeli dengan harga lebih murah dari hasil pertanian sendiri.
Gambaran drastis kasar kondisi dan perjalanan sejarah dunia pertanian di Indonesia semakin bertambah dengan gentayangannya koruptor, di antaranya “sampai hati” mengorupsi subsidi pupuk, atau membenarkan praktik hukum ekonomi besi dalam penentuan harga produk pertanian dengan rente dari transportasi jasa dari petani ke tengkulak, dari tengkulak ke konsumen. Dalam kondisi demikian, sebagai dosen dan ahli hukum pertanian—bukan ahli pertanian, bukan petani, bukan pedagang—adalah mengadvokasi sebagai bagian dari melindungi dan mengatur yang sebaiknya dilakukan oleh para pengambil keputusan di semua lini. Arahnya keberpihakan kebijakan yang berpihak pada petani dan dunia pertanian.
“Lateral Thinking (Nggiwar)”
Masuk akal, mereka yang terjun ke bidang ilmu hukum pertanian—sampai hari ini baru Prof. Dr. Koerniatmanto Soetoprawiro MH satu-satunya—keluar dari mainstream (arus umum) masyarakat. Meminjam istilah Romo Mangunwijaya (alm) berpikir lateral thinking, berpikir menyamping, nggiwar dari arus umum masyarakat. Mereka siap tidak berkibar dengan popularitas dan sepi kibaran uang. Masuk akal kalau peminat mahasiswa (generasi muda) yang mengambil bidang hukum pertanian, kecil. Mereka dicibir terjun ke “lahan kering”, kering popularitas, kering gelimang uang. Bukan idaman calon mertua. Mahasiswa hukum yang mengambil prodi hukum pertanian—barangkali fotokopi Prof. Koerniatmanto–siap dengan pertanyaan sinis, “mau kerja apa nanti? Melindungi dan membela petani? Idealis banget, mungkin utopis.”
Bertemu di rumah Koerniatmanto di Cigadung Indah, Bandung awal Oktober yang lalu, kesan pertama adalah antusiasme, kecintaan dan kelengkapan pengetahuannya tentang disiplin yang ditekuni, termasuk tentang tata niaga produk pertanian. “Masalah utama petani itu bukan mereka tidak bisa memproduksi tetapi mereka tidak bisa menjual. Petani tidak bisa menentukan harga, sebab harga ditentukan para tengkulak atau taruh contoh di Pasar Induk Kramatjati,” tegasnya. Petani menghadapi tiga persoalan klasik: produksi pertanian mudah busuk karena terkontaminasi, modal kecil, dan sangat tergantung cuaca.
Mengatasi itu, ahli benih dari IPB, Prof. Sjamsoe’oed Sadjad (alm), pernah mengusulkan pada BRI memberikan kredit murah pada usaha tani. Berjalan beberapa tahun, kemudian BRI menghentikan karena kredit macet. Petani sangat lamban mengembalikan kewajiban. Masuk akal, kata Prof. Koerni, sebab walaupun petani bisa berproduksi tetapi karena tidak punya kemampuan menjual—repotnya tidak pernah ada penyuluhan—produksi keburu rusak. “Masalah petani itu bukan mereka tidak bisa berproduksi, tetapi mereka tidak bisa menjual”.
Koerniatmanto yang lahir 25 Februari 1953 di Bandung dari pasangan Petrus Canisius Marsoedihardjo dan Caecilia Trimurti—keluarga guru, mengakui bukan sarjana pertanian, bukan ahli marketing, bukan ahli lingkungan. Kepeduliannya pada petani terutama pada masalah pertanian dan nasib petani, lebih pada perlunya perlindungan pada profesi usaha tani. Awalnya ia tidak mengambil spesialisasi hukum pertanian, tetapi SH hukum tata negara dan administrasi pemerintahan (MH) masing-masing tahun 1981 dan 1989, begitu juga doktor tahun 1998 dari FH Unair, Surabaya. Terlebih setelah memperoleh gelar guru besar dengan pidato pengukuhan “Hukum bagi Si Miskin: Kasus Hukum Pertanian” dari FH Unpar, tahun 2007, ia semakin menekuni-metekut hukum pertanian.
“Masuk ke Fakultas Hukum hanya kebetulan. Karena disuruh bapak. Dia sebagai guru tidak memaksakan kehendaknya, tetapi mengharapkan keiklasan saya. Saya diminta menanyakan pada sembilan orang yang dia sebutkan nama-namanya. Semua menyarankan saya masuk hukum. Saya nyerah deh, walaupun saya kira mereka sudah dipesan bapak agar menyarankan masuk FH.” Minat sebenarnya antropologi dan sejarah, sehingga beberapa judul buku – sebagian dari puluhan bukunya tentang hukum pertanian—mengenai sejarah pemerintahan; segera terbit buku tentang pura di Bali.
Di Indonesia, demikian Koerni—panggilan akrabnya—hukum pertanian sering dicampuradukkan dengan hukum agraria, sebab hukum pertanian tidak hanya menyangkut lahan, tetapi juga perlindungan dan hak petani dan produksi pertanian. Maka hukum pertanian (agriculture law) lebih luas dari agrarian law (hukum agraria). Di Indonesia masih asing, tetapi di negara-negara maju ilmu hukum pertanian maju pesat, di antaranya di AS, Belanda, Inggris, dan Australia. Di Indonesia yang sejak 24 September 1960 ada UU No. 5 Th. 1960 tentang Pokok-pokok Agraria saja belum jalan, alih-alih hukum pertanian.
Menurut Koerni—mengajar di FH Unpar sejak 1981, sering terlibat dalam tim perencanaan masalah lahan pertanian dan penelitian, di samping masalah pertanian, ia merasa tidak kalah memprihatinkan perlindungan hukum di bidang perikanan dan peternakan. “Seperti pertanian, tata kelola peternakan dan perikanan perlu diatur dan kepentingan para pelakunya perlu dilindungi.”
Minat ke hukum pertanian bagi suami Theodora Suwinarni–ayah Juventus Pius Danandaka Mumpuni dan Thomas Diego Harindaka Maruti—tumbuh dan berkembang dilatarbelakangi kepedulian pada miskin. Juga tergerak ensiklik Paus Yohanes XXIII, Mater et Magister (Ibu dan Guru) tahun 1961, yang kemudian menjadi inspirasi Ajaran Sosial Gereja Konsili Vatikan II tahun 1963-1965.
Pernah hampir putus asa, ketika di tahun 2012 Harindaka, si bungsu– mahasiswa tingkat IV FH Unpar-ditembak perampok yang mencuri laptopnya. Pelan-pelan ia bisa menerima sebagai kehendak Tuhan, sementara Danan, lulusan FH Unpar-sampai sekarang masih terus dia semangati agar bisa menerima kenyataan. Sebagai orang beriman Katolik, Koerni merasa Tuhan menunjukkan jalan dan rencana-Nya. “Saya dan istri mulai bisa menerima, penjahatnya memang tertangkap dan dihukum.” Di samping sebagai guru besar FH, saat ini Koerniatmanto diserahi tugas merintis berdirinya Program Studi Vokasi Agribisnis Pangan di Unpar.
St. Sularto
Wartawan Kompas 1977-2017