Membangun Spiritualitas Ekologis dengan Lukisan Sampah

Sampah plastik bagi Romo Aluisius Dian Permana SJ bisa diubah menjadi karya seni yang indah. Melalui tangan terampilnya, sampah plastik bisa diubah menjadi lukisan yang indah. Sejumlah tokoh iman, tokoh politik, tokoh publik dan para pahlawan berhasil ia lukis dengan media plastik. Sebagai contoh, ia telah membuat lukisan Paus Fransiskus, Santo Ignatius Loyola dan Presiden RI Joko Widodo.

Karena kecintaannya pada lukisan sampah sampai ada yang memanggilnya GGS alias “Ganteng-ganteng Sampah”. “Apapun itu istilahnya dari teman-teman, tapi yang terpenting adalah kita peduli terhadap sampah plastik. Intinya adalah setiap orang atau setiap diri kita bisa melakukannya,” paparnya dalam webinar Edutalk “Merdeka Merawat Bumi: Membangun Pertobatan Ekologis”, 25 November 2022 lalu.

Menurutnya, orang yang mau menjadi pelukis sampah plastik tidak harus mempunyai kemampuan yang mumpuni. “Tidak harus yang sudah jago melukis yang bisa membuat kerajinan dari sampah pastik, tetapi intinya adalah kita mau atau tidak,” tutur imam yang lahir di Kabupaten Semarang, 19 Oktober 1991 itu.

Menurut Romo Ale, ada banyak kerajinan dari sampah plastik seperti tas, tempat pensil, bunga dan banyak lainnya dan bahkan bisa dijual. “Saya hanyalah sepenggal kisah di antara ribuan orang yang sudah melakukan tindakan atau peduli terhadap lingkungan sampah,” katanya merendah.

Lukisan Santo Ignatius Loyola dengan media kemasan plastik

Romo Ale terpanggil untuk mengolah sampah plastik menjadi lukisan sejak tahun 2012. Waktu itu, ia masih menempuh pendidikan dan tinggal di asrama. Ia prihatin dengan banyaknya sampah plastik di tempat itu. “Di asrama itu ada banyak sekali sampah-sampah plastik yang tidak diperhatikan atau dibuang begitu saja,” tuturnya. Sejak itulah, ia mengubah sampah-sampah plastik itu menjadi lukisan. Kemasan aneka makanan, minuman, sabun, deterjen, permen, ia ubah menjadi karya lukis.

Dalam perjalanan waktu, ia pun menekuninya sebagai hobi. Melihat hasil karyanya, banyak orang yang tertarik untuk belajar dan mengundangnya dalam workshop dan pelatihan-pelatihan seperti di sekolah, di paroki bahkan di organisasi ibu-ibu PKK.

Pada perkembangannya, tak hanya plastik yang ia olah, kertas koran, kain perca, ampas teh, kopi, bahkan rambut kepala pun ia jadikan karya seni yang indah. “Pokoknya barang-barang yang sudah tidak terpakai itu saya buat untuk membuat lukisan, ya,” ungkapnya.

Romo Ale melihat, kertas koran banyak yang hanya dijual ke pengepul. “Padahal kan juga bisa digunakan untuk membuat kerajinan tangan termasuk buat lukisan dari koran itu,” katanya.

Fenomena sampah yang tak terkelola sangat memprihatinkan. Maka, tak jarang orang geram ketika ada yang membuang sampah di sungai. Lalu orang-orang sekitar sungai dengan marah memasang tulisan “Ini bukan tempah sampah”, atau “Yang membuang sampah di sini adalah anjing”. “Ada kata-kata kasar seperti itu karena mungkin orang sudah jenuh, (orang) tidak bisa lagi membedakan, mana tempat sampah dan mana bukan tempat sampah,” katanya.

Hobi dan kreativitas mengubah sampah menjadi lukisan menarik banyak pihak seperti stasiun televisi swasta. Ia diundang dalam salah satu program siaran di dalamnya. “Saya senang bisa berbagi pengalaman bagaimana saya berkecimpung. Bagaimana membangun kepedulian terhadap lingkungan tempat tinggal kita bersama. Jangan ditangkap sebagai sebuah kesombongan. Tetapi ini sebagai sebuah perjuangan bahwa sampah-sampah plastik itu menjadi masalah kita bersama. Harapannya kan bisa menjadi inspirasi kita bersama bahwa sampah plastik itu bisa digunakan untuk membuat lukisan,” katanya. Untuk mengajak khalayak mau mengolah sampah, ia pun mengunggah hasil karyanya di instagram.

Menurutnya, bukan hal yang sulit untuk membuat lukisan sampah. “Tinggal kita mau atau tidak,” tegasnya. Bahkan kalau mau mengolahnya, karya lukis itu bisa menghasilkan uang. “Jadi, tidak hanya semata-mata peduli terhadap sampah, menanamkan kesadaran bahwa sampah plastik atau bungkus plastik yang awalnya bagi saya tidak berguna, oh, ternyata memiliki nilai atau bisa dijual,” katanya.

Bagi Romo Ale, sampah mestinya menjadi kepedulian dan perhatian kita bersama. “Kita juga diajak untuk peduli. Tidak usah mengatakan itu bukan tugas saya. Tetapi yang terpenting adalah apa yang bisa saya lakukan untuk lingkungan hidup sebagai rumah atau Bumi sebagai tempat tinggal kita bersama,” ungkapnya.

Romo Ale mengajak semua pihak untuk tidak jenuh dalam merawat bumi. Seruan pertobatan ekologis, gerakan 4R maupun gerakan no plastic tetap harus didengungkan.  “Mungkin sudah jenuh gitu ya mendengar kata pertobatan ekologis, gerakan 4R, kemudian gerakan no plastic. Tetapi itulah realita yang kita hadapi sekarang ini bahwa mau tidak mau, kita jangan pernah jenuh untuk senantiasa peduli terhadap lingkungan hidup, terutama bumi sebagai tempat tinggal kita bersama,” katanya. Hal itu menjadi sangat penting, apalagi saat ini kita dihadapkan pada berbagai tantangan.

Menurutnya, ada 4 tantangan yang saat ini sedang dihadapi bersama.

Yang pertama, kemajuan zaman dengan segala tantangannya. “Dan sekarang ini hampir semua dari kita sudah memiliki handphone dengan segala banyak aplikasi yang ada di dalamnya. Kita mau tidak mau juga harus mengakui bahwa kecanggihan handphone itu mempunyai dampak positif dan negatif dalam diri kita masing-masing, entah dalam keluarga, dalam masyarakat, di sekolah juga, di lingkungan gereja juga,” ungkapnya.

Yang kedua, kesenjangan yang kaya dan miskin. “Banyak masyarakat di Indonesia juga yang hidup dalam keterbatasan. Terutama di kota-kota besar ya dengan segala hiruk pikuknya,” katanya. Hal itu diperparah dengan adanya korupsi di Indonesia. “Kita diajak untuk menyelami dunia dengan segala tantangannya termasuk kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin. Dan ini juga menjadi perhatian kita bersama bagaimana mengentaskan kemiskinan yang ada di Indonesia karena katanya Indonesia sudah lama merdeka tapi katanya kok ya kesenjangan yang kaya dan miskin masih saja terjadi,” ajak Romo Ale.

Yang ketiga, masalah intoleransi. “Ini menjadi persoalan kita bersama juga. Kita diajak untuk menghargai masing-masing agama tetapi kenyataannya seringkali dalam prakteknya juga masih jauh dari kata toleran. Kita masih mengkotak-kotakkan, kamu agamanya apa, saya agamanya apa,” katanya.

Dan yang keempat, kerusakan lingkungan hidup. “Ini sekarang dampaknya sudah kita rasakan gitu ya. Kalau misalnya harusnya musim kemarau ya panas ya, tapi kenyataannya musim kemarau kok malah hujan terus. Setiap hari kita tidak bisa memprediksi, ini musim kemarau atau musim penghujan. Harusnya kan ada pembagiannya antara musim kemarau dan musim penghujan,” kata Romo Ale.

Lukisan Soekarno berbahan kain perca batik

Bumi sebagai rumah kita bersama

Romo Ale melihat kondisi alam semakin memprihatinkan saat ini. Sayangnya, kerap kali di antara kita menyatakan bahwa itu bukan urusan kita, namun urusan pemerintah. “Padahal kenyataannya, setiap dari kita pun menghasilkan sampah. Kadang setiap hari kita juga terlibat dalam pencemaran tanah, pencemaran air, misalnya pembuangan limbah-sampah atau sampah yang katakanlah tidak bisa terurai, dibuang ke sungai begitu saja, seperti gabus, kemudian sampah-sampah lainnya yang tidak bisa diurai atau terurai secara mudah,” kata Romo Ale.

Romo Ale menegaskan, setiap dari kita terlibat dalam kerusakan ini. Untuk itu, kita perlu belajar untuk rendah hati. “Kita mengakui bahwa setiap dari kita juga terlibat dalam kerusakan lingkungan hidup,” katanya.

Menurutnya, meski di beberapa tempat sudah ada bank-bank sampah, tetapi kenyataannya, masih ada sampah  yang dibuang begitu saja di tempat pembuangan sampah tanpa ada pemilihan yang jelas.

Masih menurutnya, setidaknya ada dua penyebab kerusakan lingkungan hidup. Pertama karena bencana alam. Kedua, karena faktor manusia. “Kalau misalnya faktor bencana alam ya, kita tidak bisa mencegahnya, misalnya tsunami, gempa bumi. Manusia tidak bisa memprediksinya,” katanya.

Namun yang membuat kerusakan semakin paling parah adalah faktor manusia. “Manusia yang menyebabkan kerusakan alam semakin parah,” katanya. Malasnya mengelola sampah, pembukaan tambang yang membabi buta, dan membuka hutan memperparah kerusakan lingkungan.

“Dulu ketika saya masih kecil itu masih ada capung ya, sekarang itu seakan-akan susah sekali untuk menemukan capung ya. Beberapa hewan kenyataannya sudah tidak bisa kita jumpai lagi ya. Itu juga akibat salah satunya karena faktor keseimbangan alam yang semakin tidak menentu lagi,” kata Romo Ale.

Romo Ale juga melihat krisis air yang makin banyak di beberapa daerah. “Ketika musim kemarau mereka mengalami kesulitan untuk mendapatkan air yang bersih. Bahkan sekadar minum saja mereka mengalami kesulitan karena mengalami krisis air,” ungkapnya.

Kesadaran bersama

Yang menggembirakan, bagi Romo Ale, adalah saat ini mulai banyak komunitas yang terpanggil untuk menyikapi krisis lingkungan hidup. “Ada banyak komunitas, ada banyak di antara kita juga yang sudah menumbuhkan kesadaran bersama. Ada komunitas-komunitas yang peduli terhadap sampah. Kemudian mereka kreatif dalam memanfaatkan limbah-limbah sampah. Kemudian ada juga gerakan anti plastik di sekolah-sekolah ataupun di tempat perbelanjaan. Ada banyak komunitas-komunitas yang sudah peduli dan juga banyak orang yang sudah peduli terhadap sampah entah itu sampah organik maupun anorganik,” katanya. Beberapa komunitas gigih mengampanyekan gerakan 4R: reduce, reuse, recycle, dan replace.

Romo Ale pun mengungkapkan kalau Indonesia pernah mengalami tragedi sampah yakni meledaknya TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat akibat meningkatnya konsentrasi gas metana dari tumpukan sampah pada tanggal 21 Februari 2005. Tragedi itu menewaskan 157 orang. Tanggal itu diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN).

Menurutnya, dalam melestarikan lingkungan, kita perlu membangun kesadaran bersama, termasuk Gereja mesti ambil bagian di dalamnya. Bersyukur pimpinan tertinggi Gereja Katolik, Paus Fransiskus menanggapi secara serius dengan mengeluarkan Ensiklik Laudato Si’ tentang Merawat Bumi Rumah Kita Bersama.

“Paus Fransiskus mendorong setiap orang, individu, keluarga, kelompok masyarakat lokal, negara-negara, dan masyarakat internasional untuk sebuah perubahan lingkungan,” kata Romo Ale.

Paus, tegasnya, mengajak semua pihak untuk senantiasa peduli terhadap lingkungan alam. “Alam tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang terpisah dari kita  atau hanya sekadar sebagai tempat kita hidup,” tuturnya.

Tanggung  jawab merawat bumi bukan hanya tanggung jawab pihak-pihak tertentu, tetapi menurut Romo Ale, kita semua diundang untuk bertanggung jawab terhadap bumi ini.

“Tanggung jawab terhadap bumi milik Allah menyiratkan bahwa manusia yang diberkati dengan akal budi menghormati hukum alam dan keseimbangan yang lembut di antara makhluk-makhluk di dunia ini,” kutip Romo Ale dari Ensiklik Laudato Si no 68. Alih-alih mengintervensi, menurut Romo Ale, manusia diharapkan untuk menghormati hukum alam.

Romo Ale juga mengingatkan perlunya menghidupi spiritualitas dan pertobatan ekologis seperti yang disampaikan Paus Fransiskus. “Saya (Paus Fransiskus) menawarkan pada umat Kristiani suatu kerangka spiritualitas ekologis yang berakar dalam keyakinan iman kita, karena apa yang diajarkan Injil kepada kita memiliki konsekuensi terhadap cara kita berpikir, berperasaan dan hidup. Yang penting bukanlah berbicara tentang ide-ide, tetapi terutama tentang motivasi yang lahir dari spiritualitas, untuk menumbuhkan semangat pelestarian dunia,” kata Romo Ale mengutip Ensiklik Laudato Si no 216.

Romo Ale menegaskan, kita diajak untuk terlibat pada masalah lingkungan hidup dengan membangun spiritualitas ekologis. “Yang terpenting bukan lagi masalah ide-ide yang bagus.  Tetapi pada akhirnya kita diajak untuk bergerak. Bukan lagi berbicara, tapi apa yang bisa kita lakukan sebagai sebuah konsekuensi,” katanya.

Terpaksa?

Dalam berbagai kesempatan ketika diundang untuk mengisi workshop, Romo Ale bertanya pada peserta, apakah mereka terpaksa hanya sebatas mengisi waktu luang? Apakah hanya sebatas mengisi supaya nilai di rapor juga baik? Apakah hanya sebatas karena paksaan dari guru dan sekolahnya? Ini disampaikan untuk mengetahui motivasi yang melatari seseorang untuk merawat lingkungan.

“Kita semua diajak untuk peduli bukan lagi terpaksa, membangun kesadaran bersama bahwa bumi milik kita bersama,” katanya.

Kabar baiknya, praktik-praktik baik mulai dihidupi misalnya di sekolah. Ada sekolah yang sudah berhenti memakai backdrop dari plastik sekali pakai. Ada yang mulai membiasakan siswa-siswinya untuk membawa botol minuman dari rumah yang bisa dipakai ulang. Ada yang mulai mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.

“Saya kira juga di sekolah-sekolah sudah mulai peduli terhadap gerakan-gerakan peduli dengan sampah entah itu dengan pemilihan maupun juga gerakan-gerakan lainnya yang sudah diterapkan di kelas maupun di sekolah dalam lingkup yang lebih luas,” katanya.

Menurut Romo Ale, kita tidak dapat menyangkal bahwa sampah menjadi bagian hidup manusia dalam kehidupan sehari-hari.  Bahkan dapat dikatakan bahwa setiap orang menghasilkan sampah. Namun sungguh ironis jika sampah ditumpuk begitu saja dan tidak diperhatikan hingga akhirnya menggunung.

Romo Ale mengajak setiap pribadi untuk peduli pada sampah. Setiap pribadi diajak untuk tidak apatis namun penuh pengharapan. “Kita belajar untuk peduli dengan cara yang kita miliki. Meskipun itu caranya sederhana,” ungkapnya.

 

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *