Bumi Sehat, Manusia Sehat

Buah-buah markisa yang masak dipetik Suster Agata Titi Prawati BKK pagi itu. Buahnya segar dan besar. Tanaman itu tumbuh subur menjulur di pagar depan Biara Biarawati Karya Kesehatan (BKK) di daerah Sendangguwo, Semarang. Markisa adalah salah satu dari sekian banyak tanaman yang tumbuh subur di halaman depan dan samping biara. Semua tanaman itu terawat berkat sentuhan tangan dinginnya. Suster yang biasa disapa Suster Titi itu rajin membuat kompos, eco enzyme dan biowash. Kompos dan eco enzyme yang dibuatnya menyuburkan tanaman yang tumbuh di sekitar biara.

Selain menjalani hidup panggilan sebagai seorang biarawati, Suster Titi juga menghidupi kerasulan lingkungan hidup. Kecintaannya pada tanaman sudah muncul sejak kecil. “Kecintaan pada tanaman sudah ditanamkan di dalam keluarga sejak kecil. Masa kecil itu kami mempunyai kebiasaan menanam,” kata Suster Titi. Ayahnya yang bekerja sebagai guru juga memiliki sawah dan ladang yang cukup luas.  Usai sekolah, setiap hari, Titi kecil bersama ibu dan saudaranya turut merawat tanaman yang dibudidaya ayahnya.

Setelah agak besar, Titi diberi tanggungjawab untuk merawat tanaman oleh orang tuanya. Tanaman-tanaman itu dirawat, dipupuk, diairi sedemikian rupa.

“Saya sirami dengan senang hati, apalagi lihat perkembangan setelah disirami, tanamannya itu tumbuh subur,” kata perempuan kelahiran Bandar Lampung, 24 Februari 1970 itu. Yang lebih menggembirakan bagi Titi adalah ketika waktu panen tiba. Orang tuanya mempunyai kebiasaan yang baik yaitu panenan pertama dibagikan kepada para tetangga seberapapun hasil panennya, baru panenan berikutnya dijual.

“Kami punya prinsip gini kalau dulu, menanam tanaman sayuran itu apapun, panen pertama itu dibagikan ke tetangga. Tidak dijual tapi dibagikan ke tetangga dulu. Baru panenan kedua dijual,” katanya. Selain buah-buahan, sayur mayur, untuk menambah keindahan halaman, Titi juga menanam aneka bunga.

Di sela-sela kesibukannya sebagai guru dan mengolah tanah, ayahnya mengajarkan filosofi pada Titi bahwa ketika seseorang mempunyai jerih payah, Tuhan akan memberikan yang dibutuhkan. “Akan dicukupi. Apalagi dengan kita mau berbagi, kita tidak akan pernah kekurangan,” kenangnya.

Menurutnya, alam selalu memberi semua kebutuhan hidup manusia bahkan untuk pertanian yang dilakukan keluarganya. Keluarganya biasa menggunakan pupuk kandang. “Bapak saya juga beternak kambing dan ayam. Jadi, kotorannya itu dikumpulkan, dimanfaatkan untuk memupuk di sawah,” katanya.

Kecintaan merawat bumi dan lingkungan dilanjutkan Suster Titi ketika dewasa dan menjadi biarawati. Menurutnya, manusia akan sehat kalau buminya juga sehat. “Kalau saya mencintai bumi, bumi menjadi sehat, manusia yang tinggal di sekitar itu juga menjadi sehat. Lingkungan juga menjadi sehat. Ada hukum hubungan timbal balik,” ungkapnya.

Menurutnya, manusialah yang membutuhkan bumi, bukan manusia yang membutuhkan bumi. “Saya membutuhkan bumi, sebenarnya bumi tidak membutuhkan manusia, wong dia bisa hidup sendiri, tanpa manusia. Tapi karena membutuhkan (bumi) jadi berusaha untuk memelihara,” katanya.

Maka, di mana pun tinggal, Suster Titi tetap memelihara lingkungan, menanam dan merawat tanaman. Semula, semua itu sebagai penyeimbang di tengah rutinitas kesibukan terutama ketika melayani di rumah sakit di Pare-Pare. “Supaya tidak jenuh, kalau hari libur, saya mencoba merawat tanaman, menanam, dan membuat kompos,” katanya. Sampah-sampah yang ada di biara pun dikelola sedemikian rupa. Yang tadinya sebagai penyeimbang di tengah kesibukan, setelahnya itu semua menjadi bagian karya kerasulannya.

Suster Titi memperlihatkan Eco Enzyme hasil pilah sampahnya di biara

Berusaha tetap konsisten

Meski banyak tantangan dalam merawat bumi, Suster Titi tetap berusaha konsisten. Ia sadar, merawat bumi adalah untuk kebaikan bersama. “Walaupun banyak mengalami tantangan, saya jalani terus dengan proses,” katanya. Selain dengan melakukan aksi-aksi nyata, ia pun memperdalam pengetahuannya dalam hal merawat bumi. “Saya ikut seminar tentang lingkungan hidup dan membaca sendiri,” katanya.

Ia pun telah membuktikan, dengan konsisten merawat bumi, udara di sekitar biara menjadi bersih. Tanaman-tanaman yang dirawat pun bisa menjadi penghias kapel biara. “Kita juga sudah tidak perlu beli bunga potong. Itu menghemat,” katanya. Aneka sayur bisa dimasak karena ia juga menanam sayur di banyak wadah bekas yang dipakai pot.

Ia menyadari, di biara tidak semua orang memiliki ketertarikan yang sama dalam merawat bumi. Namun, masing-masing bisa mengambil peran sesuai dengan minat dan kemampuannya dalam merawat bumi. Mungkin ada yang tak bisa merawat tanaman secara detil. Namun, ia bisa mengambil bagian dengan menyiram. “Jadi, di sini kami saling membantu, saling bekerja sama,” katanya.

Sesuai visi kongregasi BKK

Dalam perjalanannya, Suster Titi menemukan, semua yang dilakukannya terkait dengan merawat bumi selaras dengan visi Kongregasi BKK. “Gerakan ekologi setelah dilakukan sekian tahun sesuai dengan visi misi kongregasi kami,” ungkapnya.

Bahkan, menurutnya, anggota komunitas BKK getol mempromosikan gerakan ekologi salah satunya dengan memperkenalkan eco enzyme kepada masyarakat. Ia kerap bertemu dengan ibu-ibu anggota PKK untuk memperkenalkan eco enzyme. Ada warga yang kulitnya gatal-gatal dan terkena kutu air. Setelah diolesi denga eco enzyme, kulitnya sembuh. Dari hal itu, Suster Titi pun memotivasi warga untuk membuat eco enzyme yang kaya manfaat secara mandiri. Tak hanya itu, bahkan ia mengajak warga untuk bersama-sama memulai gerakan menanam sayur di pekarangan atau lahan masing-masing meski sempit untuk sumber pangan keluarga. Ia memulai terlebih dulu di pekarangan biaranya. “Jadi, lingkungan sekitar ini ikut menanam,” tuturnya.

Suster Titi merawat tanaman

Masa kecil

Ayah dan ibunya, Lukas Suparno dan Kristina Partinem yang berasal dari Yogyakarta adalah sama-sama lulusan Sekolah Guru Bantu (SGB). Mereka mendaftar menjadi guru di Lampung dan kemudian tinggal di desa Giriharjo, Kecamatan Pagelaran, sekarang masuk Kecataman Fajar Mulia, Kabupaten Pringsewu, Lampung. Sebagai sesama guru, mereka bertemu di Lampung dan menikah. Setelah menikah, ibunya memilih menjadi ibu rumah tangga dan mengurus sawah ladang. Ayahnya terus menjadi guru.

Kedua orang tuanya sangat mendukung minat anak-anaknya.  “Mereka memberi kesempatan pada anak-anaknya untuk mengembangkan apa yang diminati, apa yang disukai. Jadi, misalnya saya dan adik suka bertanam, kami diberi kesempatan masing-masing untuk mengembangkannya. Lalu, pesannya, kalau kamu punya sesuatu yang disukai, tekuni, dan juga jangan hanya sekadar itu, tapi juga dicintai, dikembangkan. Karena itu akan bisa bermanfaat untuk diri sendiri, orang lain dan juga lingkungan di mana kamu berada,” demikian ia menirukan pesan ayahnya.

Setelah menghidupi minatnya di rumah orang tuanya dalam hal menanam, ketika SMP, Titi yang kemudian tinggal bersama tantenya pun meneruskan minatnya dalam bercocok tanam.  “Di sebelah rumah tante ada tanah orang yang bisa digarap, cukup luas. Ada sekitar 500 meter. Di situ kami tanam terong, tanam cabai, pohon pepaya, pohon pisang. Pagarnya kami pakai pohon ubi kayu. Daunnya bisa untuk sayuran,” katanya.

Panggilan membiara

Ketika SD, Titi bersekolah di sekolah negeri. Begitu SMP, ia bersekolah di SMP Katolik Xaverius dan tinggal di rumah tantenya. Di SMP itulah ia berjumpa dengan guru yang juga seorang suster FSGM. Ia terkesan dengan kebaikan suster tersebut. “Suster itu orangnya lemah lembut. Perhatian dengan orang kecil. Terutama siswa-siswa yang tidak mampu difasilitasi. Nah, di situ saya tertarik menjadi biarawati,” katanya.

Ketertarikannya menjadi biarawati makin kuat ketika ia sejak SMP mulai aktif kegiatan gereja seperti menjadi misdinar dan ikut koor. Ia juga membagikan pengalaman yang ia dapat selama sekolah SMP di kota untuk dibawa ke kampung halamannya. “Apa yang saya dapatkan misalnya selama saya sekolah di SMP itu, ketika saya pulang liburan, saya kembangkan di desa. Mengembangkan, misalnya, kita buat koor, nyanyi-nyanyian walaupun tidak bagus. Kami membentuk kelompok itu. terus latihan misdinar,” katanya.

Demikian juga ketika ada program orang muda membangun masyarakat, ia dengan semangat membawa pengalaman itu ke desanya. Ia bersama masyarakat lintas agama setempat melakukan penghijauan, bakti sosial, kerja bakti, dan perbaikan jalan. Hal itu dilakukannya selama 3 tahun ketika SMP. Karena kesibukannya dalam pelayanan, ibunya berkomentar, “Wah, kamu sekarang lebih banyak kegiatan gereja. Kamu pindah saja rumahnya di gereja.” Dengan spontan, Titi pun menjawab, “Iya, saya akan pindah di gereja.” Rupanya itu pertanda bahwa bibit panggilan tumbuh subur di hatinya.

Titi pun melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG).  Saat belajar di SPG itu benih-benih panggilannya semakin kuat. Namun, ia masih butuh memastikan diri, takut kalau semua itu hanya ikut-ikutan.

Ia pun memutuskan untuk kuliah di FKIP Bahasa Indonesia Universitas Lampung. Dalam hati ia berkata, kalau memang waktu saya kuliah panggilan itu muncul berarti itu Tuhan yang menghendaki. Selama kuliah ia minta bimbingan dengan suster-suster yang ada karena panggilan hidup membiara makin menggebu. Namun, ia diam, tidak bercerita pada  orang tua maupun pastor.

Suatu ketika, ia berjumpa  dengan pastor parokinya. Dalam sebuah kesempatan, yaitu ketika hari tamu, siapapun boleh datang ke pastoran, semacam open house, Titi diminta datang ke pastoran oleh pastor tersebut. Hari tamu biasanya diadakan pada hari Rabu.

Ketika berjumpa dengan pastor tersebut, sang pastor langsung bertanya, “Kamu mau jadi suster, ya?” Merasa tidak pernah mengatakan pada siapapun, Titi balik bertanya, “Romo tahu dari siapa? Karena saya tidak pernah bicara dengan siapapun.” Romo itu hanya mengatakan, “Itu suara hati. Tuhan berbicara di dalam hati saya. Ini ada anak yang perlu dibantu. Dia punya keinginan untuk menjadi suster.”

Titi pun mulai live in di biara-biara untuk mengenal dan menjajaki kongregasi-kongregasi yang ada. Sekian waktu menjajaki kongregasi yang ada, dia terpanggil untuk bergabung di Kongregasi BKK. Ia masuk BKK pada 20 Desember 1992. Ia mengucapkan kaul pertama pada 18 Agustus 1996 dan kaul kekal pada 10 Agustus 2003.

“Semakin saya masuk, saya semakin tertarik. Semakin ada sesuatu yang ingin saya cari,” katanya.

Melihat hal itu, ayahnya memberi peneguhan padanya. “Apa yang kau pilih, kauhidupi dan belajar untuk setia. Tapi kalau memang itu bukan panggilan, kamu kembali tetap sebagai anakku,” katanya.

 

 

 

 

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *