Wayang Wahyu: Inkulturasi dalam Bidang Pengajaran Kitab Suci

Pewartaan Kabar Suka Cita bisa disampaikan melalui banyak media. Salah satunya adalah melalui budaya setempat. Romo Agustinus Handi Setiyanto, Pr memaparkan pentingnya seni budaya sebagai sarana penyampaian ajaran Gereja dan Injil dalam Sarasehan Budaya Lintas Iman di Paroki Kristus Raja Ungaran, 17 Agustus 2021.

Umat Katolik dan kebudayaan

Menurutnya, Umat Katolik sangat menghargai kebudayaan sebagaimana terungkap dalam dokumen Gereja Gaudium et Spes No. 58, “Seraya berpegang teguh pada tradisinya sendiri, pun sekaligus menyadari perutusannya yang universal, Gereja mampu menjalin persekutuan dengan pelbagai pola kebudayaan. Dengan demikian baik Gereja sendiri maupun pelbagai kebudayaan diperkaya.”

Gaudium itu artinya kegembiraan, Spes itu harapan. Ini merupakan suatu catatan penting dari hasil Konsili Vatikan II ketika terjadi pertemuan di tingkat dunia, kelas dunia dalam Gereja Katolik,” kata imam kelahiran Purworejo, 26 Agustus 1980 itu.

Menurutnya, Gereja Katolik atas sikap penghargaannya terhadap kebudayaan tersebut, menekankan pentingnya inkulturasi. “Inkulturasi merupakan usaha Gereja Katolik untuk ‘membudaya’ atau masuk ke dalam kebudayaan tertentu,” imbuhnya.

Semua bidang kehidupan menggereja, menurutnya, dilakukan melalui inkulturasi. Dalam bidang peribadatan (liturgi), menurut Romo Handi, Gereja Katolik memperhatikan lokalitas. “Misalnya di Ganjuran sangat kental dengan misa berbahasa Jawa lalu dengan iringan gamelan,” katanya.

Dalam katekese (pengajaran), Gereja mewartakan ajarannya juga melalui kebudayaan setempat, misalnya Wayang Wahyu. Dalam bidang pelayanan (diakonia), Romo Handi menunjukkan spiritualitas kerendahan hati. Dalam konteks Jawa ada istilah abdi.

Romo Handi sedang mendalang Wayang Wahyu. Tangkapan layar Youtube: Wayang Wahyu Romo Handi Bible Story

Dalam bidang paguyuban, semangat gotong royong sangat mewarnai Gereja Katolik Indonesia misalnya dengan dibentuk lingkungan atau wilayah. “Kita tahu, jatidiri bangsa kita itu gotong royong. Maka di Gereja Katolik yang ada kelompok-kelompok lingkungan ya saya kira ini khas Indonesia. Ada lingkungan kemudian wilayah, khas Indonesia,” kata Romo Diosesan Keuskupan Purwokerto itu.

Bidang kesaksian iman (kemartiran) pun dilakukan dengan pendekatan budaya. Romo Handi menunjukkan salah satu cara menjadi saksi adalah menjadi utusan. “Kita mengenal 5 huruf pertama Jawa itu kan ha na ca ra ka. Ha itu urip, hidup. Na itu napas. Sedangkan caraka itu utusan. Maka, selagi kowe isih urip tur isih duwe napas, nah kowe kudu gelem dadi utusan. Utusane sopo? Utusane Gusti. Lah, nggo ngapa, nggo memayu hayuning bawana, memayu hayuning diri, memayu hayuning sesama. Kita  semua menjadi utusane Gusti, supaya kita bisa menyebarkan kedamaian,” katanya.

Semangat Gereja menghormati kebudayaan lokal juga terlihat dalam tradisi Tengge Kain Songke dan Lorang di Flores Barat. Semangat inkulturasi pun terlihat dari bentuk bangunan tradisi setempat misalnya Joglo kalau di Yogyakarta atau bangunan khas Batak di  Gereja Katolik Inkulturasi St Mikael Pangururan Samosir, Sumatera.

Dengan menukil gagasan Kuntjacaraningrat, Romo Handi menyampaikan, kebudayaan, bisa berupa gagasan, tindakan maupun materi atau wujud. Sedangkan kesenian adalah salah satu dari unsur kebudayaan. “Kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan mendapat tempat serta perhatian Gereja Katolik,” katanya.

Maka, lanjutnya, Paus Yohanes Paulus II, sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik,  atas nama Gereja menulis surat kepada para artis (seniman-seniwati) dan terdokumentasikan dalam Letter of His Holiness Pope John Paul II to Artis-Vatican City (edisi bahasa Inggris) pada tanggal 4 April 1999. “Pada intinya, Gereja menyapa para seniman dan menyerukan agar terjadi kemitraan yang lebih konstruktif  antar kesenian dan Gereja,” katanya.

Wayang wahyu

Pada tahun 1960, ada upaya penyampaikan pesan Injil melalui kesenian Jawa yaitu Wayang Wahyu. Namun, pembicaraan dan diskusi mengenai Wayang Wahyu sudah terjadi sejak tahun 1950-an. Wayang Wahyu resmi berdiri pada 2 Februari 1960 atas prakarsa Bruder L. Timotius Wignyosubroto FIC.  Wayang Wahyu ini mengambil  kisah dari Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. “Jadi, wayang yang kisahnya base the bible, berdasarkan Kitab Suci,” katanya.

Isi cerita dan pesan Kitab Suci, menurutnya, diperagakan dalam bentuk pertunjukan wayang kulit. Bentuk wayang pun dibuat khusus misalnya tokoh Yesus, Maria dan Yusuf. Sedangkan kerangka pertunjukannya menggunakan konsep estetika pedalangan pada umumnya.

Konsep estetika tersebut terbagi menjadi beberapa, di antaranya, satu, pelaku pertunjukan, yang terdiri dari dalang sebagai pelaku utama, pengrawit (pemain gamelan), pesinden (penyanyi perempuan), penggerong (penyanyi laki-laki).

Dua, unsur garap pekeliran yang berisi lakon dan sanggit. Lakon berarti kisah atau jalan cerita. Sedangkan sanggit berupa kreativitas. Dalam pertunjukkan juga ada catur (dialog). Pertunjukan Wayang Wahyu juga menekankan sabet (pergerakan wayang). “Bagaimana si dalang itu menggerakkan wayangnya, wayang yang berjalan, wayang yang menari, wayang yang duel,” katanya.

Tiga, peralatan pertunjukan meliputi wayang, kelir (layar), kotak (peti wayangnya) dan dodogan, keprak, cempala, gamelan serta lampu atau blencong. Keempat, penghayat seni pedalangan, penonton atau penikmat.

Akulturasi

Menurut Romo Handi, akulturasi atau pertemuan dua budaya terjadi di dalam pertunjukkan wayang wahyu. “Yang satu adalah budaya narasi Semitis, dan yang satunya adalah budaya narasi Jawa,” katanya.  Ia pun menjelaskan, narasi Semitis ada dalam Kitab Suci berupa kisah-kisah tentang tokoh yang hidup pada masa lampau di Timur Tengah, misalnya Nabi Musa, Nabi Elia, Nabi Yusuf dan lainnya. Narasi Semitis itu dikisahkan dengan cara berkisah orang Jawa dalam cerita wayang kulit.

Proses inkultuasi dalam wayang wahyu

Menurut Romo Handi, Wayang Wahyu mengalami proses inkulturasi. Pertama, pembuatan tokoh wayang. Romo Handi pun menunjukkan tokoh prajurit Romawi, Simon Petrus, dan gunungan yang sangat dekoratif dan  di dalamnya terjadi perjumpaan budaya. Dalam gunungan ada simbol Roh Kudus, gambar salib, simbol 4 pengarang Injil, 2 loh batu yang menggambarkan 10 perintah Allah (3 perintah pertama relasi dengan Tuhan, perintah berikutnya relasi dengan sesama), gambar basilika (gereja pusat Roma, Vatikan), gambar malaikat, simbol gandum dan anggur (lambang perjamuan kudus), dan gambar rusa (yang menimba air dari 7 sakramen).

Kedua, pembuatan naskah dengan adaptasi (alih wahana). “Bagi saya membuat naskah ini sangat terkait dengan yang namanya alih wahana,” katanya. Alih wahana, menurutnya, perubahan wahana, perubahan dari wahana yang satu ke wahana yang  lain.

Ia pun memberi alasan Wayang Wahyu harus bernaskah. “Supaya tidak menyampaikan ajaran yang keliru. Supaya dalang punya acuan,” katanya. Romo Handi pun menemukan hal unik dalam alih wahana karena harus melakukan adaptasi. “Bagi saya ada hal yang unik. Dalam alih wahana tentu ada yang namanya adaptasi. Misalnya, ini menariknya di sini. Misal Yesus Gembala yang baik. Lalu dialog dengan Simon. Misalnya begini. ‘Simon, apa kowe tresna marang Aku?” “Inggih, Guru. Kula estu tresna dumateng Panjenengan”.  Ini contoh adaptasi. Kalau kita bertanya apa tenan sing jenenge Simon Petrus ki nganggo basa krama karo Gusti Jesus, karo Gurune? Yo ora. Karena di sana nggak ada tingkatan ngoko alus, ngoko, terus krama alus kan nggak ada. Di tempat kita harus adaptasi. Dalang harus tahu siapa yang harus bicara krama alus kepada tokoh siapa. Itu contoh dari adaptasi, dan ini saling memperkaya,” katanya.

Ketiga, pembuatan iringan baru. Wayang Wahyu pun membutuhkan iringan baru yang menyesuaikan dengan misi Wayang Wahyu tersebut. Salah satu contoh yang membuat iringan baru tersebut adalah Ki Blasius Subono. “Dia membuat pembuka Wayang Wahyu itu berisi doa dasar agama Katolik. Ada Bapa Kami, Salam Maria, Doa Maria Fatima, Kemuliaan. Diawali dengan tanda salib,” katanya.

Sumbangsih wayang wahyu

Meski dimaksudkan untuk pewartaan iman, Wayang Wahyu memiliki sumbangsih nyata dalam kebudayaan. Menurut Romo Handi, Wayang Wahyu turut melestarikan kesenian nusantara. Kedua, Wayang Wahyu memperkaya genre pewayangan nusantara. “Kalau Panjenengan rawuh ke museum Sonobudaya, misalnya di Yogyakarta, pasti ditemukan artefak Wayang Wahyu. Atau di mesum wayang Jakarta akan  ditemukan Wayang Wahyu yang turut memperkaya genre pewayangan di Nusantara,” katanya. Menurutnya, Wayang Wahyu juga selalu diikutkan dalam festival hari Wayang Dunia.

Ketiga, Wayang Wahyu menarik orang-orang luar negeri untuk mengenal seni wayang (wisata seni) . “Dalam Wayang Wahyu ada kisah bible yang nyambung. Teman saya seorang Katolik dari Singapura itu tiba-tiba menjadi gandrung dengan kesenian kita karena ya tadi melihat bible-nya dikisahkan dengan cara memakai tradisional. Ada kisah bible yang nyambung,” katanya.

Keempat, Wayang Wahyu menjadi katalisator kreativitas para seniman. Dalam Wayang Wahyu masih sangat terbuka pengembangan  artefak wayang maupun iringan musiknya. Kelima, menurutnya, Wayang Wahyu memberi peneguhan bahwa Indonesia mempunyai nilai toleransi yang sangat tinggi. Semua guyub di bawah payung seni. “Perlu diketahui bahwa kru Wayang Wahyu saya, pengiringnya semuanya adalah teman-teman kita, Muslim. Dan  mereka tetap mengimani apa yang mereka pegang karena yang mereka pandang adalah seni itu mengguyubkan. Seni itu meleburkan,” katanya.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

1 Comment

  1. Wayang Wahyu adalah anugerah yg luar biasa. Shg umat dapat mengambil nilai nilai luhur Kristiani yg menjd makna intisari kisah-kisah dalam Kitab Suci. Sebuah cara pendekatan yang baik bagi umat dlm pewartaan keagunganNya. Sugeng makaryo Romo Handi,PR…Tuhan memberkati selalu🙏🙏🙏

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *