Homili Bapak Ignatius Kardinal Suharyo dalam Ibadat Jumat Agung, 2 April 2021

(Berikut ini adalah transkrip homili Uskup Keuskupan Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo dalam Ibadat Jalan Salib yang disiarkan melalui kanal Youtube Komsos Katedral Jakarta, 2 April 2021)

 

Para Ibu dan Bapak, Kaum Muda, Remaja, dan Anak-anak yang terkasih dan di manapun Saudari-saudara sekalian, mengikuti upacara Jumat Agung ini.

Sebetulnya, di hadapan Yesus yang tersalib, kita tidak perlu mengatakan apa-apa, tidak perlu merenungkan apa-apa, cukup kalau kita tundukan kepala, mengucap syukur atas kasih-Nya yang tak terbatas sambil memohon semoga buah-buah salib dapat kita terima, kita pribadi, keluarga-keluarga dan komunitas kita.

Mungkin satu-dua butir renungan dapat membantu kita untuk semakin menggali makna dari kisah sengsara ini. Sejak awal, umat kristiani sangat senang merenungkan kisah sengsara Yesus. Pertama, karena dengan merenungkan kisah ini, umat kristiani dapat merasakan betapa besar tak terbatas kasih Allah kepada manusia yang berdosa dan mensyukurinya.

Yang kedua, dengan merenungkan kisah ini, umat kristiani dapat menemukan makna dari pengalamannya sendiri. Itulah yang dikatakan mengenai para rasul ketika mereka keluar dari sidang mahkamah agama, dikatakan begini: “Mereka meninggalkan sidang mahkamah agama dengan gembira karena mereka dianggap layak menderita penghinaan oleh karena nama Yesus.” Menderita dihina karena Yesus adalah suatu anugerah.

Rasul Paulus juga menuliskan hal yang serupa: “Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan di dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya yaitu Gereja.” Kita berhadap kita pun dapat menemukan pengalaman-pengalaman hidup kita lewat sengsara Yesus.

Makna lain yang dapat kita timba adalah ini, di dalam kisah sengsara-Nya, Yesus menampilkan kemanusiaan yang bermartabat. Itulah yang dikatakan oleh Pilatus, ketika ia mengatakan, “Lihatlah Sang Manusia!”

Secara lahiriah martabat-Nya direndahkan. Dia dikhianati oleh Yudas. Prajurit-prajurit Romawi waktu itu mempermainkan Dia, melakukan kekerasan terhadap Dia dengan menamparnya. Akhirnya Ia dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan yang sesat. Bahkan ketika sudah tidak berdaya, Ia direndahkan sampai serendah-rendahnya, ketika pakaian-Nya diambil, dibagi-bagi dan jubah-Nya diundi. Di dalam semuanya itu, Yesus diam. Diam yang memancarkan keagungan. Diam yang memancarkan kemuliaan dan martabat.

Ketika sampai saatnya, Yesus berkata, “Sudah selesa!” Artinya, Ia tuntas menyelesaikan karya perutusan yang diserahkan oleh Bapa kepada-Nya untuk menyatakan bahwa Allah adalah Sang Kasih. Di lain pihak tampil pribadi-pribadi manusia yang kurang atau bahkan tidak bermartabat. Yudas yang berkhianat. Kayafas Imam Agung yang merancang pembunuhan. Pilatus yang demi kekuasaan tidak berani menyatakan kebenaran. Para penjaga yang menampar Yesus untuk menunjukkan bahwa merekalah yang berkuasa. Dan sekian banyak orang lainnya yang merasa menunjukkan diri mereka tetap eksis dengan melontarkan ancaman, ujaran kebencian, dan tuntutan untuk membunuh.

Saudari-saudaraku yang terkasih,

Dengan mengikuti upacara Jumat Agung ini, sebetulnya dari lubuk hati kita yang terdalam, kita ingin menyatakan kesediaan kita untuk terus berusaha menghayati kemanusiaan yang bermartabat, adil dan beradab. Serta dengan peran kita yang berbeda-beda, membangun budaya kasih. Dan doa yang kita ucapkan sebagai doa pembuka di dalam upacara tadi sangat berarti bagi kita. Saya ulang untuk mengakhiri renungan ini. “Curahkanlah rahmat-Mu dan lahirkanlah kami kembali sebagai manusia baru agar menjadi serupa dengan Kristus!” Kristus yang diam, Kristus yang agung, Kritus yang mulia, Kristus manusia yang bermartabat.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

3 Comments

  1. Wah sae sanget. Semoga kita dimampukan utk menghayati kemanusiaan yg bermartabat, adil dan beradab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *