Peran Agama dalam Permasalahan Lingkungan Hidup

 

 

Kelestarian lingkungan hidup dewasa ini terancam. Salah satu pemicunya adalah pengelolaan sampah yang tidak bijak. Banyak upaya dilakukan untuk menyelamatkan lingkungan hidup dari persoalan sampah. Salah satu yang cukup penting dalam mendorong perawatan lingkungan hidup dari persoalan sampah adalah peran agama.

Romo Andang L Binawan, SJ dalam webinar “From Faith to Action”, Jumat 6 November 2020, menyampaikan pentingnya peran agama dalam permasalahan lingkungan hidup khsususnya sampah. Menurutnya, meski terkait dengan peran sosiologisnya, agama bukanlah sebuah institusi negara, bukan yang mempunyai kekuasaan di dalam hubungannya dengan jamaah atau umatnya, demikian juga bukan lembaga bisnis yang mau mencari keuntungan dengan prinsip efisiensi dan efektivitas.

Sementara itu, menurutnya, dalam pendekatan sosiologis yang sederhana, ada 3 poros dinamika sosial yang terjadi, yaitu poros pasar, negara dan masyarakat warga. Dalam hal ini, agama  ikut berperan dalam konteks masyarakat warga yang mau memberikan nilai-nilai.

Salah satu kekhasan agama, selain peran sosiologis, adalah paradigma spiritual. Menurutnya, agama, termasuk juga Gereja Katolik tidak hanya dilihat sebagai kekuatan sosial saja. Agama  mempunyai paradigma spiritual atau paradigma rohani yang mempunyai sumbangan penting dalam membangun kesadaran umatnya.

Ada 4 kekuatan penting agama, menurut Pastor Andang, yaitu ajaran, ritual, struktur-sistem (organisasi), dan trust. Empat kekuatan tersebut, menurutnya, bisa menjadi sumbangan dalam kehidupan sosial dan menjadi solusi atas permasalahan ekologis.

Dalam  konteks Gereja Katolik, jelas Pastor Andang, pimpinan tertinggi Gereja, Paus Fransiskus telah merilis ensiklik Laudato Si’ yang berisi ajakan untuk melihat bumi bukan sekadar rumah bersama tetapi harus dilihat juga dari kacamata spiritual supaya ada keadilan dan keadilan itu tidak hanya bagi manusia, tetapi juga bagi seluruh ciptaan yang ada di atas bumi ini. “Bukan hanya makhluk hidup, tetapi juga yang kita kenal sebagai lingkungan abiotik,” kata Pastor Andang.  Selain itu, karena yang tinggal di atas bumi bukan hanya orang Katolik, tentunya, diperlukan bekerja sama lintas iman.

“Intinya, dengan ensiklik ini ada sebuah kristalisasi tentang ajaran-ajaran di dalam Gereja Katolik tentang kepedulian pada lingkungan hidup, terutama pada masalah-masalah yang paling urgen atau mendesak sekarang ini yang disebut global warming dan climate change,” kata Pembina Gerakan Orang Muda Peduli Sampah (Gropesh) itu.

Ajaran dalam ensiklik itulah yang menjadi dasar dan ditindaklanjuti dalam ritual-ritual  maupun usaha-usaha praktis serta menjadi habitus umat. Sementara itu, agama mempunyai struktur. Struktur dibangun karena trust, baik trust antar jemaat, maupun antar jemaat dengan pemimpinnya.

Dengan demikian, agama bisa menjadi jembatan yang menghubungkan bukan hanya Tuhan dengan manusia, tetapi juga antarmanusia. Bahkan bukan hanya antarumat manusia tetapi juga seluruh antariman dan antaragama karena ada trust sosial yang memperlihatkan agama dikenali tidak mencari keuntungan sendiri. “Maka, dengan kekuatan inilah, kita mau bergerak bersama-sama,” katanya.

Pastor Andang melihat, potensi agama yang sangat besar dalam menyampaikan harapan seluruh umat manusia dan alam raya ini, termasuk bagi para pemimpin politik dan pemimpin  bisnis. “Sebenarnya pemimpin agama pun bisa memberikan suara ini dan itulah peran jembatan tadi karena pengandaiannya adalah para pemimpin agama tidak mencari keuntungan diri sendiri dan tidak mempunyai kepentingan-kepentingan politik apalagi bisnis. Itulah trust-nya,” kata pengajar di STF Driyarkara itu.

Pastor Andang mengatakan gerakan ekologi di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) khususnya terkait gerakan penanganan sampah sudah dilakukan sejak 2006, sebelum ensiklik Laudato Si’ dirilis pada tahun 2015. “Nah, di sinilah ketika kami mulai memilih isu untuk konteks Jakarta, kepedulian lingkungan hidup itu memiliki isu yang paling konkret dan paling sederhana yaitu peduli pada sampah. Tidak berarti bahwa tidak peduli pada air, tidak peduli pada udara, tidak peduli pada tanah, tapi justru ketika kita memilih sampah, maka sebenarnya kepedulian itu juga nyambung dengan kepedulian pada air, pada tanah, pada udara dan juga pada sesama,” ujarnya. Slogan  “Taruh Sampah, Jadikan Berkah!” pun digaungkan dalam rangka membangun habitus atau kebiasaan sosial.

Sejajar dengan yang disampaikan Paus dalam Laudato Si’, budaya membuang (throw away culture) harus dihindari dan dikurangi karena merupakan tanda egoisme manusia yang paling konkret dan tanda dari ketidakpedulian yang disebut dengan dosa ekologis. “Dosa ekologis yang paling sederhana adalah tidak peduli pada sampah. Dan itu berarti juga pada akhirnya juga merusak,” katanya.

Fokus gerakan sampah di KAJ, menurutnya bukan sekadar supaya tempat ibadah bersih. “Tetapi kami mau supaya setiap jemaat itu mempunyai kebiasaan sosial yang baru atau dalam bahasa sosiologisnya, habitus. Dan itulah yang menjadi upaya bertahun-tahun supaya setiap orang bisa dalam arti tertentu bukan hanya tidak membuang sampah pada sembarang tempat, tetapi juga bisa menaruh dan memilah sampah dengan penuh kesadaran,” imbuhnya.

Pastor Andang berharap, gerakan yang dirintis itu tidak hanya menyasar pada kesadaran, tetapi sungguh-sungguh menjadi perilaku sosial yang disebut habitus atau kebiasaan sosial. Menurut pengalamannya, hal itu bukan perkara mudah karena membutuhkan usaha yang banyak karena ini terkait dengan kelemahan dasar manusia.

Menurutnya, ada tiga kelemahan dasar manusia yaitu pelupa, tidak mau repot, dan tidak peduli. Tentang kelemahan manusia yang pelupa, menurutnya, upaya untuk terus menerus mengingatkan harus dilakukan. Maka, dalam hal ini perlu ada penyadaran misalnya melalui pelajaran, seminar, artikel koran dan majalah, instagram, youtube, stiker, poster dan segala piranti yang bisa mengingatkan orang.  Wawasan dan perubahan mindset perlu dilakukan. Di samping itu, keteladanan mutlak harus diberikan misalnya di sekolah atau tempat ibadah. “Pemimpin agama memberikan keteladanan, bukan hanya kotbah, bukan hanya anjuran-anjuran atau himbauan-himbauan saja,” katanya.

Mengatasi kelemahan manusia yang tidak mau repot, maka menurutnya, perlu disiapkan sarana-sarana yang mendukungnya. “Dulu kita kampanye untuk membawa kantong plastik sendiri, atau bahkan untuk memilah sampah, apa reaksi orang? Repot amat sih. Kok gitu aja kok repot. Tapi artinya apa? Berarti manusia tidak mau repot. Maka, kita harus menyediakan sarana-sarana yang membantu mengurangi itu. Misalnya, dalam konteks peduli sampah ya berarti harus disediakan tempat sampah yang cukup,” imbuhnya.

Maka, menurutnya, kerja sama pun perlu dilakukan dengan banyak pihak untuk menyediakan sarana prasarana itu. “Misalnya ketika kami  mengampanyekan dulu dengan kompos, maka kami menyediakan komposter-komposter. Termasuk dulu yang terkenal dengan keranjang takakura, misalnya. Tapi sekarang, kita misalnya sudah mengkampanyekan terkait dengan eco enzym misalnya,” katanya.  Selain itu, Gereja juga mengadakan pelatihan terkait pengelolaan sampah.

Dalam konteks membangun kesadaran, Pastor Andang berusaha memberikan nilai rohani di dalamnya, misalnya ketika bicara biopori tak hanya berkonsentrasi pada fungsinya sebagai resapan air. “Saya berkali-kali menyampaikan kepada umat bahwa membuat lubang resapan biopori dan memasukkan sampah-sampah organik (di dalam lubang biopori) itu sama saja dengan memberikan makan cacing-cacing dan itu berarti di dalam Injil, kami mewartakan Injil kepada segala makhluk-makhluk bahkan termasuk cacing-cacing,” katanya.

Terkait kelemahan manusia yang cenderung tidak peduli, menurutnya, manusia harus dipaksa dengan aturan. “Maka dalam konteks itu, di dalam kompleks gereja, tidak sedikit yang kami anjurkan untuk membuat aturan. Misalnya aturan supaya orang itu dalam arti tertentu dipaksa untuk tidak memakai styrofoam, misalnya. Jadi kalau kami mempunyai aula, lalu ada suatu kelompok yang memakai, kami larang untuk memakai makanan dengan kotak styrofoam. Atau kalau toh mereka kemudian ketahuan memeakai styrofoam, kena denda. Ini kan aturan, supaya orang dipaksa sehingga mulai terbentuk. Karena aturan itu bukan hanya memaksa tetapi juga mengingatkan,” ujarnya.

Ketika ada acara, umat pun dihimbau untuk membawa tumbler masing-masing. Konsekuensinya, gereja mesti menyediakan galon air minum untuk isi ulang tumbler. Lomba-lomba terkait lingkungan hidup misalnya pembuatan pohon natal dan gua natal diunggah ke platform. “Bukan kami yang keliling tapi mereka (peserta) harus mengunggahnya di youtube dan di situlah sebenarnya terjadi diseminasi. Karena tujuannya memang bukan lombanya sendiri, tetapi diseminasinya. Jadi, mereka berlomba supaya orang banyak melihat. Dan memang salah satunya adalah bahwa orang makin sadar tentang hal itu,” katanya.

Doa rosario dan  pemberkatan binatang pun dilakukan untuk menggugah kesadaran ekologis. “Dalam arti itu, kami masuk melalui ritual-ritual itu, supaya kesadaran itu memang benar-benar terintegrasi dengan kehidupan rohani. Jadi, bukan sekadar tempelan, tapi terintegrasi dalam kehidupan rohani. Maka, juga di dalam janji babtis yang selalu diperbarui setiap tahun, kami memasukkan dimensi lingkungan hidup supaya sekali lagi kepedulian kepada lingkungan hidup juga apalagi sampah yang kadang-kadang disepelekan, itu benar-bener bentuk dari iman yang nyata,” katanya.

Ketika prapaskah, gerakan pantang plastik dan styrofoam (Pantikfoam) pun digaungkan dan dilakukan secara masif. “Tradisinya dulu, pantang dan puasa itu hanya pantang makan enak, pantang makan garam bahkan pantang makan daging dan segala macam. Sekarang kami tambahkan pantang memakai plastik dan styrofoam,” katanya.

Tradisi pemberkatan binatang peliharaan pun dihidupkan. “Kami menghidupkan lagi tradisi yang dulu sering ada yaitu berkat binatang, berkat untuk binatang peliharaan. Sebenarnya itu adalah jalan samping supaya orang teringat bahwa kepedulian pada binatang itu juga bagian dari kepedulian lingkungan hidup. Dan itu berarti didorong juga untuk peduli pada sampah. Ini bagaimana cara mengubah mindset,” katanya.

Kerja sama dengan institusi yang concern dengan lingkungan hidup pun dilakukan. “Kami lakukan bersama DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim) yaitu Youth for Climate Change di mana kami mengundang banyak mahasiswa untuk berjumpa, bertemu, dengan latar belakang agama suku yang berbeda-beda tapi berbicara tentang lingkungan hidup,” katanya.

 

Kolaborasi lintas iman

Menurut Pastor Andang, karena bumi bukan hanya tempat tinggal semua makhluk, tapi juga umat dari berbagai macam agama, maka kerja sama lintas agama mesti dilakukan. Meskipun demikian menurutnya, dalam gerakan lingkungan hidup membutuhkan 3 hal yang tidak boleh dilupakan. Yang pertama, karena ini adalah gerakan, maka harus kreatif. “Kreatif tapi tetap fokus,” katanya. Karena kalau melebar, menurutnya, menjadi tidak fokus. Dengan demikian, nanti pembentukan habitusnya menjadi berkurang. “Tapi harus kreatif supaya terus bergerak,” tegasnya.

Yang kedua, sabar. “Kita harus sabar, karena ini jangka panjang seperti orang lari maraton, bukan lari sprint. Hasilnya, kita tidak tahu, bahkan mungkin saya sendiri tidak akan menikmati hasilnya tetapi mungkin generasi yang akan datang,” katanya.

Yang ketiga, kolaborasi atau sinergi demi hidup bersama. “Kolaborasi itu bukan sekadar komunikasi, bukan sekadar koordinasi. Kolaborasi adalah kita sungguh-sungguh bekerja sama dengan kekuatan kita masing-masing. Kalau komunikasi kan sekadar tahu, koordinasi sekadar supaya kita bisa hidup bersama dengan tertib. Tapi kalau kolaborasi harus bekerja sama,” katanya.

 

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *