
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Dr. Maria Laksmi Anantasari mengatakan, jiwa dan iman manusia mengalami beberapa tahap perkembangan dalam hidupnya. Masing-masing tahap membutuhkan pembinaan yang tepat. “Jiwa manusia inilah yang nantinya menjadi sebuah pribadi dan pribadi inilah nanti yang akan kita garap bersama supaya sungguh bisa menjadi pribadi yang mengerti dan mencintai Allah Penciptanya,” kata perempuan yang biasa disapa Ananta itu dalam Pra Tepas I yang digelar secara daring, 3 Oktober 2023.
Perkembangan psikososial
Dengan meminjam teori perkembangan psikososial dari Erik Erikson, Ananta mengatakan, jiwa manusia bertumbuh melalui delapan tahap. “Setiap tahap itu memiliki tugas perkembangannya masing-masing,” katanya.
Ananta pun mengatakan, dalam setiap tahap, individu dihadapkan pada krisis yang harus dilalui. Keberhasilan menghadapi krisis ini menghasilkan kepribadian sehat menuju kepenuhan diri. “Ketika individu ini berhasil mengatasinya maka akan mendapatkan hasil yang positif yang menuju, membawa dirinya menuju ke pribadi yang sehat. Begitu pula sebaliknya,” imbuhnya.
Delapan tahap perkembangan tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, Infancy (0-18 bulan). Pada masa ini individu melalui satu krisis yaitu apakah dia akan bisa mendapatkan dan mengembangkan rasa percaya atau justru sebaliknya, rasa tidak percaya. “Jadi, intinya ketika bayi lahir memang ada satu kebutuhan untuk tergantung pada orang tuanya. Dan di sini bagaimana pengasuh dan orang terdekat terutama ibunya, ayah-ibu dan terutama ibu sebagai pengasuh utama memberikan, memenuhi apa yang dibutuhkan,” katanya. Menurutnya, kalau seorang anak yang baru saja lahir di muka bumi ini dia bisa mendapatkan rasa percaya, dia bisa terpenuhi apa yang diharapkan, dan akhirnya dia bisa mengerti bahwa hidup ini indah, dunia ini baik.
Kedua, Early Childhood (18-24 bulan-3 tahun). “Ketika lingkungan memberikan kesempatan untuk bisa memberikan, mengeksplorasi diri kemudian juga mengandalkan dirinya sendiri untuk bisa melakukan sesuatu secara mandiri, maka dia akan mencapai satu situasi yang positif dan itu akan melahirkan sebuah situasi dan aspek psikologis yang bernama will. Dia punya kehendak untuk itu,” katanya. Maka, menurutnya, pelayanan sebisa mungkin memberikan ruang bagaimana lingkungan membiarkan anak-anak tersebut tumbuh menjadi jiwa yang sehat. “Karena jiwa yang sehat itu akan sangat menjadi sebuah bekal yang baik untuk bisa mencintai Tuhan Penciptanya,” imbuhnya.
Ketiga, Pra Sekolah (3-5 Tahun). “ Apa krisis yang dilalui? Yaitu antara inisiatif dan rasa bersalah,” katanya. Menurutnya, ketika anak-anak ini memiliki ide-ide tertentu, misalnya di sekolah atau di rumah sebaiknya tidak dipatahkan dulu, seaneh apapun idenya, harus dihargai dulu. “Karena sebetulnya anak sedang berproses. Anak sedang berkembang. Dia berusaha untuk mengontrol lingkungan. Dia berusaha untuk merasa mampu. Jadi ketika dia bisa mencapai situasi ini, maka akan menimbulkan satu situasi yang membuat, melahirkan sebuah nilai kebajikan yaitu hidup yang bertujuan,” kata Ananta.
Keempat, Usia Sekolah (5/6-12 Tahun). Dalam usia ini, menurutnya, lingkungan mesti dibuat supaya bisa memfasilitasi dan menstimulasi perkembangan anak. “Dalam membuat program-program baik adanya untuk memberikan sebuah karakteristik dalam program tersebut yang arahnya adalah bagaimana bisa menimbulkan, menstimulasi kompetensi dan itu membuat dia merasa dirinya sungguh berharga,” kata Ananta.
Kelima, Remaja (12-18 Tahun). Masa remaja, menurutnya, adalah masa mencari jati diri meskipun sebenarnya pencarian jati diri tidak hanya berhenti pada masa remaja, namun sepanjang hidup. “Akan tetapi memang di sini ada secara khas bagaimana remaja ini memiliki tugas untuk mencari jati dirinya. Lingkungan berpengaruh sangat besar dan ketika sekiranya Gereja akan membuat program-program untuk remaja baik adanya diarahkan, banyak diarahkan untuk bisa membantu mendampingi remaja ini untuk membuat eksplorasi di banyak hal supaya dia bisa melalui krisisnya dan bisa menemukan siapa dirinya,” usul Ananta.
Keenam, Dewasa Awal (Kaum Muda), (15-40 tahun). “Di bagian yang ini tugas perkembangannya adalah terkait dengan bagaimana menjalin relasi yang lebih dekat lagi: persiapan perkawinan. Kemudian bagaimana mulai harus mandiri secara finansial ekonomi, dan kemandirian juga secara psikologis,” kata Ananta.
Ketujuh, Dewasa Madya (Orang tua), (40-60 Tahun). “Ada sebuah tugas besar yang diemban di dalam individu yang ada di masa ini. Tugas besarnya adalah bagaimana kita semua ini bisa memberikan kontribusi untuk generasi selanjutnya,” katanya.
Kedelapan, Dewasa Akhir (60 tahun ke atas). Menurut Ananta, pelayanan untuk individu dalam tahap ini adalah menemani dan mendampingi agar individu tersebut bisa mengarahkan diri untuk bersyukur, bisa melepaskan diri dari kelekatan, bisa mendapatkan situasi hati yang sangat damai untuk menerima kondisi apapun yang tidak sama pada waktu masih muda dan akhirnya bisa berpasrah pada Tuhan.
Menurut Ananta, ketika ada tahapan yang pemenuhan tugasnya tidak terpenuhi, itu bisa mengganggu pemenuhan tugas tahap perkembangan berikutnya. “Oleh karenanya penting sekali kali memang untuk mengenali setiap karakteristiknya secara khas dan kita bisa memberikan pendampingan pelayanan juga menyesuaikan dengan berbagai macam krisis-krisis dan juga tugas perkembangan yang ada,” ungkapnya.
Perkembangan iman
Bukan hanya aspek psikologis dan kognitif saja, menurut Ananta, kehidupan iman manusia pun mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Dengan meminjam teori perkembangan iman James Fowler, Ananta menyampaikan, manusia mengalami 6 tahap perkembangan iman.
Pertama, Intuitive-Projective Faith (18-24 bulan-7 Tahun). Menurut Ananta, perkembangan iman dalam tahap ini dimulai dari hal yang ada di hadapannya. “Dia hanya bisa melihat dunia ini baik atau tidak. Dan dia mulai menciptakan sendiri, menilai seperti apa yang baik, seperti apa yang tidak. Dan itulah sebetulnya awal mula bagaimana citra Tuhan itu hadir,” katanya.
Kedua, Mythic-Literal Faith (7-12 Tahun). Menurut Ananta, anak anak pada tahap ini bernalar melalui hal-hal konkret. “Jadi harus melihat sesuatu yang ada, jelas di depannya,” katanya.
Ketiga, Synthetic-Conventional Faith (Usia Remaja Awal). Pada tahap ini, lanjut Ananta, individu sudah mulai bisa berpikir secara rasional. Perkembangan penghayatan terhadap Tuhan mengikuti perkembangan kognitif dan psikologis.
Keempat, Individuatif-Reflectif Faith (Remaja awal-pertengahan umur 20-an). Tahap ini seringkali ditandai dengan kegelisahan dan pergumulan ketika individu mengambil tanggungjawab pribadi atas keyakinan atau perasaannya. Keyakinan agama atau spiritual dapat memiliki kompleksitas dan nuansa yang lebih besar, dan terdapat rasa keterbukaan pikiran yang lebih besar, yang pada saat yang sama dapat membuka individu terhadap potensi konflik ketika keyakinan atau tradisi berbeda saling bertabrakan.
Kelima, Conjunctive Faith (35 Tahun ke atas). Pada tahap ini individu mulai menerima dan mengakui adanya paradoks dan misteri yang menyertai nilai-nilai transenden, hal ini menyebabkan individu mampu melampaui tradisi agama atau keyakinan konvensional yang diwarisi dari tahap perkembangan sebelumnya.
Keenam, Universalizing Faith (45 Tahun ke atas). Pada tahap ini, individu tidak terkurung oleh perbedaan keyakinan agama atau spiritual di antara orang-orang di dunia, namun menganggap semua makhluk layak mendapatkan kasih sayang dan pemahaman mendalam.
Gereja mesti melakukan apa?
Menurut Ananta, pengalaman kehidupan individu berpengaruh terhadap penghayatan manusia terhadap Tuhan. Untuk itu, dengan memantau perkembangan, krisis perkembangan serta pertumbuhan iman di setiap tahapnya, orang tua, lingkungan, Gereja bisa membantu tumbuh kembang anak, supaya anak bisa tumbuh secara sehat, secara psikologis. “Karena ketika anak itu tidak tumbuh secara sehat, dengan sehat secara psikologis, misalnya luka batin. Luka batin itu akan bisa membawa atau memicu atau menstimulasi cara-cara yang tidak adaptif yang akhirnya bisa berdampak atau berpotensi untuk meninggalkan Tuhan dan memilih cara yang tidak selaras dengan kehendak Tuhan,” ujar Ananta.
Dalam perkembangan psikis dan spiritual, Ananta melihat ada masa-masa emas yang dilalui setiap individu. Masa emas ini terkait dengan pembentukan, penghayatan dan pengenalan terhadap Tuhan. Masa emas tersebut adalah masa awal bayi dilahirkan.
“Jadi tahun awal kehidupan manusia itu merupakan panggung iman untuk bertumbuh. Di sini bisa saya sampaikan bahwa ternyata ketika bayi dilahirkan, bayi ini adalah pribadi yang masih sangat tergantung. Kondisinya memang demikian. Sehingga memerlukan dukungan, cinta dan juga kasih sayang, perawatan, pengasuhan dari pengasuhnya,” katanya.
Ketika orang tua dan lingkungannya mengenalkan konsep Tuhan dalam bentuk nyata, maka dia akan bisa merasakan. “Dia mengerti apa artinya dikasihi. Bagaimana rasanya dicintai. Dan itu mengembangkan kepercayaan Tuhan sebagai figur yang aman, figur yang bisa dipercaya, figur yang bisa menjadi tempat bergantung dan ini figur yang baik dan menyadari bahwa Tuhan mengasihi. Sehingga ini menjadi awal mula yang baik,” katanya.
Sebaliknya, kalau anak ini dari awal sudah melihat orang tuanya tidak mengasihi, dia ditolak, maka ia akan kesulitan menemukan penghayatan Tuhan Yang Maha Baik.
Bahkan, lebih jauh dari itu, menurut Ananta, proses tumbuh kembang jiwa anak sudah dimulai sejak pranatal. Di dalam kandungan pun ia sudah menjadi manusia meski belum sempurna. “Tapi dia adalah jiwa. Dia adalah manusia. Dia adalah pribadi,” kata Ananta.
Maka, lanjut Ananta, Gereja perlu membuat program yang merengkuh calon-calon ibu. Menurutnya, ibu-ibu yang belum siap secara psikologis untuk memiliki putra, belum siap menikah atau hatinya belum cukup lapang, akan memengaruhi bayi dalam kandungan. “Energi ibu, energi cinta, energi penolakan itu, semua itu terekam oleh baby,” katanya.
Maka, Ananta menegaskan, perlunya Gereja mendampingi pasangan-pasangan muda yang akan memiliki anak.
Ananta dalam kesempatan tersebut menegaskan pentingnya Gereja untuk memerhatikan Generasi Z yang dikenal sebagai penikmat layar gadget. Memang teknologi yang dimanfaatkan generasi ini membawa kemajuan yang luar biasa dan Gereja juga sudah memanfaatkannya. Namun, Ananta melihat perlunya perjumpaan tatap muka. “Tatap muka supaya ada perjumpaan dan kita bisa menjalankan cura personalis, sentuhan, sapaan,” katanya.
Demikian juga selanjutnya, Gereja perlu memikirkan program pembinaan iman berjenjang dan berkelanjutan (FIBB) dengan memerhatikan perkembangan psikososial maupun perkembangan iman sesuai tahapnya.
Karakteristik tim pelayanan FIBB
Program yang sudah disusun dengan baik perlu didukung oleh pelayan program yang mumpuni supaya pesan-pesan tersebut sampai dengan baik pada subjek dampingan. Menurutnya, semua orang yang menjadi tim pelayan ini adalah tentara Tuhan. Maka diperlukan karakter-karakter yang harus dimiliki seperti:
Satu, memiliki kepekaan terhadap konteks sosial, politik dan budaya.
Dua, memiliki pengenalan diri yang baik. “Selalu harus meningkatkan kesadaran diri, kenali diri di dalam berkarya ini. Apakah ini untuk pemenuhan egoku atau aku bekerja untuk Tuhan. Karena itu berpengaruh terhadap karya yang dihasilkan,” katanya.
Tiga, tulus ikhlas dalam berjuang. “Pekerjaan ini sungguh “upahmu besar di surga”. Akan tetapi dalam praktiknya sampai “berdarah-darah”, juga mungkin malah kadang tidak dipercaya, kadang juga malah mendapatkan penolakan. Oleh karenanya memang kembali lagi, ini harus tulus ikhlas dalam berjuang,” katanya.
Empat, memiliki jiwa kepemimpinan dalam konteks sosial serta self-leadership. “Di sini memang leadership itu tidak hanya memimpin orang lain, mengelola yang lainnya tapi juga punya kemampuan untuk memimpin dirinya sendiri,” ujar Ananta.
Lima, dapat menjadi role model.
Enam, humanis: memanusiakan manusia. Ada tiga pilar untuk memanusiakan manusia sehingga bisa mengubah jiwa manusia untuk bangkit dan tumbuh yakni: empati, Congruence (keselarasan diri), Unconditional positive regard (Mencintai. menghargai, menerima sesama tanpa syarat). “Buang jauh sifat menghakimi karena menghakimi ini justru akan menjauhkan orang dari Tuhan,” pesan Ananta.
Tujuh, memiliki kesehatan mental yang baik.
Delapan, memiliki spiritualitas dan kedewasaan iman. “Satu hal yang sangat sangat-sangat saya harapkan dan ini semua semoga bisa jadi catatan untuk kita semua adalah tetap rendah hati. Bagaimanapun rendah hati ini menjadi kunci karena kalau kita tim pelayanan ini merasa bahwa saya adalah orang yang lebih mengerti, saya orang lebih baik daripada yang saya layani, maka kita akan jatuh dalam kesombongan rohani. Dan ini nanti berkat Tuhan tidak akan bekerja di dalam karya sebagus apapun,” ungkap Ananta.
Kesembilan, menjadi pribadi yang punya hasrat untuk bertumbuh lebih baik. “Jadi di sini, baik adanya mencoba untuk introspeksi, kemudian melakukan hal-hal yang membawa pada kebaikan, karena itu menjadi kunci penting karena apa yang akan dibagi adalah sebuah kebaikan dan juga mau menumbuhkan jiwa,” ungkap Ananta.