Perlunya Praksis Ekoteologis Interreligius

Dalam International Conference on Religion and Environment di Semarang, 12 Desember 2024, Romo Aloys Budi Purnomo menyoroti pentingnya antara pengajaran (teachings) agama terkait lingkungan dengan aksi merawat lingkungan. Terlebih di kalangan umat Katolik, Paus Fransiskus telah merilis ensiklik Laudato Si’.

“Tetapi dari sekian miliar umat Katolik di seluruh dunia ini, berapa yang mengenal teachings itu. Sampai-sampai Paus Fransiskus itu gerah, 24 Mei 2015 ditandatangani ensiklik itu dan belum tampak dampak dan buahnya,” kata imam yang biasa disapa Romo Budi itu.

Maka, menurutnya, betapa pentingnya pemahaman atas ajaran ensiklik Laudato Si’ tersebut yang bahkan menjadi ensiklik pertama yang diterjemahkan ke dalam banyak bahasa termasuk bahasa Arab sebagai sapaan untuk semua orang.

Romo Budi menandaskan pentingnya kerja sama. “Betapa pentinglah yang namanya to change everything we need everyone, untuk mengubah kehidupan yang terancam oleh krisis ekologi ini, lalu kita perlu bergandengan tangan. Dan itu yang kemudian saya konklusikan dalam yang namanya ekoteologi interreligius. Semua agama mengajarkan secara teologis betapa pentingnya merawat bumi dengan keunikan masing-masing,” katanya dalam acara yang diselenggarakan UIN Walisongo Semarang itu.

Namun, Romo Budi menyayangkan, selama ini kerap masing-masing pihak berjalan sendiri-sendiri. “Maka, bagaimana memahami ajaran dan kemudian kita sintesakan, lalu dipraktikkan secara bersama,” katanya.

Ia pun bercerita tentang pengalamannya bersama masyarakat Sedulur Sikep di Pegunungan Kendeng Utara, Jawa Tengah. “Pengalaman saya bersama dengan sahabat-sahabat dan guru-guru saya di kawasan Pegunungan Kendeng Utara, Sedulur-sedulur Sikep, mereka punya kidung bagus banget. Ibu bumi wis maringi, Ibu bumi dilarani, Ibu bumi kangadili. Bumi telah memberi, bumi disakiti menjerit karena kehancuran yang ditimpakan padanya. Bumi yang akan mengadili kita, bila kita tidak berubah,” katanya.

Di tengah kerusakan bumi yang terus melanda, Romo Budi menegaskan perlunya pertobatan ekologis dengan perubahan paradigma, perubahan behavior, perubahan sikap dan perilaku yang makin ramah dan peduli pada lingkungan hidup untuk menjaga keutuhan ciptaan dan kelestarian lingkungan.

“Di situlah Gereja Katolik belajar bersama seluruh umat. Hal kecil misalnya, kalau kamu makan, habiskan,” katanya. Kelihatannya sederhana. Meski hanya sebutir nasi, kalau seluruh dunia turut membuang, maka akan sangat banyak yang terbuang. Padahal di sisi lain, masih banyak orang yang kelaparan.

“Maka pertobatan ekologis diperlukan. Karena apa? Bagaimanapun juga merusak lingkungan dalam ajaran semua agama adalah dosa,” katanya. Dosa membuat bumi ini hancur.

“Sekarang ini bukan hanya soal global warming, sekarang ini sudah menjadi global boiling, sudah mendidih, kutub-kutub mencair dan banjir di mana-mana. Udan salah mongso. Kita mengalami betapa krisis iklim mengancam bukan hanya kita sekarang ini tetapi terutama generasi masa mendatang. Karena itu perlulah, menurut hemat saya, perubahan-perubahan itu dilakukan bersama dalam praksis ekoteologis interreligius,” katanya.

Menurutnya, saat ini, betapa pentingnya model-model kepemimpinan ekoteologis interreligius, pemimpin yang ramah dan peduli pada lingkungan dan keutuhan ciptaan sesuai dengan ajaran agama masing-masing melakukan aksi bersama-sama. “Dan ketika itu terjadi, maka keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan, serta kelestarian lingkungan hidup pasti akan terwujud. Pasti akan terwujud,” katanya.

 

 

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *