Peran Teologi Agama dalam Menyelamatkan Lingkungan

Di tengah kerusakan alam yang masif, pertobatan ekologis sangat dibutuhkan. Pendeta Jimmy Sormin dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menyampaikan hal  tersebut dalam International Conference on Religion and Environment di Semarang, 12 Desember 2024. “Tidak hanya secara individual, tetapi juga secara komunal, masif. Karena memang kita sudah berada di ambang kiamat ekologis,” katanya dalam acara yang diselenggarakan UIN Walisongo Semarang itu.

Pendeta Sormin menyampaikan paradoks yang terjadi saat ini. “Negara Indonesia adalah negara yang dikatakan negara religius. Semua umat rata-rata belajar agama, bahkan dari sejak pendidikan dasar. Tetapi negara yang religius ini dipenuhi dengan tingkat korupsi yang tinggi, ketidakadilan, kriminalisasi yang tinggi. Seolah-olah ini hal yang paradoks,” katanya.

Demikian halnya dengan pendidikan di kalangan kekristenan tentang Gereja peduli alam, Gereja menyelamatkan alam.  “Gereja-gereja Dunia sudah mengeluarkan dokumen Agape yang menunjuk pada persoalan kerakusan manusia yang sudah menyebabkan persoalan krisis alam ini ya, polikrisis termasuk alam di dalamnya, sudah berapa dekade yang lalu. Tapi toh juga pengetahuan yang sudah dijemaatkan itu, ternyata juga tidak selalu berbanding lurus. Jadi kita jangan sampai terjebak bahwa pengetahuan tingginya, levelnya, luasnya akan berbanding lurus dengan sikap penyelamatan lingkungan hidup,” katanya.

Hal itu menjadi pembelajaran bagi Gereja, menurutnya. “Begitu banyak campaign, begitu banyak khotbah yang diberikan tapi belum berbanding lurus terhadap itu,” katanya.

Terkait hal itu, ia mengusulkan perlunya advokasi dan pengembangan teologi pembebasan yang relevan dengan krisis ekologi.  “Yang kita lakukan adalah advokasi moral, politiknya politik moral, bukan politik praktis,” katanya.

Ia prihatin dengan orang-orang yang mempunyai pendidikan yang baik tentang konservasi tetapi justru  menjadi orang yang memberikan izin untuk konsesi-konsesi ekstraktif meski sudah ada moratorium. “Negara kita sedang tidak baik-baik saja,” katanya.

Di satu sisi, ia melihat begitu banyak dana keluar untuk program-program restorasi- konservasi. Namun di sisi lain, pembiaran kerusakan juga luar biasa. “Mau nggak mau kerakusan yang seperti ini, ketamakan seperti ini, umat beragama belajar dari pengalaman. Yang kami lakukan, termasuk secara interfaith adalah advokasi secara moral,” katanya.

Advokasi moral, menurutnya, untuk mengubah segala kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, sektor swasta dan umat. Mengapa umat beragama menjadi sangat strategis? “Menurut hemat kami, karena di situlah lembaga-lembaga keagamaan punya gubernur yang adalah umatnya. Presiden yang adalah umatnya.  Menteri yang adalah umatnya dan tokoh-tokoh agama memiliki kemampuan untuk memengaruhi, mengubah cara pikir, mengubah moralitas para pelaku bisnis yang sangat tidak pro sustainability, keberlanjutan,” ungkapnya.

Advokasi moral dilakukan dengan beberapa hal. Pertama, edukasi dan mainstreaming dari ecojustice issue. “Yang dilakukan adalah bagaimana melakukan advokasi-advokasi berupa edukasi-edukasi. Itu pun adalah bagian dari advokasi itu sendiri. Tidak selalu harus demo, tidak selalu harus ada di meja pengadilan, tapi mainstreaming ecojustice itu melalui ajaran kita, khotbah kita, literasi kita. Itu bagian dari advokasi sendiri,” katanya.

Yang kedua, membangun jejaring. Menurut Pendeta Sormin, mau tidak mau semua itu mesti dilakukan bersama dengan umat agama lain. “Ini bukan masalah agama kita. Ini bumi bersama kita yang kita tinggali. Ini harus berkelanjutan dan tidak peduli bumi ini dengan agama apapun. Bencana ya bencana, rusak ya rusak, mau agama apapun umatnya terdampak oleh bencana itu,” ungkapnya.

Ketiga, monitoring dan criticizing government policy, melakukan pengawalan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.

Keempat, developing literacy. Hal itu dilakukan dengan menerbitkan buku-buku terkait dengan lingkungan hidup “melakukan pembangunan narasi literasi terkait dengan penyelamatan lingkungan hidup dari berbagai sisi, ada gambut, ada hutan tropis, ada isu sampah”.

Teologi pembebasan

Menurut Pendeta Sormin, untuk merawat lingkungan hidup, dibutuhkan teologi pembebasan. Pondasi teologi yang kuat untuk melawan tindakan-tindakan yang injustice sangat dibutuhkan. Tanpa teologi yang kuat upaya-upaya merawat lingkungan bisa melemah.

Menurutnya, penyelamatan lingkungan dari pendekatan akademik, pendekatan LSM, dan pendekatan hukum positif sudah tidak mampu untuk mencegah kerusakan. “Tinggal sekarang tokoh-tokoh agama, kelompok-kelompok agama yang bisa menembus nilai-nilai moral itu untuk mengawal persoalan-persoalan melalui advokasi itu dan teologi yang ada di sana dibutuhkan. Menurut hemat saya adalah teologi pembebasan yang relevan dengan konteks masing-masing dan situasi terkini di kalangan kita atau komunitas kita,” katanya.

 

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *