
Wakil Uskup Umat Katolik di Lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Romo Letkol (Sus) Yoseph Maria Marcelinus Bintoro, Pr menyampaikan 4 alasan Romo Y.B. Mangunwijaya, Pr atau Romo Mangun layak menjadi Pahlawan Nasional.
Pertama, keberanian Breaktrough. Itu ciri khas pioner. Sesuatu hal yang menjadi ciri utama seorang pahlawan. Romo Mangun mengalami 3 kali transformasi sebagai anak zaman yang dididik dalam formasi awal di dalam keluarga dengan latar belakang keluarga pendidik (ayah dan ibu guru), lahan subur penanaman nilai-nilai kehidupan. Itulah the mother of value Romo Mangun yang dibesarkan di tengah keluarga pendidik: peka, peduli, kritis. Keluar dari zona nyaman keluarga, mulai mengenal dunia sebagai Tentara Pelajar (TP) dilanjut TKR/TNI.
Formasi kedua setelah gemblengan dari keluarga pendidik adalah format karakter sebagai tentara. Tugas pokok tentara adalah berjuang membela bangsa dan negara. Hanya saja Romo Mangun terhenyak saat pidato Mayor Isman di alun-alun kota Malang yang menyampaikan bahwa tentara bukanlah pahlawan tetapi penjahat, karena membunuh, merampok, membakar rumah. “Memang semua itu kami lakukan demi kemerdekaan Indonesia, tetapi segala yang berhubungan dengan pembunuhan telah tentara lakukan.” Mayor Isman memohon agar mayarakat boleh mengembalikan tentara menjadi orang biasa di tengah masyarakat untuk membangun Indonesia yang sudah merdeka. Maka, Romo Mangun muda ingin membayar utang kepada rakyat. Ia mulai berpikir, murung dan merenung, galau. Dan di sana ia mengambil pilihan untuk tidak memiliki vested interest. Make a choice, make a decision. Ia memilih untuk menjadi seorang imam yang juga menjadi seorang ksatria yang menerima kesialannya dalam sikap anggun tanpa raut muka kecewa, tanpa kesal sekalipun. Dengan demikian, Romo Mangun menempatkan dirinya sekaligus memilih menjadi imam untuk kemanusiaan.
Formasi hidup ketiga, sebagai seorang imam, panggilan hidup Romo Mangun menjadi makin religius sekaligus inklusif dan mampu bersikap plural; mampu memiliki pendekatan multikultur. Ia juga punya keberanian untuk tidak selalu sepakat dengan orang kuat yang pendapatnya dinut (dianut) orang banyak. Ia mampu berjalan melawan mainstreams.
Kedua, arsitek yang bertindak mencari makna, hakikat sekaligus solusi. Otentisitas Romo Mangun cukup dikenal dengan kekuatan karya arsitekturalnya. Seorang guru besar dari Jerman yang sangat memengaruhi pemikiran arsitektural Romo Mangun mengajarkan nilai arsitektural sebagai sarana pemuliaan manusia bersama komunitasnya dalam kesatuan hidup politik, sosial, ekonomi, budaya dan pertahanan keamanan secara semesta. Memanusiakan manusia muda, pemerdekaan, konsistensi untuk mencari jawab di tengah kegelisahan mencari dan menjadi jembatan pada sesama manusia dengan mengambil wong cilik sebagai subyek pemikiran dan tindakan yang menyertainya. Penyiapan karya arsitektur Markas Kodam IV Diponegoro di Ungaran adalah salah satu wujud nyata bagaimana Romo Mangun tetap memiliki wibawa dan diajak merancang penuh makna pada penyiapan bangunan Kodam IV agar pancaran ABRI manunggal dengan rakyat dapat dihidupi dalam karya arsitekur militer.
Ketiga, kekuatan (teologi) pengharapan yang mengalir dari kedalaman dan kejernihan religiusitasnya dihidupi Romo Mangun. Gambarannya ‘kaga ada matinya’. Terus memiliki kekuatan bertindak dalam pilihan mendidik manusia muda untuk tetap menabur tanpa lelah meskipun belum tentu yang ditabur itu menuai hasil. Pengharapan ‘anawim’ tanpa atribut formal, andalkan pangkat, kedudukan. Kedudukan Romo Mangun adalah berada di tengah-tengah rakyat: ‘wong cilik’, hidup di tengah mereka yang papa dan mendamba dengan terus menghadirkan harapan dengan bertindak mencari solusi terhadap masalah dan situasi ketidakadilan, kemiskinan, dan kealpaan akan pemuliaan nilai kemanusiaan. Sentuhan arsitektur Gereja Maria Assumpta (Klaten), Salam, Jetis, Cilincing, kompleks doa Sendang Sono dan Pertapaan Gedono menghadirkan makna, simbol-simbol iman yang dihidupi dalam berpengharapan. Dua pribadi uskup Soegija dan Kardinal Yustinus Darmojuwono menginspirasi pengharapan hadir dan ikhlas berada di tengah umat. Pun dalam pelayanan tugasnya di Pulau Buru mendampingi mereka yang mengalami kepedihan korban pertikaian politik tanah air di tahun 70-an. Kekuatan religiusitas berpengharapan ini juga tampak dari praksis hidup kesederhanaan saat menimba tugas belajar di Aachen, Jerman. Romo Mangun tahu diri dan ambil pilihan menghayati kemandirian untuk belajar sambil bekerja menghayati tugas sebagai penjaga keamanan di sekolah milik paroki di Aachen. Karena dengan cara itu Romo Mangun mendapat tempat kamar untuk bisa kos.
Empat, komunikator. Kalau Romo Mangun dianggap anti mainstream, itu karena otentisitasnya, tetapi tetap fanatis pada pandangannya. Ia memposisikan reachable. Tidak antipati. Tetap siap bekerjasama untuk mengembangkan dan memperbaiki apa yang dirasa belum pas, terbuka untuk menerima masukan solutif. Maka, selalu ada kemampuan untuk menjadi negosiator, sekaligus mediator. Ketika tahun 1992 ada soal di Kedung Ombo, era Soeharto, tak lama kemudian Romo Mangun mengatakan: ‘Sing becik kethithik, sing ala kethara’. Kedalaman pemikirannya pada posisi ABRI dalam konteks kebangsaan ditorehkan saat beliau diminta untuk menjadi salah satu narasumber diskusi besar di lingkungan ABRI, saat Jenderal Wiranto mengumpulkan para pakar berpengaruh untuk meredefinisi, mereposisi, mereorientasi ABRI (1999). Romo Mangun diminta untuk menjadi pembicara. Hasilnya adalah, 3 tahun kemudian terjadi pemisahan ABRI menjadi TNI dan Polri. TNI menghormati demokratisasi dan kembali ke barak sehingga tidak lagi mengedepankan doktrin dwifungsi ABRI dalam tatanan pertahanan dan sosial politik.
Pada waktu yang lain, Romo Mangun memakai cara berkomunikasi dengan ancaman mogok makan, saat memperjuangkan nasib warga Code yang ternyata amat ampuh untuk meresolusi konflik dengan Pemda. Komunikasi macam ini amat perlu untuk melanjutkan narasi hidup dan karya Romo Mangun pada generasi ke generasi berikutnya agar menjadi manusia muda yang merdeka. Gen-Z harus diberi solar yaitu pemaknaan dan inspirasi sepanjang zaman dalam komunikasi dan hubungan masyarakat.