Formasio Iman Berjenjang dan Berkelanjutan

Direktur Nasional Karya Kepausan Indonesia, Romo Markus Nur Widipranoto, Pr menyoroti betapa pentingnya Formasio Iman Berjenjang dan Berkelanjutan (FIBB). Melalui paparannya dalam Pra Temu Pastoral (Tepas) Keuskupan Agung Semarang(KAS), 3 Oktober 2023 secara daring, ia pun mengajak peserta untuk lebih dulu menyimak arahan mendiang Mgr Johannes Pujasumarta, Uskup KAS waktu itu yang menggulirkan tentang FIBB dan ditindaklanjuti dalam Direktorium Formasio Iman KAS “Menjadi Katolik, Cerdas, Tangguh dan Misioner Sejak Dini Sampai Mati”. “Beliau menyatakan bahwa direktorium formasio iman disusun karena Gereja Keuskupan Agung Semarang menyadari penting dan mendesaknya mengantar umat Allah Keuskupan Agung Semarang menjadi orang-orang Katolik yang cerdas, tangguh dan misioner,” katanya. Berikut ini adalah pernyataan dari Mgr Pujasumarta.  “Formasio iman merupakan suatu proses yang terjadi sepanjang hidup, sejak dini sampai mati, pada diri seseorang untuk menjadi murid Kristus, menjadi manusia baru dalam segala segi kehidupan. Formator utama dalam formasio itu adalah Kristus, Sang Guru Kehidupan, yang adalah jalan, kebenaran dan hidup (Yoh. 14: 6). Ada Guru yang mengajar, ada murid yang belajar. Maka, terjadilah sekolah iman, yang memiliki mata pelajaran tertentu, yaitu formasio iman, agar para murid sanggup mengikuti Sang Guru semakin dekat, mengenal-Nya semakin mendalam, dan mencintai-Nya semakin mesra.”

Romo Nurwidi pun mengatakan, sesuai perkembangan waktu dan konteks pastoral setempat, frase cerdas, tangguh dan misioner ditambah dengan dialogal. “Menjadi ciri khas di dunia Asia ini untuk mengedepankan dialog,” katanya.

Menurut Romo Nurwidi, FIBB hendak mengantar setiap orang Katolik untuk hidup dalam Kristus, menjadi Katolik yang cerdas, tangguh dan misioner serta dialogis. FIBB mencakup gerakan vertikal (kronos, usia demi usia) dan horizontal (kairos, berkelanjutan).

“Gerakan vertikal, gerakan kronos, jadi linear dari jenjang usia demi usia itu. Ini yang vertikal-kronos. Berkelanjutan itu lebih ke horizontal yaitu kairos, bahwa di setiap saat itu ada kesempatan-kesempatan emas, kesempatan-kesempatan baik untuk digarap, untuk diperhatikan, menjadi tidak sekadar usia yang satu menjadi persiapan bagi yang lain, tetapi usia yang satu ini sungguh otonom sehingga perlu digarap berkelanjutan. Jadi, secara vertikal-kronos-liner, berdasar kronologi, usia, tahap demi tahap. Tetapi juga setiap tahapnya itu mendapat garapan. Nah ini, kairosnya. Ini yang berkelanjutan. Ini gerakan yang horizontal,” katanya menjelaskan.

Berdasar Direktorium Formasio Iman KAS yang diterbitkan pada tahun 2014, Romo Nurwidi menyampaikan penjenjangan usia formasio yang dimulai dengan tahapan Pendampingan Iman Anak Usia Dini (PIUD) antara 0-5 tahun, Pendampingan Iman Anak (PIA) antara 6-10 tahun, Pendamingan Iman Remaja (PIR) antara 11-15 tahun, Pendampingan Iman Orang Muda (PIOM) antara 16-35 tahun,  Pendampingan Iman Orang Dewasa (PIOD) antara 36-60 tahun (PIOD), dan Pendampingan Iman Usia Lanjut (PIUL) 61 tahun ke atas.

Dalam kesempatan itu, untuk pengayaan, Romo Nurwidi juga menyampaikan referensi pembinaan iman dari rumpun pembinaan di Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang didasarkan pada dua kategori yakni jenjang usia dan jenjang keluarga.

Pada kategori jenjang usia, dipilah menjadi 9 tahap yakni: batita (0-3), balita (4-5), SD (6-12), SMP (13-15), SMU (16-18), dewasa awal (19-25), dewasa muda (26-40), dewasa madya (41-59) dan lansia (60 ke atas).

Sedang pada jenjang keluarga dipilah menjadi 7 tahap sebaga berikut: lajang, pacaran (siap menikah), pasutri dengan anak usia 0-5 tahun, pasutri dengan anak usia sekolah, pasutri dengan anak  usia remaja, pasutri dengan anak usia dewasa dan kakek-nenek atau lansia. Romo Nurwidi menyampaikan beberapa hal tersebut sebagai alternatif menjalankan FIBB di kevikepan-kevikepan.

Romo  Nurwidi pun menyampaikan 4 unsur garapan FIBB baik di KAS maupun KWI.

Di KAS 4 unsur garapan tersebut adalah pengetahuan iman, penghayatan tradisi, pembinaan moral dan praksis menggereja dan memasyarakat.

Sementara itu dalam KWI, juga ada empat unsur garapan yang meliputi: intelektual, spiritual, kepribadian, dan sosial.  Di dalam masing-masing unsur itu memiliki 3 hal lagi yakni: pengetahuan, ketrampilan dan sikap.

Landasan doktrinal FIBB

Dalam kesempatan itu, Romo Nurwidi  menegaskan bahwa landasan doktrinal FIBB adalah pewahyuan Allah. “Ini yang menjadi landasan awal untuk formasio ini. Ini penting, tetapi kerap kali, ini justru kita lupakan atau mungkin terlupakan. Padahal justru ini yang menjadi rohnya. Dan kita tahu, kita sudah belajar bertahun-tahun bahwa iman kita itu adalah peristiwa perjumpaan. Wahyu-iman ini adalah peristiwa perjumpaan. Dengan kata lain, wahyu-iman ini bersifat relasional. Dan persis yang saya amati dan kesan saya, ini yang putus di dalam formasio iman berjenjang dan berkelanjutan itu,” jelasnya.

Kendala

Romo Nurwidi melihat ada beberapa kendala yang membuat FIBB tidak berjalan dengan baik meski di beberapa tempat sudah memiliki muatan-muatan atau gagasan-gagasan besar yang sangat bagus dan sudah disampaikan lewat jenjang pendidikan di sekolah, bahkan dari SD sampai Perguruan Tinggi. Komisi Kateketik bersama Kementerian Agama pun sudah menyusun kurikulum atau silabus mengenai pendidikan iman.

Kendala-kendala tersebut adalah, pertama, jatuh dalam ego sektoral, baik antar jenjang maupun antar komisi, dan bisa jadi antar paroki. “Karena kita tidak ada komunikasi, tidak ada sinergi. Kalau bahasa Gereja saat ini tidak ada sinodalitas, kebersamaan di situ. Tidak ada sinodalitas di situ,” katanya.

Kedua, adanya desertifikasi atau kekeringan padang gurun. “Kita sebagai orang Katolik itu kering karena apa? Ditekankan hanya sibuk menghafal rumus, sibuk menghafal doktrin, gitu ya, sibuk menghafal ajaran, sibuk menghafal doa, tetapi minim pengalaman. Dan ini kemudian menjadi kering,” kata Romo Nurwidi. Lebih lanjut, ia mengusulkan, supaya Gereja memberi ruang umat untuk mengalami pengalaman mistik politis. “Kalau aku di bangku sekolah sudah diajari Lumen Gentium seperti apa, Gaudium et Spes seperti apa di tingkat SMA kalau saya lihat kurikulumnya itu, gitu, nah di paroki atau di keluarga saya mengalami Lumen Gentium itu atau tidak? Saya mengalami Gaudium et Spes itu atau tidak?

Ketiga, adanya alienasi atau keterasingan diri dalam Gereja. Minim sapaan pastoral. “Maka beberapa waktu yang lalu ada kritik mengenai Gereja bahwa Gereja itu, itu masuk dalam bahaya insignifikansi internal dan irrelevansi eksternal. Tidak ada kebermaknaan,” katanya. Menurutnya, ada umat yang mengalami keterasingan karena sapaan personal minim. Padahal, menurutnya, kita berkumpul atau berjumpa, karena relasi. “Ambil contoh saja, saya ikut kelompok atau komunitas tertentu itu, pertama-tama bukan karena ideologinya, bukan karena misi atau visinya yang baik, tetapi di situ ada siapa. Saya kenal atau tidak. Saya punya sohib di situ atau tidak,” ungkapnya.

Peluang

Meski didera beberapa penghalang, Romo Nurwidi melihat ada beberapa peluang yang bisa memungkinkan berjalannya FIBB. Yang pertama adalah adanya sinergi antar jenjang, antar komisi dan antar paroki. “Sebagai contoh konkret saja, misa orang muda, apakah anak-anak juga dilibatkan di situ, misalnya. Gitu. Nah, ini berarti anak atau remaja dilibatkan di situ sehingga nanti, oh, dia punya gambaran OMK seperti ini, berarti besok kalau aku sudah menginjak usia lebih lanjut, aku akan masuk OMK,” katanya.

Kedua, membangun rumah bersama bagaimana paroki, stasi dan keluarga masuk pada arena rohani dan pengalaman mistik-politik. “Iini bukan pertama-tama sebagai arena untuk menghafal rumus atau menghafal doktrin. Tapi pertama-tama sebagai latihan rohani, arena latihan rohani untuk membawa aura atau iklim kekatolikan bagaimana to aku mengalami Gaudium et Spes itu tidak di kepala tetapi di hati atau di rasa,” ungkap Romo Nurwidi.

Ketiga, kembali kepada Injil. “Kembali kepada Injil artinya apa? Tidak sibuk menghafal rumus itu tadi dan menghafal doktrin. Itu penting ya. Bukan berarti lalu dikesampingkan. Tetapi seperti moto Bapak Uskup sebetulnya. Kembali kepada Injil itu mencari dan menjumpai. Nah ini yang penting. Menjumpai berarti apa? Menjalin relasi dengan yang ada itu. Sapaan personal ini,” katanya.

Menurutnya, Injil itu relasional. “Bahasa Injil bukan bahasa doktrin, tetapi bahasa relasi,” pungkas Romo Nurwidi.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *