
“Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga”. (Gaudium et Spes/Kegembiraan dan harapan, 1965).
Paus Fransiskus ketika ditanya tentang Konsili Vatikan II oleh Romo Antonio Spadaro dalam sebuah wawancara menganggap bahwa konsili sebagai peristiwa yang tidak perlu diperdebatkan. “Vatikan II adalah pembacaan ulang Injil dalam terang budaya kontemporer,” kata Paus Fransiskus. “Vatikan II menghasilkan gerakan pembaruan yang semata-mata berasal dari Injil yang sama,” kata Paus Fransiskus seperti dikutip dari Americanmagazine.org, 30 September 2013.
Provinsial Serikat Jesus Provinsi Indonesia, Romo Benedictus Hari Juliawan SJ, Ph.D berkomentar, Paus Fransiskus memandang Konsili Vatikan II sebagai sesuatu yang tidak perlu diperdebatkan, “nggak usah terlalu lama dibicarakan, karena ini sifatnya imperatif”. Pandangan Paus terhadap Konsili Vatikan II terus dihidupi dalam berbagai kebijakan dan langkah pastoralnya.
Paus Fransiskus ketika berkunjung ke Amerika Serikat tahun 2015 menyampaikan khotbah yang spektakuler di Madison Square Garden. “Allah tinggal di kota kita, Gereja hidup di kota kita dan ingin menjadi seperti ragi dalam adonan roti. Gereja ingin menggandeng tangan siapapun, menemani semua orang sambil mewartakan keajaiban-keajaiban yang dilakukan Penasihat Agung, Allah yang Perkasa, Bapa Abadi, dan Raja Damai” (Madison Square Garden, 25 September 2015).”
Madison Square Garden, menurut Romo yang biasa disapa Romo Beni, kalau di Indonesia seperti Gelora Bung Karno (GBK). “Ini tempat yang kalau di Indonesia kayak GBK gitu ya, tempat konser-konser besar dibuat, pertandingan-pertandingan sport tinju biasanya yang legendaris itu dilakukan di tempat ini. Jadi ini penting sekali, tempat ini ya,” katanya dalam Rekoleksi daring Ikafite bertema “Tetap Berpengharapan Di Tengah Gejolak Zaman” Refleksi Tahun Yubileum 2025, 11 Jan 2025.
Menurut Romo Beni, dalam kesempatan tersebut, Paus Fransiskus menegaskan pentingnya pergi keluar. “Ketika ada yang bertanya, apa yang harus kami lakukan? Hal pertama yang dilakukan Yesus biasanya adalah memberi usulan, motivasi dan dorongan. Ia selalu memberitahu para murid agar pergi, pergi keluar. Ia mendesak mereka agar keluar dan berjumpa orang-orang lain di mana mereka berada,” tutur Romo Beni.
Romo Beni melihat, distingsi berjumpa orang lain di mana mereka berada, tidak di mana mereka seharusnya berada menurut pikiran kita adalah penting. “Gereja yang diharapkan Paus Fransiskus itu Gereja yang aktif. Gereja yang memeluk dunia, yang menyambut dunia,” katanya.
Dalam kaitannya dengan orang muda, pesan Paus Fransiskus juga mirip. Pada kesempatan Hari Orang Muda Sedunia tahun 2016, ia berpesan supaya orang muda tidak berdiam diri saja, namun untuk meninggalkan jejak, meninggalkan warisan, meninggalkan sesuatu yang bisa dilihat kemudian.
Paus sangat memperhatikan orang-orang terpinggir seperti para migran dan pengungsi. Hal itu terekam dalam Anjuran Apostolik Evangelii Gaudium yang dirilis tahun 2013. “Para migran memberikan tantangan khusus bagi saya karena saya adalah imam dari sebuah Gereja tanpa perbatasan, Gereja yang menganggap dirinya Ibu bagi semua” (Evangelii Gaudium, 210).
Dokumen Evangelii Gaudium, bagi Romo Beni, sangat menarik, karena banyak ungkapan dan ilustrasi penting yang dibuat oleh Paus Fransiskus mengenai Gereja.
“Gereja tanpa perbatasan. Gereja yang menganggap dirinya Ibu bagi semua. Jadi gambarnya itu bukan benteng, bukan rumah tertutup atau komunitas yang eksklusif, tetapi Gereja tanpa perbatasan. Gereja tanpa pagar. Gereja tanpa tembok. Gereja yang merangkul semua atau terbuka untuk semua,” kata Romo Beni.
Dalam dokumen yang sama, Paus Fransiskus menulis, “Saya lebih menyukai Gereja yang memar, terluka dan kotor karena telah keluar di jalan-jalan, daripada Gereja yang sakit karena menutup diri dan nyaman melekat pada rasa amannya sendiri” (Evangelii Gaudium, 49).
Pernyataan Paus ini tentu sangat menantang dalam konteks Indonesia. “Sebagai minoritas di Indonesia ini, godaan terbesar bagi kita akan mencukupkan diri dengan komunitas kita, atau dengan kata lain ya mencari aman. Dan syukurlah bahwa Gereja Katolik di Indonesia ini meskipun minoritas tapi kan powerful ya. Jadi, sebenarnya cukup kita ini tinggal di dalam saja, nggak usah sibuk dengan dialog antar agama, nggak usah sibuk dengan politik, dengan sosial, nggak usah. Kita cukup dengan diri kita sendiri. Tapi apakah Gereja macam itu yang kita mau bangun? Ternyata, menurut Paus Fransiskus tidak. Lebih baik Gereja ini babak belur ya, kotor bahkan, karena keluar di jalan daripada pucat, kurang matahari, sakit yang terjadi karena orang kurang gerak,” katanya.
Paus Fransiskus juga mengingatkan para imam dalam homili misa Krisma tanggal 28 Maret 2013. “Imam-imam yang enggan keluar dari dirinya sendiri pelan-pelan akan berubah menjadi manajer atau makelar saja… Rahmat Allah itu mengalir dan berkembang bila para imam berada di tengah-tengah umat, memberikan diri dan mewartakan Injil kepada sesama. Ini yang saya minta dari kalian. Jadilah gembala-gembala yang berbau domba” (Homili Misa Krisma, 28 Maret 2013).
“Kita juga mengenal ya Paus Fransiskus ini kerap mengkritik internal para imam dengan satu kata yaitu klerikalisme. Imam menjadi pusat dunia ketika imamat menjadi status dan bukan pelayanan. Saya kira nadanya itu sama dengan apa yang beliau sampaikan pada homili misa krisma,” kata Romo Beni.
Gereja di mata Paus Fransiskus
Menurut Romo Beni, Gereja yang dibayangkan oleh Paus Fransiskus adalah Gereja yang sibuk, Gereja yang beraksi. “Dan sibuknya bukan dengan dirinya sendiri. Tapi sibuk dengan dunia. Sibuk dengan apa yang ada di di depannya ini,” katanya.
Romo Beni menegaskan, Gereja ada di dalam dunia bukan di luar dunia. “Jadi Gereja ini harus harus beraksi baik dalam kata-kata maupun dalam tindakan,” kata Romo Beni.
Gereja yang dibayangkan Paus Fransiskus adalah Gereja yang bersama masyarakat. Terbuka kepada dunia. Menurut Romo Beni, Paus menekankan berulang kali kerja sama dengan masyarakat dan kelompok berbeda-beda. “Maka, dialog antar agama penting sekali. Paus Fransiskus beberapa kali melakukan gestur atau tindakan simbolik bersama para pemimpin agama yang beragam itu. Bahkan mengeluarkan dokumen resmi bersama. Jadi kelihatan sekali, ini Gereja yang sibuk. Gereja yang sama seperti Paus Fransiskus kemarin ya ketika berkunjung ke Indonesia dan beberapa negara Asia itu. Sibuk. Tiap hari ada agenda, nggak pernah diam. Dan kegiatannya itu selalu ada suasana bersama orang hadir di tengah-tengah masyarakat. Dan kalau demikian ya pasti Gereja itu terluka kotor bahkan rusak,” kata Romo Beni.
Menurutnya, Paus lebih suka Gereja yang mengambil risiko semacam ini dengan risiko sangat mungkin rusak dan kotor daripada Gereja yang bersih, rapi, tapi pucat tidak melakukan apa-apa.
Demikian juga dengan keterbukaan. Menurut Romo Beni, Paus sangat terbuka pada orang-orang yang dikategorikan terpinggir, orang miskin, migran-pengungsi, dan tawanan. Hatinya terbuka dan digerakkan oleh belas kasih.
Kata ‘belas kasih’ ini muncul beberapa kali dalam dokumen Spes Non Confundit yang dikeluarkan dalam rangka Tahun Yubileum biasa. “Bahkan indulgensi itu dibahasakan oleh Paus Fransiskus sebagai wujud belas kasih Allah yang tak terbatas. Gereja mau menunjukkan itu. Maka memang inilah yang menggerakkan Gereja untuk terbuka. Kita terbuka bukan karena kita ini sok ampuh ya, menangan, tidak. Tetapi karena berbelas kasih. Dan keterbukaan ini juga dilambari, didasarkan pada integritas, kesatuan antara kata-kata, dan perbuatan,” katanya.
Keterbukaan yang diusung Paus, berarti juga menghormati keragaman dengan tulus. “Artinya dialog antar agama itu bukan maksudnya adalah agar orang-orang beragama lain lama-lama jadi Katolik, jadi dibaptis, bukan itu. Tetapi sungguh-sungguh menghormati tradisi kerohanian yang berbeda, dan dari situ pasti ada sesuatu yang memperkaya Gereja, memperkaya diri kita. Termasuk keragaman di sini kalau di dalam konteks Eropa adalah keragaman dalam hal dialog dengan berbagai suku, ras yang apalagi di Amerika Utara itu menjadi tema yang sangat relevan ya beberapa tahun terakhir ini,” kata Romo Beni.
Sebagai seorang Yesuit, Romo Beni mengaku mengenali ke-yesuit-an Paus Fransiskus lewat gambaran Gereja yang semacam itu. “Inilah juga gambaran Gereja yang secara entah sadar atau tidak sadar itu saya, saya pelajari. Saya hayati dalam masa formasi saya sebagai Yesuit sampai sekarang. Gambaran Gereja macam ini. Maka untuk saya tidak ada kesulitan mengenali, mengenali gambaran Gereja yang mau disampaikan oleh Paus Fransiskus,” katanya.
Gebrakan Paus juga sungguh luar biasa ketika mengangkat seorang perempuan, Suster Simona Brambilla untuk Prefek Dikasteri Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Apostolik pada 6 Januari 2025.
Seperti halnya Paus Fransiskus yang berusaha melibatkan Gereja dengan dunia, demikian halnya dengan Serikat Yesus Provinsi Indonesia.
Menurut Romo Beni, tahun 2019, Pater Jenderal SJ, Arturo Souza, SJ mempromulgasi Universal Apostolic Preferences (UAP). “Ini adalah prioritas atau pilihan apostolik universal Serikat Yesus. Ada empat tema besar. Tema pertama itu menunjukkan jalan menuju Allah. Yang kedua adalah berjalan bersama yang terkucilkan. Yang ketiga, penjelajahan bersama orang muda. Dan yang keempat, adalah merawat rumah kita bersama,” katanya.
Dari UAP tersebut, sambungnya, setiap provinsi Serikat Yesus diminta untuk menurunkan empat poin tersebut ke dalam program atau pilihan apostolik di tingkat provinsi.
“Nah, di Indonesia yang kami lakukan itu adalah melalui sebuah proses diskresi bersama menetapkan akhirnya misi bersama, memperbarui misi bersama,” katanya. Dari diskresi bersama itu, lahirlah misi: “Dipanggil untuk bertobat bersama Santo Ignatius Loyola, Serikat Jesus Provinsi Indonesia (Provindo) ingin berubah agar semakin bisa dipercaya oleh Gereja dan masyarakat Indonesia, gesit sebagai organisasi, dan berani memeluk tantangan-tantangan dunia secara terukur”.
“Ingin berubah, kata dasarnya ini,” katanya.
Misi tersebut kemudian dijabarkan dalam tiga prioritas. Pertama, menjadi lembaga yang semakin accountable, responsible, transparent, dan sustainable dalam tata kelola, perlindungan (safeguarding), adopsi teknologi, dan kepedulian pada lingkungan serta keutuhan ciptaan.
Kedua, mengambil peran penting dalam misi Serikat Jesus di Asia Pasifik dengan terlibat aktif berkolaborasi melaksanakan program JCAP, secara khusus formasi para skolastik, perhatian pada regio dependen Thailand dan Misi Pakistan.
Ketiga, berperan aktif dalam mengatasi radikalisme agama dan kemiskinan, menggarap formasi awam, dan meningkatkan kepemimpinan awam dalam kerangka sinodalitas Gereja serta hadir secara bermakna di bumi Papua dan Kalimantan.
“Nah, tiga ini kalau kita lihat, nomor satu ini internal, perubahan di internal, memperbaiki dari dalam, yaitu menjadi lembaga yang semakin baik, istilahnya itu ARTS (accountable responsible, transparent and sustainable). Dalam hal tata kelola, berarti manajemen kemudian safeguarding, adopsi teknologi dan kepedulian pada lingkungan serta keutuhan ciptaan,” terang Romo Beni.