Ajak Warga Menanam Jali Demi Pangan Alternatif dan Kesehatan

Sebagai Kepala Desa di Desa Sukorejo, Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah, Sukrisno selalu berusaha untuk menyejahterakan warganya. Yang semula warga hanya menekuni tanaman padi dan palawija, Sukrisno pun mulai mengajak warga menanam Jali yang bisa menjadi sumber tanaman pangan alternatif bahkan untuk kesehatan.

Tanaman Jali, selama ini dikenal sebagai tanaman alternatif dengan nutrisi tinggi dan rendah gula. Nenek moyang kita, sebagaimana terekam dalam Serat Centhini, telah memanfaatkan Jali sebagai sumber pangan. Catatan jurnal ilmiah telah menunjukkan bahwa Jali adalah tanaman yang multimanfaat baik sebagai sumber pangan yang baik karena kaya nutrisi sekaligus juga untuk kesehatan.

“Awalnya kami mengenal jali itu dari Romo Hartono beserta eLSi Camp yang datang ke sana, yang mengenalkan bagaimana budidaya Jali. Dari keterangan beliau ini, jali banyak manfaatnya. Terutama saya melihat ini bisa dipakai untuk diversifikasi pangan. Jadi, tidak melulu beras,” kata lelaki kelahiran Sragen, 30 Septembter 1980 itu.

Menurut Kris, demikian ia biasa disapa, isu krisis pangan dunia saat ini begitu kuat terlebih ketika pandemi Covid-19 dan terjadi peperangan. Dalam kondisi itu, kelangkaan pangan bisa saja terjadi. Oleh karena itu, Kris bermaksud mengajak warga untuk mengoptimalkan lahan-lahan yang selama ini tidak bisa ditanami padi untuk kemudian ditanami Jali. Tanaman Jali bisa tumbuh hampir di semua tempat, mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi. Kris mengajak warga untuk menanam Jali di lereng-lereng atau tanah berkontur miring, supaya bisa menghasilkan pangan. Yang sudah ditanami padi, tetap ditanami padi, tidak mengurangi lahan untuk pertanian padi.

“Kita akan memanfaatkan lahan yang tidak terpakai. Nah, jali ini ternyata mudah ditanam di tempat-tempat yang mungkin tidak bisa ditumbuhi oleh padi. Artinya, dengan adanya Jali ini, berarti saya bisa menambah stok pangan, minimal di desa saya,” katanya.

Menurutnya, kebijakan Kementerian Desa mengharuskan anggaran desa dialokasikan minimal 20 persen untuk ketahanan pangan. Dari 20 persen untuk ketahanan pangan, olehnya, sekitar 7 persen dialokasikan ke tanaman Jali. Hal itu dimulai dengan membuat pilot project penanaman Jali di desanya.

“Akhirnya saya membuat pilot project yang menghasilkan benih untuk pengembangan Jali,” katanya. Langkah pertama itu dimaksudkan untuk menghasilkan benih Jali yang kemudian akan dibagikan kepada warga. Untuk penanaman pertama, Kris  mendapatkan 1,25 ton benih Jali.

“Hasil panen ini, akan kami kontribusikan kepada warga kami yang ada di desa ini. Bibitnya nanti kita bagi. Mereka kita wajibkan untuk tanam Jali. Ini yang akan kita lakukan. Dan ini sudah ada pembicaraan. Dan mereka menyetujui hal ini,” ungkapnya.

Kris menambahkan, jika setelah dibudidayakan warga, Jali bisa dipanen, hasil panenan tersebut akan dikumpulkan dan diolah menjadi Jali yang siap untuk dikonsumsi warga. Hal ini dilakukan mengingat pemrosesan pasca panen membutuhkan perhatian dan penanganan khusus.

“Dengan cara ini, mereka akan lebih senang daripada harus memanen sendiri dan mengolah sendiri,” imbuhnya. Untuk melakukan hal itu, Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) siap menangani Jali mulai pasca panen hingga siap dikonsumsi.

Meski demikian, Kris berpesan kepada warga supaya produk Jali tersebut tidak dijual ke luar. “Makan sendiri supaya kita nanti diberi kesehatan. Mungkin nanti ada program gerakan makan Jali. Mungkin setiap hari Kamis harus makan Jali, seluruh warga. Kita kasih nama “Ngemis Jali”, Hari Kamis makan Jali. Mungkin itu akan mengurangi kebutuhan beras. Nah, ini akan menjadi kebiasaan. Akan menjadi gerakan yang akhirnya, yang dari hal kecil ini tadi akan menjadi kebiasaan. Apalagi kalau sudah merasakan enak, dan mereka bisa menerima akan menjadi konsumsi harian mereka,” katanya.

Kalau ada sisa setelah dikonsumsi sendiri, Kris mempersilakan warga untuk menjual Jali itu keluar. “Kalau nanti ada sisa, itu kita jual. Jadi yang utama untuk konsumsi sendiri. Bagaimana orang mau makan kalau kita sendiri nggak mau makan,” ungkapnya.

Tanggapan positif

Menurut Kris, warga di desanya sangat antusias dengan program budidaya Jali. Demplot lahan Jali yang sudah dipakai saat ini seluas 7500 meter persegi. Kris sendiri telah membudidayakan Jali di lahan pribadinya seluas 3200 meter.

Kris tertarik membudidayakan Jali sejak pertama kali mencicipi makanan olahan Jali. “Kita makan, oh rasanya ya enak. Artinya langsung klop. Dan saya sudah mencoba 3 hari tidak makan nasi sama sekali, tidak apa-apa, merasa lebih baik. Rasanya lebih enteng. Mau makan lagi sudah tidak ada. Solusinya menanam sendiri,” kata kepala desa yang menjabat 2 periode sejak 2013 lalu itu.

Kris melakukan beberapa langkah strategis dalam membudidayakan Jali bersama warga. Yang  pertama, menjadikan warga tertartik untuk mengonsumsi Jali. Kedua, membangun pasar. “Karena saya yakin akan terjadi surplus. Ada sisa dari yang mereka makan. Kalau ini nggak laku dijual itu akan menjadi beban,” katanya.

Kris berharap, Jali menjadi menjadi produk unggulan di desanya setelah beras organik. Setelah itu, ia juga sedang menyiapkan produk unggulan ketiga yaitu durian.

Kris dalam periode kepemimpinan kedua di desanya berkeinginan membangun ekonomi kerakyatan melalui integrasi pertanian, peternakan, perikanan dan pariwisata. Dalam bidang pertanian ia berusaha menciptakan produk unggulan beras organik, Jali dan durian. Sedangkan dalam bidang peternakan, ia menyediakan instalasi biogas, sehingga desa menjadi mandiri energi. “Harapannya, orang desa itu kalau terjadi kelangkaan gas LPG tidak perlu bingung, karena kita sudah punya energi. Sampai hari ini sudah ada 53 unit digester biogas yang dipakai. Sudah mengcover 96 rumah tangga. Jumlah warganya 2635 orang,” katanya.

Ia pun membuat beberapa pilot project terintegrasi antara pertanian, peternakan, dan perikanan. Ketiganya saling menopang. Kotoran ikan bisa dipakai untuk akuaponik. Kotoran ternak bisa untuk biogas dan pertanian. Tanaman pun mendapat asupan nutrisi yang optimal dari sistem yang terintegrasi tersebut. “Air sisa kolam ini kan bagus, nutrisinya baik, ini juga kita alirkan melalui sprinkler. Lebih rata. Nah, itu juga mengantisipasi perubahan iklim, kekurangan air, ketika kemarau panjang, kita juga kekurangan air. Dengan pakai sistem itu, maka air lebih hemat. Bisa merata,” katanya.

Di tempat yang memungkinkan, ia pun memasang pompa hidram yang bebas listrik untuk menaikkan air dari sungai ke lahan pertanian. “Jadi, semua ndak pakai energi. Free energy. Kan ngirit, mereka juga butuh penghematan,” katanya.

Menjadi kepala desa bagi Kris adalah membangun ekonomi kerakyatan. Menurutnya, ketika hal itu dilaksanakan dengan baik, keadaan akan normal. Dalam membangun ekonomi kerakyatan, ia harus memastikan warganya sehat supaya bisa berkarya dengan baik. Menurutnya, sekaya apapun orang, jika sakit, dia bisa kehabisan uang. Apalagi di desanya, ia menemukan sebagian warganya yang menderita penyakit diabetes melitus. Jali menjadi salah satu solusi untuk mencegah penyakit tersebut karena rendah gula.

“Dengan makan Jali, mereka minimal mengurangi risiko diabet mereka. Kalau sehat, ekonomi apa saja jalan. Lebih produktif. Kalau badan sehat, bisa mencangkul, bisa bercocok tanam, bisa menanam Jali. Kalau sakit, uang yang banyak bisa habis. Miskin,” pungkasnya.

 

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *