Tahun 1978, Andreas Darwis Triadi yang telah menjadi pilot dengan berbagai pertimbangan memilih berganti profesi. Hatinya mantap memilih menjadi seorang fotografer, meski ia lulusan sekolah penerbangan di Curug, Tangerang.
“Ini adalah jalan hidup saya yang kedua dan terakhir. Saya akan coba jalankan dengan komitmen dan semangat saya untuk saya tidak akan merubah lagi jalan hidup saya,” kenangnya dalam acara persekutuan doa beberapa waktu lalu.
Selanjutnya apakah pilihannya berjalan mulus? Tidak semulus yang dibayangkan. Bahkan, orang tuanya menentang pilihannya. “Kamu itu sudah jadi pilot, mau jadi tukang foto, mau jadi tukang foto keliling?” kata Darwis mengenang ayahnya.
Ia pun menjelaskan pada ayahnya kala itu, bahwa fotografer adalah profesi seperti yang lainnya, seperti lawyer, dokter, dan profesi lainnya. Ayahnya hanya tertawa sinis menanggapi penjelasannya.
Meski ditentang orang tuanya, Darwis pantang mundur. Ia pun belajar fotografi secara otodidak. Latar pendidikan sebagai pilot mempermudahnya dalam mempelajari fotografi. Logika-logika yang biasa dipakainya ketika menjadi pilot diterapkan dalam belajar fotografi sehingga proses belajarnya semakin lancar. “Jadi, berdasar itu, saya hanya berpikir bahwa fotografer teoritik makin mudah,” terangnya.
Selama belajar fotografi, Darwis juga mempelajari banyak hal yang bisa mendukung profesinya sebagai fotografer. “Belajar menata diri saya. Bagaimana saya merepresentasikan diri sebagai fotografer,” kata kelahiran Solo, 15 Oktober 1954 itu.
Ia pun mulai belajar berkomunikasi dengan baik. “Saya belajar caranya bicara sama orang, sambil saya pelajari teori-teori secara mendasar,” katanya. Dengan belajar komunikasi, ia juga belajar berelasi dengan orang lain. “Saya bisa berkomunikasi saya coba bisa meyakinkan orang, saya coba bisa berdialog sama orang dan orang itu tertarik,” tuturnya.
Menemukan spiritualitas dalam fotografi
Darwis selama menekuni dunia fotografi pada akhirnya menemukan spiritualitas di dalamnya. Fotografi berkait dengan cahaya. “Jadi, pada saat saya mulai menjalankan teori secara otodidak, saya mulai bertanya pada diri saya bahwa belajar fotografi itu belajar cahaya. Karena sebenarnya sudah jelas fotografi melukis dengan cahaya,” ujarnya. Itu yang menjadikan pilihannya menjadi seorang fotografer semakin bermakna.
Sejak saat itu, ia tidak pernah berpikir bahwa belajar fotografi itu hanya belajar mengoperasikan kamera. “Saya hanya berpikir bahwa bagaimana saya bisa mempelajari, memahami, mempelajari, mengerti dan memahami cahaya,” ungkapnya.
Penemuan kamera pada mulanya sangat berkait dengan matahari, bukan cahaya-cahaya lainnya seperti lampu. Darwis pun mencoba menemukan kedalaman di balik itu. “Matahari itu kan sumber cahaya. Matahari itu sumber kehidupan. Saya masuk ke sinar, sumber kehidupan. Berarti saya harus belajar berkehidupan di dalam saya menjalani fotografi. Dan kayaknya saya dapat sebuah jawaban, bahwa belajar fotografi itu belajar menata diri seperti kita hidup. Belajar fotografi itu belajar untuk bisa menatap masa depan,” tuturnya.
Maka, ketika Darwis ditanya orang lain tentang capaiannya sebagai fotografer, ia mengatakan kalau belum punya prestasi. Meskipun berprestasi, itu pun sudah lewat. Masa lalu. “Yang saya pikirkan adalah masa depan. Bagaimana saya mengelola diri saya, saya memanaj diri saya, untuk bisa lepas. Dan itulah yang saya terapkan didalam kehidupan saya,” katanya.
Darwis menemukan, belajar fotografi adalah belajar kehidupan. “Saya menjalankan fotografi, saya menjalankan spirit dalam kehidupan. Dan sudah dijalani 40 tahun. Mungkin kalau saya tanpa melalui itu, tanpa menjalankan itu, umurnya saya sekarang 68, saya rasa sudah berhenti mengikuti. Tapi sampai detik ini, kalau saya bicara fotografi, semangat saya muncul kaya masih remaja,” tuturnya.
Darwis melakoni dunia fotografi, juga menjalani hidup sehari-hari. Keduanya saling berkait. Baginya, menjalani hidup mesti introspeksi. “Kita mesti banyak sharing, kita harus bersyukur. Di situlah pada akhirnya pada saat saya sedang menjalankan fotografi, saya banyak pengalaman mengenai posisi yang paling buruk di dalam menjalankan fotografi,” katanya.
Tahun 1998, pada masa-masa pergantian rezim pemerintahan, Darwis menghadapi kesulitan. Kondisi ekonomi tidak menggembirakan. Banyak teman-teman fotografernya yang memilih berhenti dari dunia fotografer. Namun, Darwis tetap menetapkan hatinya pada dunia fotografi. “Banyak teman-teman saya yang berhenti jadi fotografer, tapi saya tetap. Kenapa? Justru melatih mental. Karena buat saya fotografi itu ada tiga: harus ada spirit, harus ada motivasi, harus ada mental. Tanpa spirit betapa saya anjlok. Tanpa motivasi kita dari tahun pertama begitu saja. Mental, ini sangat penting. Justru mental itu muncul, pada saat dicoba pada saat kondisi kita tidak baik,” jelasnya.
Syukur atas kemampuan berfotografi
Darwis sangat bersyukur dengan profesinya sebagai fotografer. “Seharusnya kita bersyukur, karena apa, karena kita diberi skill. Diberi skill oleh Yang Mahakuasa. Jadi, skill kita yang diberikan sama Tuhan, kita coba kembalikan lagi kepada sesama,” katanya.
Bagi Darwis, fotografi seperti air. “Dia mengalir ke mana-mana, jangan dibendung. Alirkan saja ke mana-mana, dan itu akan menjadi flow yang baik seperti halnya hidup dilakukan,” katanya. Darwis meyakini berprofesi adalah sebuah pengabdian. “Profesi apapun. Kenapa kita harus mengabdi? Ya, karena kita diberi kapasitas, diberi skill untuk bisa melakukan itu. Karena itu harus melihat begitu banyak kawan-kawan, saudara, atau orang-orang yang tidak semujur kita,” kata fotografer yang memotret Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden K.H. Makruf Amin sebagai foto resmi kenegaraan itu.