Melayani Para Pekerja Migran dan Korban Trafficking

Memahami permasalahan Pekerja Migran Indonesia

Suster Laurensia menyampaikan, persoalan migran sangat kompleks. Tetapi di balik persoalan migran, ada masalah perkawinan dan perceraian, pergeseran budaya, pendidikan anak, pengasuhan anak, dan gaya hidup. “Perkawinan dan perceraian itu maksudnya mereka di sini di kampung sudah punya anak istri, nanti di Malaysia, di perantauan, mereka juga punya anak istri lagi,” kata suster. Demikian sebaliknya, sambungnya, mereka yang di kampung, ketika suami atau istrinya pergi, mereka juga banyak yang nikah lagi, dan kadang-kadang juga membuat persoalan  yang baru.

Demikian pula, mereka yang bermigrasi mengalami pergeseran budaya. “Pergeseran budaya jelas ya, dari budaya di Nusa Tenggara Timur atau di NTT, terus mereka hidup di Malaysia atau di negara lain dengan berbagai macam budaya yang mereka hidupi.,” katanya.

Masalah pekerja migran pun merembet ke anak-anak, mulai dari pendidikan yang terbengkalai maupun pengasuhan yang tidak tepat. Ketika mereka pergi ke Malaysia atau ke negara lain, pengasuhan anak dialihkan pada kerabatnya. “Pengasuhan anak menjadi tanggung jawab neneknya atau bibinya. Ini juga menjadi persoalan yang sangat serius,” kata Suster Laurensia.

Perdagangan Manusia di NTT

Menurutnya, Indonesia merupakan negara asal, tujuan dan transit bagi pekerja paksa atau pekerja perdagangan seks. “Pekerja migran itu bisa dipekerjakan di kelapa sawit maupun bekerja rumah tangga dan banyaklah pekerjaan yang terutama yang kasar-kasar ya. Kemudian di prostitusi, kadang-kadang mereka dijerumuskan di situ. Kemudian banyak penduduk Indonesia ini hampir 4,5 juta kerja ke luar negeri,” katanya. Suster Laurensia juga menemukan, banyak warga negara Indonesia yang dieksploitasi paksa, juga terlilit  hutang.

Sementara itu, sambungnya, tak sedikit para pekerja migran Indonesia yang non prosedural pergi tanpa ketrampilan yang memadai. “Jadi, mereka pergi begitu saja tanpa modal, istilahnya apa sih yang mau dikerjakan atau istilhya modal apa yang bisa saya bawa ke negeri orang, itu tidak ada. Bahkan buta huruf kadang-kadang juga dikirim ke sana,” ungkap Suster Laurensia.

Selama melayani para pekerja migran dan korban trafficking, Suster Laurensia menemukan beberapa kenyataan. Di antaranya, Malaysia merupakan tumpuan hidup bagi masyarakat NTT, migrasi swadaya belum dikelola secara baik, kebijakan yang ada belum berpihak pada korban, dan penegakan hukum masih lemah.

Suster Laurensia pun menunjukkan data. Ada banyak kiriman jenazah pekerja migran yang meninggal di Malaysia. Pada tahun 2017 ada 64 jenazah, 2018 ada 108 jenazah, tahun 2019 ada 119 jenazah, tahun 2020 ada 75 jenazah, tahun 2021 ada 136 jenazah, dan awal tahun 2022 ada 16 jenazah.

“Ini realita pekerja migran dan trafficking di NTT. Memang jenazah-jenazah itu tidak semuanya korban trafficking. Tapi memang kalau kita menentukan bahwa itu korban trafficking atau tidak, kita harus mulai dari awal, siapa perekrutnya, bagaimana caranya merekrutnya. Itu kalau saya mencoba satu-satu bahwa ini trafficking atau tidak. Misalnya, saya, misalnya satu jenazah saya runtut, bahwa itu trafficking atau tidak, kemudian masih ada jenazah yang harus datang, yang bertubi-tubi, jadi waktu untuk mengatakan itu trafficking atau tidak, membutuhkan waktu yang tidak mudah,” tuturnya.

Dengan melihat kasus seperti itu,  Talitakum tempat Suster Laurensia berkarya pun melakukan pelayanan kargo. Mengapa ada pelayanan kargo? Suster Laurensia pun menjelaskan, yang pertama, menghargai martabat manusia. “Bagaimanapun meski sudah menjadi jenazah tapi kita menghargai manusia itu sebagai manusia, bukan sebagai binatang atau barang yang begitu saja,” katanya.

Kedua, mencegah mafia perdagangan mayat. “Meskipun sudah menjadi mayat, kadang-kadang mereka diperdagangkan juga. Mereka diambil untuk praktek kedokteran atau diambil organ tubuhnya ya. Ini yang juga kita harus mencegah perdagangan organ tubuh,” ungkapnya.

Ketiga, mendampingi keluarga korban. “Yang jelas ketika orang-orang kampung mengalami saudaranya atau anaknya meninggal di rantau, mereka bingung untuk menguruskan, apalagi kalau terkait dengan prosedural. Di sini kami hadir untuk menemani mereka,” jelas Suster Laurensia.

Keempat, pelayanan kargo juga dimaksudkan untuk menggali data dengan pasti para pekerja migran Indonesia. “Tapi kalau data pekerja migran yang hidup memang kami tidak punya, karena sangat sulit, karena mereka banyak yang pergi dengan non prosedural,” katanya.

Demi berjalannya pelayanan kargo dengan baik, maka tim pun dibentuk. “Kami di pelayanan kargo itu juga ada tim. “Yang pertama tim dari keluarga, ketika anggota keluarganya meninggal kami mencoba komunikasi dengan keluarga. Kalau memang rumahnya kami bisa jangkau, kami akan datang ke rumahnya. Kalau jauh atau di luar pulau, kami lewat telepon,” terang Suster Laurensia.

Tim kargo juga bekerja sama dengan pemerintah baik pusat sampai daerah. Kerja sama dengan Gereja pun dilakukan. “Kami juga bekerja sama dengan keuskupan-keuskupan yang ada di Malaysia untuk pemulangan jenazah,” katanya. Suster juga bekerja sama dengan  para petugas bandara dan pelabuhan karena membutuhkan jadwal penerbangan dari maskapai-maskapai untuk pemulangan jenazah.

Tak ketinggalan, kerja sama dengan media pun dilakukan. “Media juga jelas membantu kami, karena suara kami itu kecil. Jadi media itu membantu kami untuk bersuara. Bahwa ada persoalan-persoalan seperti ini, kami dibantu juga oleh media,” ungkapnya.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *