Melayani Para Pekerja Migran dan Korban Trafficking

Trafficking

Dalam situasi yang diliputi serba kekurangan, Suster Laurensia melihat, pengungsi yang ada di sana rentan menjadi korban perdagangan manusia. “Mereka banyak anak-anak muda, yang bahkan juga ibu-ibu tertipu dengan para perekrut yang memberikan iming-iming kerja di Malaysia atau di tempat yang mereka tawarkan.  Oleh calo-calo perekrut yang menawarkan iming-iming yang karena kebutuhan dan juga kemiskinan tadi, mereka gampang untuk mengikuti para perekrut karena memang mereka butuh kehidupan yang lebih layak,” imbuhnya.

Dari situasi itulah, Gereja mesti bertindak dalam pastoral anti human trafficking. Menurutnya, dasar pastoral anti human trafficking yang ia hidupi adalah yang tertulis dalam Gaudium  et Spes (GS 1), “Kegembiraan dan harapan duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. “Ini menjadi dasar pastoral kami di Talitakum maupun karya-karya kemanusiaan yang kami lakukan,” jelasnya.

Komitmen Gereja Indonesia

Suster Laurensia pun menjelaskan komitmen Gereja Indonesia dalam pastoral migran dan anti human trafficking. Pertama, komitmen Gereja Indonesia yang sampai saat ini dihidupi, setiap hari Migran Sedunia, Gereja Indonesia memperingatinya dengan berbagai kegiatan. Kedua, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) memiliki Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Pastoral Migran Perantau. Bahkan beberapa keuskupan di Indonesia pun sudah memilikinya. Ketiga, menciptakan Paroki Ramah Migran yang sudah dirintis beberapa keuskupan yang ada di wilayah Nusa Tenggara Timur. Keempat, adanya  Organisasi Talitakum Indonesia. Keempat, adanya jaringan Talitakum yang saat ini sudah terbentuk di 9 keuskupan. “Mereka berfokus pada pendampingan korban human trafficking,” katanya.

Migran dan trafficking

Menurut Suster Laurensia, migrasi internasional memang akan selalu berlangsung sampai kapanpun. “Ekonomi merupakan daya tarik yang paling dominan. Usaha meningkatkan kesejahteran, kerja, hidup manusia akan ditempuh dengan berbagai cara baik prosedural maupuan non prosedural,” katanya. Suster Laurensia juga melihat, masalah migran dan perantau yang cenderung mengarah ke perdagangan manusia merupakan masalah yang tak akan berhenti bahkan meningkat seiring dengan kemajuan zaman dan teknologi terutama media sosial saat ini.

“Kalau dulu sebelum marak media sosial itu para perekrut datang ke desa-desa untuk menawarkan pekerjaan pada calon-calon pekerja di desa-desa di kantung-kantung migran di sini. Kemudian akhir-akhir ini mereka ketika saya ketemu korban itu, mereka mengatakan kenal lewat siapa? Mereka bilang lewat facebook, atau grup-grup yang mereka punya. Kemudian, kalau dilacak akunnya, mereka memakai akun palsu. Jadi, agak susah sekarang untuk menangkap pelaku yang saat ini modus-modusnya itu juga semakin canggih, caranya semakin canggih,” katanya.

Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup tersebut baik prosedural maupun non prosedural tak sedikit menimbulkan risiko.  “Terutama yang non prosedural, di sini banyak sekali korban-korban yang saya dampingi baik korban yang meninggal maupun korban yang masih hidup, mereka hampir semua non prosedural. Ini yang terjadi di NTT,” kata Suster.

Suster Laurensia yang selalu siap melayani kerasulan kargo
Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *