Romo Mangun menganggap bahwa di dalam diri anak sudah ada mahaguru. Inisiator Komunitas Belajar Qaryah Tayyibah di Salatiga, Ahmad Bahrudin menyampaikan hal tersebut dalam Seminar dan Pameran Foto “Jejak Karya Mangunwijaya” di Soegijapranata Catholic University (SCU), Semarang, 25 November 2024. Maka dari itu, menurutnya, mahaguru itu harus dijaga. “Untuk itu harus dijaga, jangan sampai dibunuh mahagurunya itu,” kata Bahrudin.
Hal itu, lanjut Bahrudin, dilakukan betul dalam komunitas yang diampunya. “Saya praktikkan betul ketika pembelajaran dengan anak-anak. Anak-anak kita beri kesempatan untuk apa, berimajinasi, untuk berkreasi, berinovasi yang living context base gitu, berbasis pada konteks kehidupan,” kata penerima Maarif Award tahun 2012 itu.
Dalam komunitas belajarnya, anak-anak diberi kesempatan untuk berkreasi sesuai dengan basis kecerdasannya. “Itu luar biasa. Jadi, apa yang disebut dengan Romo Mangun di dalam setiap anak itu ada mahagurunya itu, itu ya sangat-sangat apa berketepatan.
Kami sudah mempraktikkan ketika fasilitasi anak, bahkan di tempat kami itu larangan seorang guru gitu itu mengajar. Larangan seorang guru itu mengajar. Bahkan membimbing pun sebenarnya, sebaiknya hati-hati. Jangan terlalu membimbing. Karena membimbing itu masih teacher center, masih counsel center tidak ke client center kalau menurut teorinya Carl Rogers itu. Nah, anak dibimbing. Kalau terlalu dominan nanti akan menjadi pembimbing,” kata Bahrudin.
Bahrudin mengaku sangat tertarik dan sejalan dengan pikiran Romo Mangun bahwa di dalam diri anak itu sudah ada mahaguru.
Menurut Bahrudin, guru-guru di Indonesia lebih banyak membimbing. Ia berharap pada saatnya guru-guru itu membombong. “Membombong itu lebih learner centered, child centered atau client centered sehingga anak akan tumbuh berkembang menjadi dirinya, tetap dikaitkan pada living contects itu, pada konteks kehidupan itu,” katanya.
