
Menteri Agama RI, Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A mengaku tidak pernah membayangkan bahwa kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia mendapat perhatian luar biasa. “Kita tidak pernah membayangkan seperti ini akan terjadi, dan image Indonesia dengan kehadiran Paus baru-baru ini melebihi apa yang dipersepsikan, dipersangkakan orang sebelumnya,” katanya dalam Webinar Internasional Seri Literasi Keagamaan Lintas Budaya “Deklarasi Istiqlal: Kolaborasi Umat Beragama untuk Kemanusiaan” yang diselenggarakan Masjid Istiqlal dan Institut Leimena, 19 November 2024 lalu.
Menurutnya, di antara seluruh kunjungan Paus, Indonesia mendapat perhatian yang paling berharga. “Negara yang paling berkesan oleh para media-media itu ialah Indonesia. Dan kunjungan yang paling interesting, dan yang paling banyak follower-nya itu adalah ketika Paus berada di Masjid Istiqlal. Nah, Istiqlal betul-betul menjadi isu sentral global pada bulan ini, karena bukan saja fotonya yang menampilkan sebuah lukisan yang sangat indah, tetapi juga konten daripada deklarasi yang kita baca bersama itu,” katanya.
Nasaruddin mengaku sangat bangga menjadi orang Indonesia. “Bahwa meskipun kita bukan negara mayoritas Katolik, tetapi memberikan kesan yang sangat impresif kepada orang nomor satu Katolik, nomor satu Vatikan, atas kunjungannya ke tanah air kita yang tercinta ini,” katanya.
Meski demikian, Nasaruddin tidak menampik munculnya reaksi pro dan kontra. “Tentu ada pro kontranya. Ada juga teman-teman kita ya memberikan pandangan-pandangan yang berbeda dengan mainstream, tapi itu adalah haknya setiap orang. Negara kita adalah negara demokrasi kan? Saya tidak pernah membantah apapun yang akan dikatakan orang terhadap saya, karena perlu saya sampaikan bahwa kehadiran Paus di Istiqlal itu, itu bukan undangan Istiqlal, dan itu bukan maunya Istiqlal. Istiqlal itu masjid negara. Ya, kita given dari atas, dari pemerintah. Ada diplomatik memo dari Kementerian Luar Negeri, kemudian juga ada protokol Presiden, dan sebagainya. Jadi kita terima jadilah, melaksanakan apa yang kita akan lakukan,” katanya.
Terkait dengan kunjungan Paus ke Masjid Istiqlal, Nasaruddin melihat ada yang lebih penting, yaitu kelanjutan dari momentum itu. “Yang penting buat saya adalah what is the next? Apa yang sesudah Paus ini? Apa setelah pertemuan Paus ini?” ungkapnya.
Meskipun pertemuan Grand Syekh Ahmed Al Tayeb dengan Paus Fransiskus di Abu Dhabi beberapa tahun yang lalu menarik para pemerhati keagamaan dan kemanusiaan, namun menurutnya, pernyataan Paus dan Imam Besar Istiqlal itu jauh lebih menukik. “Karena kita sudah sampai berbicara tentang sesuatu yang sifatnya sangat applicable. Kita berbicara tentang penyehatan lingkungan, penyelamatan lingkungan. Kita berbicara bukan hanya untuk hal-hal yang sifatnya interfaith meeting, bagaimana berbicara tentang harmoni antar umat beragama, tetapi keharmonisan untuk sesama warga manusia meskipun agamanya berbeda. Itu for what? Untuk apa? Untuk melestarikan alam ini, sebab kalau lingkungan alam semesta ini rusak, maka dunia ini cepat kiamat. Tanggung jawab kita semuanya sebagai semua umat beragama ini bagaimana melestarikan alam ini agar tertunda kiamat itu. Kiamat pasti akan jalan, pasti akan tiba. Tapi bagaimana merawat bumi ini, bahasa agama itu sangat penting,” katanya.
Terkait dengan itu, Nasaruddin menyampaikan dua poin penting. Pertama, bahwa bagaimana menggunakan ‘corong’ rumah ibadah kita masing-masing untuk menyampaikan kepada warga dan jemaat untuk memiliki kesadaran lingkungan hidup, lingkungan alam. Misalnya, bagaimana merawat sungai, merawat danau, merawat tumbuh-tumbuhan, merawat alam semesta pada umumnya. “Dan kita perlu menyuarakan bahwa dosa itu bukan hanya ketika kita men-zalimi sesama umat manusia. Men-zalimi binatang, merusak tanaman, apalagi juga merusak pada benda alam, itu juga dosa. Jadi kita perlu mengembangkan konsep dosa itu bukan relasinya antar sesama umat manusia, tetapi juga sesama makhluk. We are the same, kita semuanya sama,” kata Nasaruddin.
Yang kedua, menurutnya, adalah bagaimana supaya umat beragama yang sudah kompak, yang sudah bersatu, yang sudah harmonis, bahu-membahu untuk mempromosikan lingkungan sehat.
“Kita tahu bahwa climate change itu daya bunuhnya itu lebih dahsyat daripada Perang Teluk. Climate change itu membunuh satu juta orang per tahun. Berarti jangan dikira kita tidak melakukan suatu kegiatan kemanusiaan manakala kita mengkampanyekan kehidupan lingkungan alam yang sehat,” katanya.
Nasaruddin juga mengajak supaya mendalami secara luas agama masing-masing. “Makin luas kita membaca kitab suci kita, maka kita akan lebih komprehensif.
Makin sempit kita membaca, makin kurang kita membaca kitab suci kita masing-masing, makin kurang penghayatan terhadap di dalamnya, maka semakin kita picik di dalam berkomunikasi dengan antar sesama. Makanya itu, saya mohon kepada Bapak-Ibu dan siapapun juga, mari, tugas kita sekarang ini sebagai tokoh umat beragama ini memperluas wawasan keagamaan warga kita masing-masing. Saya kok sangat yakin jika semua umat beragama itu mendalami, menghayati ajaran agama sucinya masing-masing, maka harmoni kehidupan dengan sendirinya akan tercipta,” ungkap Nasaruddin.
Nasaruddin juga mengajak umat untuk tidak mudah marah ketika ada yang menyampaikan kritikan. “Kritikan itu juga ada fungsinya. Dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia ini, ya perbedaan pendapat itu dibenarkan,” ungkapnya.
Nasaruddin berpesan supaya tema-tema kemanusiaan sungguh dihidupi. “Saya mohon betul kepada kita semuanya. Mari kawan-kawan semuanya, tema-tema kemanusiaan ini harus disimpan di atas kepala kita masing-masing. Tujuan kita hidup ini untuk apa, mau ke mana sih sebetulnya? Saya mohon betul pada teman-teman yang berkecimpung di dalam ruang yang sama seperti kita ini, ya jangan bosan-bosannya, jangan berhenti untuk melakukan penggalangan massa; bagaimana supaya kolaborasi antar umat beragama ini benar-benar semakin diperkokoh, terus diperkokoh, diperkuat, dan dengan demikian, insya Allah, kita pasti akan menjadi bangsa yang besar di masa akan datang,” harapnya.