Sekolah sebagai Laboratorium

“Romo Mangun memikirkan pendidikan. Jadi, Romo Mangun tidak berpikir sekolah ya. Sekolah itu laboratorium untuk menemukan sistem pendidikan dan nanti sekolahnya dibubarkan nggak apa-apa, tapi sistem pendidikannya sudah ketemu. Itu yang utama.” Ketua Pengurus Yayasan Dinamika Edukasi Dasar (DED), Romo C.B. Mulyatno, Pr menyampaikan hal tersebut dalam Seminar dan Pameran Foto “Jejak Karya Mangunwijaya” di Soegijapranata Catholic University (SCU), 25 November 2024.

“Maka, Romo Mangun waktu itu kepenginnya, Sekolah Eksperimental itu 10 tahun saja. Selesai. Dan setelah itu sistem ketemu. Ndak usah ngurus sekolah. Itu biarlah Indonesia, bangsa inilah yang ngurus sekolah karena Mangun prihatin terhadap sistem pendidikan pada waktu itu,” kata Dekan Fakultas Teologi di Universitas Sanata Dharma itu.

Berdasarkan informasi yang didapat Romo Mulyatno dari Romo Utomo, teman Romo Mangun ketika bergabung dalam Tentara Rakyat, Romo Mangun ketika mendengar suara peluru atau meriam, ia  bersembunyi. “Kenapa sembunyi? Tafsir pertama, Romo Mangun itu takut perang. Tafsir kedua, memang Romo Mangun tidak berperang karena bagian logistik, dan Romo Mangun tidak tega ketika meriam itu menimpa rakyat. Tentara bisa bersembunyi di manapun. Rakyat tidak bisa bersembunyi. Itu pertama. Lalu yang kedua, Romo Mangun mencatat sebagai pengumpul logistik. Yang menyumbang itu bukan donatur, orang kaya, tapi yang memberikan segala logistik itu rakyat. Maka begitu merdeka tulisan “Aku Akan Membayar Hutang kepada Rakyat” itu yang dipikirkan. Dan itu refren yang dibawa sampai menjadi imam,” kata anggota Badan Akreditasi Nasional Pendidikan PAUD, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah itu. Hal tersebut terus dibawa dan dihidupi di Kali Code, Kedung Ombo, Grigak dan di karya-karya lain yang dilakukan Romo Mangun.

Terkait dengan pendidikan, sambung Romo Mulyatno, Romo Mangun mengenalkan tiga bina yakni bina manusia, bina lingkungan, dan bina kesejahteraan ekonomi. Di sinilah terlihat bahwa pendidikan tidak identik dengan sekolah. Menurut Romo Mulyatno, Romo Mangun berpikir luas tentang pendidikan, dan sisa hidupnya waktu itu diabdikan untuk menemukan sistem pendidikan dasar supaya kalau Sekolah Mangunan dibubarkan sistem itu sudah bisa disumbangkan kepada negara. Mengapa Romo Mangun menaruh perhatian pada dunia pendidikan? “Karena pada waktu itu pendidikan yang dilihat oleh Romo Mangun, pendidikan yang memarginalisasi,” kata Romo Mulyatno.

Sekolah-sekolah itu bagi Romo Mangun sudah tidak mendidik lagi, tidak menumbuhkan anak untuk memiliki tiga bina. Sekolah di mata Romo Mangun waktu itu sangat elitis. “Sistem pendidikan nasional juga demikian, kalau mau masuk sekolah harus membawa KK, harus membawa akta. Itu sudah memarginalisasi. Karena anak-anak yang di pinggir (Kali) Code, termasuk waktu itu Kedung Ombo yang di-blacklist karena tidak mau pergi itu, seluruh KK dan sebagainya dicabut dan dengan demikian tidak bisa mendapatkan pendidikan,” kata Romo Mulyatno.

Prihatin dengan itu, maka, lanjut Romo Mulyatno, Romo Mangun membangun sekolah laboratorium yang biasa disebut Sekolah Mangunan. Di sana para siswa diajak untuk mengeksplorasi diri dan dikenalkan dengan tiga bina. Anak-anak juga tidak memakai seragam. Tidak mendapat pendidikan agama, namun anak-anak dikenalkan dengan pendidikan religiusitas.

Namun, seiring perkembangan zaman, Romo Muyatno mengatakan perlunya kontekstualisasi pemikiran Romo Mangun. Saat ini anak-anak sudah memakai seragam Nusantara.

Bagi Romo Mangun, lanjut Romo Mulyatno, sekolah harus menjadi sekolah sejati. Demikian juga guru dan murid, mesti menjadi guru sejati dan murid sejati. Jadi, ketiga-tiganya merdeka. “Murid sejati dan guru sejati itu satu. Karena murid dan guru itu sama. Karena guru sekaligus murid, murid adalah guru disebut mahaguru.

Guru itu perlu mengeksplorasi siapa murid-murid supaya bisa belajar dan bertumbuh karena guru tanpa belajar dari murid bakulan (jualan, Red) ilmu, datang mengindoktrinasi yang oleh Romo Mangun disebut pawang. Pawang itu kan seperti pawang anjing. Pawang itu ya itu (untuk) hewan itu ya. Murid-muridnya dijadikan kelinci percobaan,” ungkap Romo Mulyatno. Romo Mangun tidak mau kalau murid menjadi indoktrinasi guru.

Romo Mangun waktu itu prihatin dengan guru-guru yang ada, terlebih ketika Sekolah Pendidikan Guru (SPG) ditutup dan yang muncul kemudian adalah sekolah pendidikan guru di IKIP dan Universitas. “Ketika SPG ditutup, berarti guru-guru yang sejak awal mempunyai motivasi jiwa menjadi guru, sudah tidak ada. Masuklah IKIP dan Universitas. Lebih parah lagi ketika universitas, orientasinya pada keilmuan,” kata Romo Mulyatno.

Sekolah sebagai laboratorium

Romo Mangun mengenalkan konsep sekolah sebagai laboratorium. Artinya apa? “Guru itu setiap hari belajar, jadi bukan muridnya yang belajar. Gurunya yang harus belajar. Karena kalau sekolah gurunya tidak belajar, tidak mungkin sekolah akan maju,” kata Romo Mulyatno. Dalam hal ini, murid tidak menjadi objek. “Tapi guru belajar dengan murid, menjadi teman membangun komunitas belajar,” katanya.

Menurut Romo Mulyono,  dalam Anggaran Dasar Yayasan yang ditulis Romo Mangun sejak di Grigrak tahun 1987, Romo Mangun waktu itu sudah memikirkan pendidikan dasar 9 tahun. Setelah itu mulai dengan SD, meski TK belum ada.

Tahun 1999, Romo Mangun wafat. Yayasan limbung, menurut Romo Mulyatno, karena eksperimentasi belum selesai. Tahun 2005-2007, sekolah pernah ditutup. Dalam perkembangannya, masyarakat meminta sekolah dibuka kembali. Sekolah pun dibuka dengan melakukan kontekstualisasi pemikiran Romo Mangun.

“Maka, kami belajar mengkontekstualisasi pemikiran Romo Mangun dalam itu membangun sekolah yang sungguh-sungguh berorientasi untuk memekarkan murid,” kata Romo Mulyatno.

Romo Mulyatno bersama timnya menata kembali. “Kami namakan sekolah ini adalah sebuah proses eksperimentasi untuk menemukan sistem. Sistem itu berarti murid mendapatkan hak-haknya sebagai murid sejati, guru terus belajar, termasuk yayasannya terus mencari cara yang tepat untuk bisa mengeksplorasi daya-daya jiwanya murid dan segala potensinya untuk bertumbuh, memberikan bekal untuk belajar lebih lanjut,” kata Romo Mulyatno.

Yayasan pendidikan itu juga diharapkan mandiri sambil mengembangkan semangat Romo Mangun yaitu kesetiakawanan atau solidaritas. “Jadi, sekolah itu menjadi ruang membangun kesetiakawanan dalam kebinekaan. Itu nilai yang utama,” katanya. Seiring berjalannya waktu, sekarang yayasan memiliki TK, SD, dan SMP.

Di tempat yang baru, di daerah Cupuwatu, sekolah ini diselenggarakan. Di sana pula tiga bina yang dikenalkan Romo Mangun dilakukan, yakni pendidikan integral yang menyatukan pendidikan formal, nonformal dan informal dalam kesatuan pengelolaan sekolah. Meski mendapat banyak tantangan, namun sekolah ini tetap diperjuangkan. Di sinilah berkembang semangat nasionalisme.

“Nasionalisme itu bukan sebagai pembela saya di luar, tapi hidup bersama rakyat untuk bertumbuh dalam membina tiga bina itu. Kalau tidak, ya menjadi kelompok elitis yang dikritik oleh Romo Mangun,” kata Romo Mulyatno.

Spirit dasar pendidikan yang dikenalkan Romo Mangun adalah pendidikan yang bersatu dengan masyarakat. Demikian juga dengan sekolah. Sekolah menjadi kesatuan dengan masyarakat. “Masyarakat adalah sekolah. Sekolah adalah masyarakat. Sumber belajar paling kaya adalah masyarakat,” katanya.

Maka, menurutnya, sekolah perlu kontekstual dengan kehidupan masyarakat. Untuk itu, arsitektur bangunan sekolah pun disesuaikan.

“Kalau orang lewat sekolah, depan sekolah Mangunan sekarang ini, tahunya itu rumah makan atau homestay atau apapun. Karena memang harapannya, sekolah itu seperti rumah yang membuat anak-anak kerasan, anak-anak bertumbuh, anak-anak menerima semangat hidup dan menjadi mandiri, belajar banyak hal di dalam ruang itu, bisa menyapa masyarakat,” ungkap Romo Mulyatno.

Menurutnya, Romo Mangun pernah mengatakan, kalau mau hidup bertumbuh dengan masyarakat, janganlah membuat pagar-pagar. “Bukan pagar beling, tapi pagar piring. Jadi ya, artinya yang menjadi satpamnya itu ya masyarakat dan saling menyatpami satu sama lain. Dengan demikian di Sekolah Eksperimenal sekarang ada banyak barang diletakkan di luar. Kami tidak membuat pagar. Masyarakat sering mengingatkan, Romo, kok mboten dipageri? Saya mengatakan barang itu lebih bermakna rusak karena dipakai, daripada rusak kehujanan tidak dipakai. Saya akan lebih mudah menangis kepada Tuhan minta bantuan kalau barangnya rusak dipakai, daripada barang rusak disimpan,” tutur Romo Mulyatno.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *