Pesantren Yang Mengusung Agroekologi

Agroekologi merupakan pertanian cinta kasih pada diri sendiri, keluarga dan lingkungan. Sistemnya yang holistik tidak terpisah dan saling terkait mampu saling melindungi dan saling menguatkan pada ekosistem bumi. Pendiri Pesantren Ekologi Ath-Thaariq di Garut, Nissa Wargadipura menyampaikan hal tersebut dalam Seminar Ilmiah “Ekologi: Kepedulian terhadap Lingkungan Hidup dari berbagai perspektif” Di Universitas Sanata Dharma, 28 September 2024.

Dalam kesempatan itu, perempuan yang biasa disapa Umi Nissa menceritakan proses pembelajaran di pesantren yang didirikannya pada tahun 2008 itu.

Kami memang bekerja dari satu buah keaktivisan karena apa? Rasa keterpanggilan terhadap krisis iklim, rasa keterpanggilan dari porakporandanya tanah air,” kata Umi Nissa.

Menurut Umi Nissa, kelahiran Pesantren Ekologi  Ath-Thaariq merupakan  interpretasi dari dialog-dialognya bersama jejaringnya. “Dialog-dialog saya dengan

banyak sekali teman-teman yang bukan hanya Muslim saja tetapi non Muslim,” katanya. Selama ini, Umi Nissa aktif menggumuli isu keberagaman, kemanusiaan dan ekologi. Keaktifannya itulah yang mendorongnya untuk melahirkan pesantren ekologi. “Saya dan kyai, juga teman-teman terlibat di dalam dialog-dialog lintas iman dengan mengusung tema besar kemanusiaan dan ekologi. Jadi ini dasarnya, ada krisis iklim kemudian terdapat keterkaitan antara tindakan manusia yang eksploitatif,” ungkapnya.

Umi Nissa menjumpai setiap agama membicarakan pentingnya merawat lingkungan. Maka, ia terpanggil untuk bersama-sama menarasikan bersama gerakan menangani krisis iklim. “Kami bersepakat menarasikan peran agama-agama di Indonesia dalam menghadapi keberagaman serta krisis iklim,” katanya.

Menurutnya, Pesantren Ekologi  Ath-Thaariq yang digawanginya tak lepas dari nilai-nilai Pancasila yang terkait dengan kebhinekaan, gotong royong, kreasi, iman dan takwa pada Tuhan, berakhlak mulia, mandiri dan bernalar kritis. “Ini adalah salah satu pengalaman penting sebagai model pengembangan pendidikan pesantren ekologi. Ini ada konsep dan gagasan dasar pendidikan, kami memakai Islam sebagai agama rahmatan lil alamin,” katanya.

Konsep rahmatan lil alamin  berarti membawa rahmat bagi alam semesta. “Karunia nikmat yang diberikan kepada makhluk-Nya di seluruh alam semesta. Manusia tidak melihat suku, agama, kemudian tidak melihat gender, perempuan dan laki-laki ya.

Perempuan dan laki-laki itu sama khalifah di muka bumi, baik itu perempuan

muslim atau perempuan nonmuslim. Buat kami mereka adalah khalifah, pemimpin ya,” katanya.

Umi Nissa menyadari, dalam kehidupan, manusia tidak hidup sendiri. Ada banyak ciptaan lain yang mesti dihormati. “Ada alam, ada binatang, ada ular begitu, itu juga harus dihormati sebagai bagian dari semesta. Jadi, di  Ath-Thaariq itu tidak boleh membunuh, tidak boleh membunuh binatang sekalipun itu serangga. Kami ajarkan sebagai bagian dari apa, sebagai bagian dari rahmatan lil alamin itu sendiri,” katanya.

Baginya, rahmatan lil alamin berarti menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, menjaga hak binatang dan tumbuh-tumbuhan. “Jadi, bukan binatang saja tetapi tumbuh-tumbuhan juga dijaga,” ungkapnya. Umi Nissa meyakini rahmat dianugerahkan Tuhan untuk dinikmati secara bersama-sama.

Pesantren yang diampunya menerapkan agroekologi dan itu diajarkan kepada para santrinya. Menurutnya, agroekologi adalah sistem tradisi agraris Nusantara, sistem yang mengurus hulu ke hilir, yang mengelola tata kelola dan tata produksi berbasis kearifan lokal setempat. Karena berada dalam lingkungan Sunda, maka pesantrennya menghidupi budaya Sunda.

Dalam budaya Sunda, menurutnya, ada kearifan lokal terkait pangan dan agraris yaitu  buruan bumi, kebun pekarangan atau Kebun Talun. “Jadi kebun Talun itu adalah hutan kecil miliknya suku Sunda ya. Itu adalah apa segala keanekaragaman hayati ada di sana untuk memenuhi sandang, pangan, papan. Jadi, buruan bumi adalah kebun pekarangan keluarga yang membangun landscape kebun Talun. Ini adalah hutan sosial komunitas atau desa. Jadi, pesantren Ath Thaariq sudah tidak menjadi miliknya keluarga Ath Thaariq. Dia bagian dari landscape kampung. Jadi, boleh diakses untuk kepentingan sosial,” katanya.

Agroekologi, menurutnya, bertujuan untuk membangun sistem landscape konservasi atau pemulihan ekologi yang murah, mudah, berkualitas tinggi dan inklusif. Selain baik untuk memulihkan kerusakan ekologi, juga baik untuk penguatan ekonomi.

Jika hasilnya berlebih atau surplus, produknya bisa dijual.

Agroekologi, menurutnya, menghadirkan tanaman yang tangguh. “Mampu menghadirkan benih lokal yang sangat adaptif, mendatangkan air bukan menghabiskan air ya,” katanya. Menurutnya, tanaman dalam sistem agroekologi, menurunkan benih lokal demokratis, populis dan merujuk pada solidaritas sosial ekonomi. “Di dalam sawah itu ada Eceng, ada Genjer itu dimakan sekampung. Jadi tidak hanya dimakan oleh keluarga Ath Thaariq saja. Sekampung beratus-ratus rumah bisa mengakses. Jadi, ya berasnya milik kami, tetapi eceng gondok itu bisa diakses. Dan itu benar-benar sosialis ya. Jadi, akhirnya masuk pada social solidarity economy. Itu pentingnya berbagi,” katanya.

Bagi Umi Nissa, agroekologi adalah penyelamat pada masa krisis atau musim yang sangat ekstrem termasuk saat pandemi Covid-19 serta meminimalisir sampah sampai 80%. “Jadi, sampah kami adalah sampah organik. Kami membangun laboratorium di 10.000 meter per segi. Jadi, 1 hektar ya, yang dikelola oleh 30 orang, landscape konservasi yang dikerjakan bersama secara gotong-royong. Dan warga pesantren sebagai pembelajar pengelolaan landscape ini tanpa pupuk kimia. Tanpa pupuk kimia, tanpa pestisida, tanpa insektisida sekalipun organik, sekalipun dari bahan-bahan lokal karena kalau membuat insektisida buatan atau organik itu kalau ditujukan untuk membunuh, kami tidak menggunakan ya. Jadi kami juga tidak mencangkul, tidak membajak, tidak mentraktor karena di dalam tanah itu banyak sekali makhluk-makhluk hidup yang membuat unsur haranya sangat kuat ya, sangat tinggi. Jadi, kami mempergunakan maksimal pasukan cacing, bebek, ayam, lembu. Hasil bumi menjadi zerowaste dan mampu membangun gerakan belanja di pekarangan sendiri  tanpa wadah plastik. Ini sebenarnya saya ingin mengatakan, sirkular ekonomi ada di sini,” tuturnya.

Umi Nissa juga menyampaikan, kebun pekarangan pesantrennya merupakan penyedia pangan baik pada masa nyaman maupun masa paceklik baik untuk penghuni, tetangga maupun lingkungannya. Pengelolaanya dengan menerapkan model zonasi. “Kami mempromosikan agroekologi sebagai cara memulihkan alam dan menguatkan ekonomi keluarga dengan terus menanam di lahan garapan dengan sistem bertanam semakin kuat setelah diterapkan sistem zonasi,” katanya. Beberapa zonasi tersebut adalah zona pemukiman, zona sawah, zona seed saving area (penyimpanan benih), zona aquakultur,  zona kebun tanaman panjang, zona kebun tanaman pendek dan zona hutan kecil sebagai rumah burung atau terbangunnya ekosistem. Ia menegaskan, agroekologi adalah sistem pertanian tradisional berbasis kearifan lokal.

Sistem ini memberikan penghargaan pada semua makhluk hidup melalui sistem polikultur, biodiversity bukan monokkultur. “Monokultur itu cuma satu kalau sudah sawit, sawit, kalau sudah teh, teh, kalau sudah pinus, pinus, kalau sudah coklat, coklat. Kami menentang itu. Kami berbasis pada biodiversity atau polikultur. Sistem ini memperbaiki lingkungan dengan sangat cepat melalui cara-cara alami dengan menggunakan manfaat pada diri sendirinya,” katanya.

Ia memberi contoh pemanfaatan tanaman legum yang kaya nitrogen dari akar,  batang, daun sehingga tidak perlu repot memupuk. “Agroekologi juga mengambil sistem hidupnya hutan yang menghidupi dirinya sendiri dan memberikan kehidupan bagi makhluk di dalamnya,” imbuhnya.

Di Pesantren Ath Thaariq, sambungnya, para santri juga belajar bekerja, belajar menanam, belajar memanen dan mengolah tanaman bahkan membangun marketplace. “Kita sudah mengeluarkan berbagai macam produk, kemudian dikemas, setelah itu dijual. Itu bersentuhan dengan digitalisasi,” ungkapnya.

Menurutnya, agroekologi melestarikan benih yang adaptif. “Agroekologi itu adalah pelestari benih warisan, benih yang ditanam setiap tahun secara terus menerus. Benih yang dipilih adalah benih yang terbaik untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Ya, benih yang sudah sangat adaptif di lingkungannya, tidak rewel, tidak merepotkan di dalam pemeliharaan, tangguh sekalipun menghadapi perubahan iklim,” katanya. Para santri biasa menanam labu botol (kukuk), cabai rawait, rosela yang sudah adaptif dari tahun ke tahun.

Agroekologi , menurutnya, juga memproduksi secara masif superfood   dan imun booster. Di antaranya adalah labu siam, pegagan, oyong, dan eceng sawah. Mengasup makanan yang baik akan membuat tubuh cukup nutrisi dan kesehatan reproduksi baik. Mengasup makanan yang bergizi menghindarkan seseorang dari stunting atau kekutangan gizi yang berakibat pada banyak penyakit.

Sistem agroekologi yang diterapkan di pesantrennya berhasil menyediakan bermacam-macam karbohidrat. “Kami tujuh jenis karbohidrat. ada singkong, ada talas, ubi, pisang muda, sukun, jagung, dan nasi,” katanya.

Di pesantrennya, ia dan para santri tidak hanya mengandalkan beras sebagai makanan pokoknya. Dengan keanekaragaman bahan pangan, ia mendorong orang-orang untuk hidup sehat “makanmu adalah obatmu”. Sebagian bahan tadi jika berlebih maka akan dijual. Ada yang diolah terlebih dahulu lalu dikemas dengan menarik. Di pesantrennya, Umi Nissa memproduksi aneka makanan dan minuman olahan.

Umi Nissa dan para santri dalam perawatan tubuhnya tidak memakai sabun pabrikan. Luluran dan masker pakai bahan alami. “Kami mandi tidak memakai sabun. Cukup mandi memakai air itu juga sudah bersih atau hebatnya kami memakai jeruk nipis, dengan garam, dengan temulawak yang sudah dikeringkan,” katanya.

Agroekologi yang dijalankannya berbasis biodiversity atau keanekaragaman hayati. “Pandemi Covid, perubahan iklim menyadarkan pentingnya agroekologi berbasis biodiversity sebagai jalan keluar besar ya dalam membangun kemandirian. Dari biodiversity para pembelajar mengetahui banyak hal dari untuk mengeksplorasi kemanfaatannya membangun keberlanjutan  hidup,” katanya.

Agroekologi, menurutnya, menjadikan pembelajar atau para santri visioner sehingga aktif kreatif dan inovatif. Ketika banyak bahan surplus, mereka membuat selai tomat, ecoprint, tas, teh herbal yang dikemas dengan bakk lalu dijual melalui marketplace. “Karena surplus ya. Sehingga surplus itu dijadikan jualan kami. Ini masuknya nanti ke wirausaha hijau,” katanya. Dengan demikian, agroekologi mampu membangun ekonomi kreatif melalui wirausaha kolektif. Ini menjadi bekal para santri. Ketika pulang, mereka sudah punya bekal untuk berwirausaha.

Menurut Umi Nissa, agroekologi bisa menjadi landasan penting bagi para pembelajar untuk membangun ekonomi solidaritas dan ekonomi kolaboratif. “Ada sosial solidarity economy di masa pandemik dengan benih warisan yang sangat populis mampu menghasilkan satu untuk sekampung,” katanya.

Ummi Nissa menegaskan, agroekologi adalah jalan keluar bagi krisis sosial ekologi di tanah air. “Sejak 2008 yang lalu kami terpanggil untuk memulihkan krisis sosial yang sedang berlangsung. Kebun kami tidak luas, tapi semua ada. Kami menanam semua tanaman,  membiarkan yang tumbuh sendiri dan membuatnya begitu sangat indah ya,” katanya. Agroekologi, menurutnya,  tidak hanya mengangkat persoalan kedaulatan pangan keluarga, namun bisa menjangkau pada persoalan benih, tanah air hingga meluas pada aspek kehidupan rumah tangga, regional, negara sampai skala universal yaitu bumi.

Di Pesantren Ekologi Ath-Thaariq, para santri atau pembelajar menyerap ilmu pengetahuan yang berkelanjutan. “Banyak sekali pengetahuan-pengetahuan mengalir dari sini. Kemudian ada praktik sistem pertanian dan praktik sistem pertaniannya yang alami, tentu saja ada gerakan sosial, yaitu gerakan rural livelyhood, kemudian ada fairfood, pangan yang adil, ada ecological farming atau pertanian berbasis pemulihan ekologi. Ada kedaulatan pangan,” katanya. Agroekologi menerapkan sistem yang holistik dan  tak terpisah. “Agroekologi merupakan pertanian cinta kasih pada diri sendiri, keluarga dan lingkungan. Sistemnya yang holistik tidak terpisah dan saling terkait mampu saling melindungi dan saling menguatkan pada ekosistem bumi,” tegasnya.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *