Isu perubahan iklim bagi Pimpinan Pondok Pesantren Rohdlotul Solichin K.H. Muhammad Abdul Qodir adalah isu yang complicated karena ada interelasi antara iklim dengan pola hidup manusia. Hal itu disampaikan lelaki yang biasa disapa Gus Qodir itu dalam Diskusi Iklim Lintas Agama “Perubahan Iklim Makin Kritis: Umat Beragama Mesti Melakukan Apa?” Di Vihara Mahabudhi Buddhist Center, 11 September 2023. Menurutnya, perubahan iklim itu juga terkait dengan pemimpin dan pola hidup manusia yang kini berkembang misalnya kredit pembelian kendaraan bermotor yang mudah. “Datang bawa KTP dan KK, pulang bawa motor. Artinya, DP nol persen kita itu bisa pulang. Bayangkan kalau kita dimanjakan oleh kenikmatan semu seperti itu,” katanya. Menurutnya, kemudahan fasilitas-fasilitas marketing yang sepertinya menggiurkan ini sangat berpotensi menambah dan memperparah permasalahan iklim kita,” ungkap Gus Qodir.
Dalam Islam, menurutnyak ada hukum yang mengatur 4 hal yaitu fikih ibadah yang mengatur tata peribadahan pada Tuhan; fikih muamalah yang berkaitan dengan hubungan antar sesama baik itu sesama muslim maupun nonmuslim; hukum tentang nikah, perkawinan, perceraian, dan pengasuhan anak; dan hukum tentang warisan.
Gus Qodir melihat satu fiqih lagi yang sudah menjadi konsep, tapi, menurutnya, belum memiliki formula yang jelas, yaitu, fiqih lingkungan atau hukum Islam yang secara spesifik mengatur tentang bagaimana umat Islam berinteraksi, berperilaku dengan alam. Hal ini, menurut Gus Qodir belum menjadi isu yang serius. “Karena kebanyakan kita itu kan jadi pemadam kebakaran. Dulu, empat itu sudah didata, sudah ada formulanya, sudah ada tatacaranya dan macam-macam, tetapi yang fiqih lingkungan itu sepertinya belum, meskipun secara teori, secara literatur, baik Alquran dan hadist itu sudah memberikan pesan yang jelas. Bahwasanya kerusakan yang terjadi di bumi ini murni karena perilaku manusia yang desktruktif, merusak, eksploitasi alam secara besar-besaran. Dan itu baru muncul di era 70-an atau 80-an ke atas, lebih spesifik tahun 90-an ke atas. Fiqih lingkungan ini baru mendapatkan perhatian, karena bayangkan dari abad ke-6 sampai kemudian tahun abad ke-21, sekian panjang,” katanya.
Karena itu, menurutnya, efek yang ditimbulkan akibat kerusakan alam dari perbuatan manusia ini belum tampak nyata atau bahkan mungkin kita masih mengabaikannya. “Jadi, secara jujur kita memang harus mengakui bahwa kita itu salah, perilaku kita. Dan kita memiliki masalah, salah dan bermasalah,” ungkapnya.
Sementara itu, ia menilai peran ulama Muslim dalam mengampanyekan permasalahan iklim masih minim. “Peran-peran ulama dalam hal ini ulama Muslim, dalam mengampanyekan, dalam menyuarakan betapa seriusnya masalah iklim yang akan kita alami itu, masih minim. Jadi, saya akui masih minim,” katanya.
Padahal, menurutnya, pemuka-pemuka agama punya peran yang besar. “Mereka punya massa (baca: umat). Mereka punya inform yang besar yang ketika itu benar-benar dimanfaatkan untuk mengampanyekan awarness kita kepada alam yang makin seperti ini, itu akan secara langsung didengarkan oleh masyarakat. Tetapi kok ya, sejauh ini saya tidak mendapatkan atau ulama-ulama tidak menyampaikan peran itu,” katanya.
Namun, ia gembira, karena ormas-ormas keagamaan sudah memiliki lembaga-lembaga yang bergerak di isu lingkungan. Tokoh-tokoh agama yang bergerak menyuarakan isu lingkungan pun mulai banyak. Menurutnya, masyarakat lebih percaya pada apa yang disampaikan oleh tokoh agama karena masyarakat sekarang agamis.
Namun, Gus Qodir melihat, di sisi lain, kesadaran kaum ulama dalam menyuarakan isu lingkungan ini masih minim, masih kalah dengan isu pemilu, masih kalah dengan isu-isu yang lebih ke dalam misalnya mempertahankan keimanan.
Menurut Gus Qodir, di Indonesia, Kementerian Agama dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah menjalin kemitraan dengan menciptakan program Pesantren Ekologis. “Pesantren Ekologis itu ada sekitar 900 dari sekian puluh ribu pesantren se-Indonesia. Dari 900 itu ada sekitar 180 yang menjadi simpul pergerakan untuk masyarakat sekitarnya,” ungkapnya. Namun, yang menjadi tantangan adalah pemerintah perlu melakukan monitoring dan pendampingan.
Menurut Gus Qodir, menyikapi isu lingkungan tidak bisa serta merta berangkat dari unsur agama. “Karena terkait dengan policy, ya kebijakan dari stake holders kita. Contohlah pemerintah itu punya kekhawatiran (perubahan iklim) sedemikian rupa. Tapi migrasi dari kendaraan berbahan bakar fosil kepada listrik tidak didukung oleh masyarakat atau bahkan oleh perusahaan otomotif,” katanya.
Gus Qodir menggarisbawahi dan mengajak untuk jujur bahwa peran tokoh agama masih belum optmal. “Saya bicara dalam konteks yang paling kecil saja. Yang paling kecil yaitu masyarakat sekitar kita. Masyarakat kita peka, bahwa pesan-pesan keagamaan tentang kewaspadaan perubahan iklim yang sedemikian mengkhawatirkan tidak pernah disampaikan dalam forum-forum kajian, forum-forum pengajian, atau forum-forum yang sebenarnya itu sangat-sangat berperan sekali ketika bisa disampaikan,” pungkasnya.