Meskipun zaman Buddha Gautama, 2500 tahun yang lalu tidak secomplicated seperti saat ini, tetapi Buddha sudah melihat secara jauh apa yang akan terjadi meskipun beliau tidak menyampaikannya secara langsung. Demikian Biksuni Thitacarini Theri dari Sangha Agung Indonesia mengawali pemaparannya dalam Diskusi Iklim Lintas Agama “Perubahan Iklim Makin Kritis: Umat Beragama Mesti Melakukan Apa?” di Vihara Mahabudhi Buddhist Center, 11 September 2023 lalu.
Menurut, Biksuni Thitacarini, Buddha sudah mengajarkan pada para siswanya untuk peduli lingkungan. Di antara begitu banyaknya kotbah yang disampaikan oleh Buddha di antaranya yaitu “Jadilah seperti lebah, yang mengambil madu tanpa merusak bunganya!” “Demikian juga kita manusia tentu kita hidup di bumi ini tidak terlepas dari lingkungan. Kita membutuhkan lingkungan, butuh sumber daya yang ada di mana kita hidup, tetapi bagaimana kita jangan sampai merusak lingkungan itu sendiri untuk kepentingan pribadi kita,” kata Biksuni Thitacarini. Menurutnya, Buddha selalu mengajarkan hal yang aplikatif, yang bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Biksuni menyayangkan tak sedikit orang yang lebih suka protes kepada pemerintah, tapi tidak melakukan kebiasaan merawat lingkungan dari hal kecil atau diri sendiri, misalnya, tentang mengelola sampah. Hal itu terlihat dengan makin menggunungnya sampah, salah satunya di Bantar Gebang. Tempat itu bahkan sudah tidak sanggup menampung sampah, hingga pemerintah DKI Jakarta harus menambah lahan baru lagi.
Buddha, lanjutnya, juga meminta kepada para bhiku dan bhikuni untuk tidak menebang dan merusak pohon. Alih-alih membolehkan membuang sampah sembarangan di sungai atau laut, menurut Biksuni Thitacarini, Buddha bahkan tidak membolehkan para bhiku dan bhikuni meludah sembarangan di tempat yang ada airnya. “Karena Buddha tahu, pada saat itu sungai-sungai dan sebagainya itu adalah sumber kehidupan,” katanya. Demikian juga dengan air bekas cuci tempat makan para bhiku-bhikuni tidak boleh dibuang sembarangan, tidak boleh dibuang di tempat yang ada air.
“Saat ini kami para bhiku dan bhikuni sebenarnya kalau mengikuti kebiasaan zaman Buddha Gautama dulu, pada saat itu, India kuno, bulan Juni sampai Oktober, sampai November, itu adalah musim hujan. Di mana, Buddha tidak mengijinkan para bhiku dan bhikuni melakukan perjalanan selama musim hujan tersebut, yang kita kenal dengan istilah vassa. Sama juga saat ini kami juga sedang menjalani masa vassa. Kalau tidak bener-bener penting, kami tidak melakukan perjalanan. Nah, ini tujuannya apa? Agar para bhiku dan bhikuni tidak menginjak tanaman, rumput-rumputan, benih-benih, hewan-hewan kecil yang bertumbuh, yang hidup, banyak berkembang di musim hujan,” ujar Biksuni Thitacarini.
Dalam hal pakaian, para biarawan-biarawati Buddha juga memperhatikan aspek ekologis. Selain jumlah pakaiannya tak banyak, mereka juga mengelola pakaian mereka sedemikian rupa supaya ekologis. “Bagaimana cara mengorganisir pakaian yang kami pakai ini? Dari jubah yang masih utuh kita kait. Kalau sudah sobek ditambal. Kalau benar-benar sudah tidak bisa ditambal dijadikan alas tidur. Kalau sudah tidak bisa dijadikan alas tidur, jadikan keset kaki. Kalau tidak bisa dijadikan keset kaki, dihancurkan jadi bahan bangunan. Ikut dicampur,” ungkapnya.
Semua praktik-praktik ekologis tersebut sudah diajarkan Buddha pada 2500 tahun yang lalu, dimulai dari hal terkecil yang bisa dilakukan. “Bayangkan hal kecil ini kalau bener dari kita pribadi per pribadi bisa melakukannya dengan baik, tidak perlu berteriak kepada yang lain. Buktinya saat ini pemerintah sudah melarang pembuangan sampah sembarangan, itu (praktik buang sampah) masih dilakukan. Tapi begitu banjir yang diteriaki pemerintah. Padahal sebab banjir itu sebenarnya adalah kita sendiri,” katanya.
Menurut Biksuni Thitacarini, Buddha juga sudah melihat kalau makanan bisa berdampak pada lingkungan. “Buddha sudah melihat bagaimana makanan bisa menimbulkan efek rumah kaca itu sendiri,” katanya.
Buddha menganjurkan para siswanya menjadi vegetarian. “Memang Buddha tidak pernah secara langsung mengharuskan para siswa untuk bervegetarian. Tidak. Kenapa? Karena kalau Buddha mengharuskan siswanya pada masa itu untuk bervegetarian, ini akan bergesekan dengan berbagai kalangan. Backgroundnya banyak berbeda,” katanya.
Namun, menurutnya, Buddha menekankan aturan makan daging itu sendiri. Di antaranya adalah, yang pertama, tidak boleh melihat secara langsung makhluk tersebut dibunuh. Yang kedua, tidak mendengar kalau makhluk itu dibunuh untuk dipersembahkan kepada kita.
Biksuni Thitacarini pun mengatakan, bahwa ada penelitian yang memperlihatkan bahwa emisi gas rumah kaca salah satunya diakibatkan sektor peternakan. Peternakan menghasilkan gas metana, dinitrogen oksida, karbon dioksida, dan amoniak yang dihasilkan oleh kotoran hewan yang mengakibatkan efek rumah kaca. Semua itu bisa menimbulkan hujan asam.
Biksuni Thitacarini pun berandai-andai. “Kalau dari lingkungan kecil yang kita makan adalah sayur mungkin, istilah ekonomi kan ada banyak permintaan, akan ada banyak produksi. Jika kita bisa menahan diri dari makanan saja, berapa banyak peternakan yang harus mengurangi produksi mereka dan secara tidak langsung itu bisa mengurangi efek dari rumah kaca dari ekstraksi hewan. Ini hal sederhana yang bisa kita mulai dari diri kita sendiri,” kata dia.
Di vihara tempatnya tinggal, Biksuni Thitacarini pun menerapkan setiap ada kegiatan, makanan yang disajikan adalah makanan vegetarian. “Bahkan dalam keseharian itu makanan kami adalah makanan vegetarian. Lalu, ketika ada acara memang sudah sangat jarang kami menggunakan bungkusan-bungkusan, lebih langsung piring disajikan. Juga demikian, sudah tidak memakai minuman kemasan,” katanya.
Biksuni Thitacarini mengharap, kita semua memulai dari diri sendiri, bukan semata-mata menyalahkan pemerintah. “Mari kita lakukan dari bawah, bersama-sama dari hal kecil, kenapa? Karena pemimpin-pemimpin yang saat ini duduk di atas itu juga berangkat dari rumah. Berangkat dari rumah,” katanya. Ia pun mengibaratkan, pesawat bisa terbang tinggi karena ada landasannya. “Begitu juga jika kita ingin menciptakan hal yang besar, mari kita mulai dari hal kecil, karena semua pemimpin yang ada di atas saat ini adalah berangkat dari rumah. Ini sudah diajarkan oleh Buddha 2500 tahun yang lalu. Jadi, bagaimana kita bisa memulai dari hal-hal kecil,” imbuhnya.
Meskipun demikian, ia mengapresiasi karena kapasitasnya, ada yang menyampaikan kritik pada pemerintah supaya serius memperhatikan lingkungan. “Saya sangat mengapresiasi bagi mereka yang bisa berteriak keluar tapi juga sangat dibutuhkan bagi kita yang tidak mampu berteriak keluar mari kita mulai dari hal-hal kecil ini,” pungkasnya.