Kardinal Suharyo Bicara tentang Trafficking

“Saya pertama-tama mau memperkenalkan diri bahwa saya adalah orang yang baru saja bertobat”. Itu pengakuan Kardinal Ignatius Suharyo yang terlambat mengenal dan ikut terlibat di dalam usaha untuk menghentikan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Pengakuan itu disampaikannya dalam Webinar “Bincang Anti Perdagangan Orang Seri Ke-3: Kalau Begitu, Apa yang Diperkuat dan Dilaksanakan Bersama-sama?”, 7 Mei 2024. “Maksud saya, sampai waktu kami ketamuan serombongan para pejuang anti perdagangan orang, ada ibu Elga (Elga Sarapung dari Institut DIAN/Interfidei), ada Mbak Sonya-wartawan (Sonya Hellen Sinombor, wartawan Harian Kompas), saya sebetulnya, terus terang, jujur mengakui saya belum mempunyai gambaran apapun mengenai perdagangan manusia,” kata Kardinal Suharyo.

Usai mendengar kisah kejahatan perdagangan orang dari para tamunya, Uskup Agung Keuskupan Agung Jakarta itu pun berjanji untuk melakukan dua hal. “Yang pertama, saya akan menulis surat gembala menjelang Paskah tahun 2023. Dan itu sudah saya tulis dan rupa-rupanya orang pada heran, kok ini surat gembala berbicara mengenai tindak pidana perdagangan orang. Ternyata rupa-rupanya banyak ditanggapi. Yang kedua, yang saya lakukan adalah, saya berjanji ketika ada pertemuan para pastor se-Keuskupan Agung Jakarta, saya akan mengundang tim. Pada waktu itu yang datang adalah Suster Irena, Ursulin, dengan beberapa teman, termasuk salah satu penyintas dihadirkan untuk berceritera di hadapan para imam seluruh Keuskupan Agung Jakarta,” ungkap Kardinal Suharyo.

Sejak saat itu, lanjutnya, ia mendengar kalau Suster Irena Handayani, OSU, Ketua Talitha Kum Keuskupan Agung Jakarta mendapat banyak undangan dari paroki-paroki untuk sosialisasi masalah TPPO.

Kardinal Suharyo pun bercerita kalau mengundang perwakilan dari keuskupan-keuskupan di Regio Jawa. “Langkah berikutnya, kami mengundang wakil-wakil dari Keuskupan yang ada di Jawa: Jakarta, Bandung, Bogor, Purwokerto, Semarang, Surabaya, Malang, kami undang ke Keuskupan Agung Jakarta untuk menerima, belajar bersama-sama mengenai TPPO itu,” katanya.

Kardinal Suharyo juga mendukung gerakan komunitas-komunitas yang melawan TPPO. “Karena saya mulai bergaul dengan lebih banyak komunitas, saya sendiri tidak bisa berbuat banyak selain mendukung kalau ada acara-acara yang berkaitan dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Kardinal Suharyo pun bercerita tentang perjumpaannya dengan sebuah komunitas.

“Yang terakhir saya bertemu dengan Padma Indonesia. Mereka mengatakan mau pergi ke Larantuka untuk merayakan yang namanya Semana Santa, pekan suci. Waktu itu saya memprovokasi tamu itu. Saya bertanya apa buah dari Semana Santa, ibadah-ibadah yang sudah sangat lama itu di, dilakukan oleh umat Katolik di wilayah itu dengan pendatang-pendatang yang datang dari berbagai macam tempat di Indonesia? Nah ketika jawabannya tidak jelas, saya mengatakan, mungkin terlalu provokatif, saya mengatakan, lah kalau hanya ibadah seperti itu padahal di wilayah NTT, termasuk di Larantuka ada banyak korban perdagangan orang, apakah itu berarti ibadah tidak berbuah di dalam kehidupan masyarakat? Kemudian mereka datang ke sana, pergi ke sana membuat segala macam kegiatan, antara lain untuk mendata saudara-saudara di sana. Dan salah satu yang dikatakan kepada saya ketika mereka selesai, tidak sedikit orang yang tidak mau didata, entah karena apa.” katanya.

Dengan merujuk pada buku “Arah Pastoral Mengenai Perdagangan Manusia”, Kardinal Suharyo mengatakan bahwa perdagangan manusia adalah kebiadaban. “Nah, ketika saya menangkap kata ini “kebiadaban”, saya ingat akan satu teori mengenai keadaban publik. Menurut teori itu, keadaban publik disangga oleh tiga pilar. Yang pertama, negara. Yang kedua, bisnis. Yang, yang ketiga masyarakat warga,” ungkapnya.

Menurutnya, penanggung jawab utama untuk membangun, memastikan kesejahteraan bersama termasuk tidak adanya perdagangan orang adalah negara. “Apakah tanggung jawabnya bisa dijalankan apa tidak, itu soal lain,” katanya.

Tentang bisnis, menurutnya, bisnis mestinya dilandaskan pada fairness. Tentang masyarakat warga, menurutnya, nilai yang perlu dipikirkan adalah kepercayaan.

Dalam kesempatan itu, Kardinal Suharyo menyoroti pentingnya peran masyarakat warga. Tentang itu ada 3 pilar yang harus disasar oleh masyarakat warga.

Pertama, negara. “Apa yang bisa dilakukan atau kita lakukan supaya negara sungguh-sungguh ikut bertanggung jawab, bukan hanya ikut, merasa sadar, yakin, bahwa negaralah penanggung jawab utama untuk memastikan kesejahteraan bersama itu? Apakah piranti, struktur dan sebagainya sudah ada apa belum yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang ini?” imbuhnya. Hal itu tidak hanya ditujukan pada pemerintah pusat, namun juga pada pemerintah daerah misalnya di Larantuka yang korban TPPO-nya cukup banyak. “Bukan hanya pemerintah pusat, tetapi pemerintah daerah. Dan tentu saja berkaitan dengan itu, saya juga bertanya, Gereja sudah memberi wadah atau belum untuk gerakan seperti ini?” Menurut informasi yang didapatnya, sudah ada kerja sama antara Keuskupan Larantuka, pemerintah daerah setempat, dan NGO.

Yang kedua, adalah  masyaraka bisnis. “Kita semua tahu, salah satu ciri dari sistem ekonomi, sistem bisnis sekarang adalah, maaf menggunakan kata ini, rakus. Jadi, bukan hanya apa, tambang yang ditambang secara ilegal, bukan hanya dagangan yang dipalsu, tetapi manusia pun ikut diperdagangkan. Dan ini pasti menyangkut sistem ekonomi, sistem sosial, sistem budaya yang sangat ruwet. Tetapi sejauh dapat saya ikuti, sekali lagi kalau saya salah saya senang, wilayah konsumen, wilayah perdagangan, wilayah bisnis yang katakanlah tanpa etika hanya untuk keuntungan yang sebesar-besarnya ini, apakah sudah cukup mendapatkan perhatian? Karena pengaruhnya besar sekali. Kalau bisnis mempunyai etika, lalu dengan sendirinya, saya bayangkan Tindak Pidana Perdagangan Orang itu juga akan berkurang. Tetapi karena bisnis sudah tidak mengenal etika atau moral, moral bisnis, nah itulah yang terjadi, segala macam digunakan. Segala macam termasuk manusia yang harus dihormati, ternyata dianggap barang. Istilah yang dipakai di dalam buku ini (Arah Pastoral Mengenai Perdagangan Manusia) adalah komodifikasi manusia,” katanya.

Ketiga adalah masyarakat warga. “Salah satu yang dibicarakan di sini adalah masyarakat warga tidak sadar bahwa bahaya perdagangan orang itu ada di sekitar mereka. Jadi, kalau wilayah-wilayah khusus tadi sudah disebut, wilayah Jakarta, saya merasa tidak, jarang sekurang-kurangnya disebut. Tetapi sangat banyak. Yang dilakukan sangat sedikit. Dan di dalam hal itu, saya merasa bahwa, sebagai pelayan Gereja, saya merasa ikut bertanggung jawab untuk ikut berbicara sekurang-kurangnya ikut berbicara kalau ada kesempatan dan mendukung dengan berbagai macam cara, termasuk dana karena masyarakat itu kalau diminta untuk mengumpulkan dana untuk bencana itu gampang. Tetapi yang menyedihkan adalah kalau bencana itu bencana kemanusiaan, mereka tidak menangkap maksudnya apa itu,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu, Kardinal Suharyo menekankan pentingnya media dalam menanamkan kesadaran, sosialisasi mengenai perdagangan orang. “Kalau ada karangan mengenai perdagangan manusia, pasti, pasti saya baca dan saya ceriterakan kepada teman-teman saya,” katanya.

Kardinal juga membawa isu TPPO dalam Sidang Konferensi Waligereja Indonesia.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *