
Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) merayakan Dies Natalis ke-66 di Aula Djajaseputra Unika Atma Jaya, Jakarta, 31 Mei 2024. Beberapa acara pada perayaan tersebut adalah orasi teologi dan peluncuran buku. Dalam kesempatan itu Mgr Adrianus Sunarko, OFM menyampaikan orasi teologi “Berjalan Bersama Membangun Martabat Kemanusiaan” yang terkait dengan Deklarasi “Dignitas Infinita” tentang Martabat Manusia yang dirilis Tahta Suci Vatikan melalui Dikasteri Ajaran Iman pada 2 Mei 2024 lalu.
Berikut ini adalah orasi teologi yang disampaikan Mgr Adrianus Sunarko, OFM.
Selamat malam semuanya. Sudah malam ini ya. Setelah makan malam mudah-mudahan masih ada energi untuk mendengarkan. Saya nggak tahu siapa lebih capek, yang membaca atau yang mendengarkan ya. Saya diminta untuk berbicara tentang martabat manusia berdasarkan spiritualitas Katolik. Saya sangat terbantu karena belum lama ini Vatikan mengeluarkan dokumen yang namanya Dignitas Infinita yang memang persis berbicara tentang martabat manusia itu. Jadi saya tinggal menyampaikan apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik tentang martabat manusia itu.
Pada tanggal 15 Maret 2019, Dikasteri Ajaran Iman Vatikan memutuskan untuk merancang sebuah naskah tentang martabat manusia serta menjabarkan makna dan implikasi sosial, politik dan ekonomisnya berdasarkan antropologi Kristiani. Setelah melalui berbagai proses diskusi dengan melibatkan para ahli, naskah yang disiapkan dilaporkan kepada Paus Fransiskus dalam audiensi 13 November 2023. Paus Fransiskus pada dasarnya menyetujui usulan naskah tersebut, sekaligus beliau berpandangan bahwa perlu ditambahkan hal-hal berikut berkaitan dengan tema ini: kemiskinan, situasi para migran, kekerasan terhadap perempuan, perdagangan manusia, perang dan lain-lain. Setelah dilengkapi dengan hal-hal tersebut, naskah tentang martabat manusia itu disetujui oleh Paus Fransiskus dalam audiensi dengan Kardinal Manuel Fernandez sebagai Ketua Dikasteri dan Mgr Armando Matteo pada tanggal 25 Maret 2024.
Dokumen yang diberi judul Dignitas Infinita (Martabat yang Tak Terbatas) ini terdiri dari empat bagian utama. Pada tiga bagian pertama diuraikan prinsip fundamental premis teoritis serta sejumlah klarifikasi pemahaman agar tidak terjadi kebingungan dalam hal penggunaan istilah martabat. Pada bagian terakhir disampaikan sejumlah bentuk-bentuk pelanggaran berat terhadap martabat manusia.
Momen yang dipilih untuk penerbitan dokumen ini adalah kenangan akan 75 tahun Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia oleh PBB pada 10 Desember 1948. Momen ini dilihat sebagai kesempatan untuk mewartakan lagi keyakinan Gereja bahwa semua manusia yang dua dasar ini diciptakan Allah dan ditebus oleh Kristus, harus diakui dan diperlakukan dengan hormat dan kasih sesuai dengan martabat luhurnya. Demikian pula Gereja ingin membuat klarifikasi tentang pandangannya berhadapan dengan sejumlah paham yang dari sudut pandang Gereja dipandang keliru tentang martabat manusia.
Guna menghindari salah pengertian yang dapat membawa akibat buruk bagi upaya memperjuangkan pembelaan terhadap martabat manusia, perlu dibedakan antara martabat ontologis di satu pihak, apa ini ontologis nanti pokoknya dengar sajalah ya, dengan martabat moral, sosial dan eksistensial di lain pihak. Pembedaan yang sangat penting maksudnya demikian. Yang paling penting adalah martabat ontologis yang dimiliki melulu karena seseorang ada, dikehendaki, diciptakan dan dikasihi Allah.
Martabat manusia ontologis itu tidak terhapuskan dan selalu berlaku dalam segala situasi. Adapun misalnya martabat moral manusia menunjuk pada bagaimana seseorang mewujudkan kebebasannya. Dan dalam kenyataannya, manusia dapat dan de facto seringkali bertindak melawan suara hatinya. Artinya bertentangan dengan martabat sebagai manusia yang diciptakan dan dikasihi Allah dan dipanggil untuk mengasihi sesama. Dalam arti itu seseorang dapat kehilangan martabat moralnya, tetapi martabat ontologis tidak pernah dapat dibatalkan.
Martabat sosial menunjuk pada kualitas keadaan hidup manusia. Orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem kehilangan martabat sosialnya, tetapi tidak kehilangan martabat ontologisnya.
Martabat eksistensial menunjuk pada kualitas hidup yang lebih menyeluruh. Seseorang dapat hidup dalam kecukupan material, tetapi misalnya tidak damai, tidak bahagia, kehilangan harapan, sakit keras-serius, mengalami kekerasan, kecanduan patologis. Orang seperti itu kehilangan martabat eksistensialnya, tetapi juga mereka tetap tidak kehilangan martabat ontologisnya sebagai manusia, dan karena itu harus dihormati.
Dua, dasar biblis
Tentu saja dalam Kitab Suci, kita tidak temukan kata martabat manusia, tetapi sejumlah teks berikut disampaikan sebagai dasar untuk pemahaman kita.
Yang pertama tentu saja adalah kitab Kejadian1:26-27, kisah penciptaan. Manusia dari perspektif Kristiani memiliki martabat yang inheren karena ia diciptakan dalam rupa dan gambar Allah. Menurut teks ini, manusia tidak boleh diredusir pada unsur material saja. Demikian pula konsep citra Allah tidak menunjuk hanya pada jiwa dan kemampuan intelektual, tetapi pada martabat sebagai laki-laki dan perempuan.
Dalam relasi kesetaraan dan kasih laki-laki dan perempuan, mereka menjadi wakil Allah di dunia dan dipanggil untuk mengasihi sesama dan merawat alam ciptaan. Diciptakan menurut gambar dan citra Allah berarti bahwa ia memiliki nilai yang suci, mengatasi segala perbedaan seksual, sosial, politik, kultural dan religius. Dignitas Infinita kemudian menderetkan sejumlah teks dari Perjanjian Lama yang menegaskan, nah ini saya kira salah satu tekanan yang diberikan, bahwa pembelaan terhadap martabat manusia harus diberikan terutama bagi mereka yang tertindas, miskin, dan menderita.
Kitab Keluaran berbicara tentang Allah yang mendengarkan seruan orang miskin, memperhatikan kesengsaraan umat-Nya dan merawat mereka yang tertindas. Kitab Ulangan 24:17 menyerukan penghargaan martabat manusia bagi anak yatim, janda dan orang asing.
Khotbah para nabi: Amos, Hosea, Yesaya, Mikha, Yeremia mengecam ketidakadilan. Amos mengutuk penindasan orang miskin. Yesaya mengutuk mereka yang merampas hak orang miskin. Bahkan kitab-kitab sastra Kebijaksanaan menyamakan penindasan orang miskin dengan pembunuhan. Demikian pula kitab Mazmur mengingatkan bahwa sikap religius pada Allah harus diwujudkan dalam pembelaan pada mereka yang lemah dan membutuhkan.
Dalam Perjanjian Baru, kita membaca tentang Yesus yang mewahyukan martabat orang yang miskin dan kekurangan. Sepanjang pelayanan publik-Nya, Ia menegaskan, nilai dan martabat semua yang adalah citra Allah melampaui status sosial dan lingkungan eksternalnya. Yesus membongkar batas-batas budaya dan kultis, memulihkan martabat mereka yang ditolak dan dipandang sebagai orang-orang pinggiran seperti pemungut pajak, perempuan, anak-anak, orang kusta, orang sakit, orang asing dan para janda.
Yesus juga dilukiskan sebagai Gembala yang memperhatikan dan mencari satu saja domba yang hilang, mengidentifikasi diri dengan mereka yang kecil. Orang kecil di sini tentu bukan hanya anak-anak, tetapi orang lemah, tidak berarti orang buangan, tertindas, miskin, bodoh, sakit dan lain sebagainya. Berbuat baik kepada mereka tanpa memperhatikan ikatan darah dan agama adalah satu-satunya kriteria penghakiman terakhir. Sedikit gambaran tentang Kitab Suci!
Bagian ketiga, pokok-pokok ajaran tentang martabat manusia dari Dignitas Infinita
Gereja mengajarkan martabat yang setara bagi semua tanpa memandang kondisi dan kualitas hidup mereka. Penegasan ini didasarkan pada tiga keyakinan berikut yang memandang martabat manusia sebagai yang teramat luhur dan mengandung secara intrinsik tuntutan-tuntutan yang melekat padanya.
Keyakinan pertama, kembali lagi, martabat pribadi manusia berasal dari kasih Sang Pencipta yang menerakan citra-Nya pada setiap orang. Sang Pencipta memanggil setiap pribadi untuk mengenal dan mencintai Dia, hidup dalam relasi perjanjian dengan Dia, sekaligus juga memanggil setiap orang untuk hidup dalam persaudaraaan dan damai dengan semua orang lain. Martabat mengacu tidak hanya pada jiwa, tetapi pada pribadi sebagai kesatuan tak terpisahkan antara badan dan jiwa.
Keyakinan kedua, tadi penciptaan, martabat pribadi diwahyukan secara penuh ketika
Bapa mengutus Putra-Nya, Yesus Kristus menjadi Manusia yang utuh. Dalam misteri inkarnasi, Putra Allah meneguhkan martabat tubuh dan jiwa yang membentuk manusia. Melalui inkarnasi, Yesus Kristus meneguhkan bahwa tiap pribadi memiliki martabat luhur, semata-mata dengan menjadi bagian dari komunitas manusia. Hal yang penting atau kebaruan yang kiranya dibawa Yesus di sini adalah pengakuan martabat setiap pribadi, khususnya bagi mereka yang dipandang tidak berharga, miskin, rendah hati, dibenci, yang menderita tubuh dan jiwa dan sebagainya. Prinsip baru ini bahwa mereka yang lemah dicemooh, menderita bahkan sampai kehilangan figur manusiawiya, justru harus dihormati dan dikasihi, mengubah wajah dunia.
Ia memberi semangat dan dukungan bagi institusi-institusi yang memelihara mereka yang dalam keadaan tidak menguntungkan, bayi yang ditinggalkan, yatim piatu, orang tua yang ditinggalkan, sakit mental dan lain sebagainya.
Keyakinan ketiga, berkaitan dengan arah dan tujuan akhir kehidupan manusia. Kebangkitan Kristus menyingkapkan aspek lebih lanjut dari martabat manusia, bahwa manusia dipanggil menuju persatuan dengan Allah untuk selamanya. Martabat manusia terkait bukan hanya dengan awal yang berasal dari Allah, tetapi juga dengan tujuan akhirnya, yaitu persahabatan dengan Allah dalam pengenalan dan kasih akan Dia. Disadari bahwa perwujudan martabat manusia berciri dinamis. Manusia sebagai citra Allah dipercayakan pada kebebasan manusia sedemikian sehingga keserupaan pribadi dengan Allah dapat tumbuh. Setiap orang dipanggil untuk mewujudkan lingkup martabat ontologis tadi pada tingkat-tingkat eksistensial, moral dan sosial.
Sebagai yang diciptakan sebagai citra Allah, pribadi manusia tidak pernah kehilangan martabatnya. Dosa dan kesalahan dapat melukai dan menyembunyikan martabat manusia, tetapi ketika ia bertindak bertentangan dengan martabatnya, tetapi dosa, juga tidak pernah dapat membatalkan fakta bahwa manusia diciptakan sesuai dengan gambar dan citra Allah.
Empat, martabat manusia dasar dari hak asasi dan kewajiban
Dokumen mengutip penegasan Paus Fransiskus bahwa dalam kultur modern, referensi terdekat dari prinsip martabat manusia adalah Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM). Yohanes Paulus II juga menyatakan bahwa DUHAM merupakan tonggak pencapaian dari perjalanan umat manusia yang panjang dan sulit, salah satu ungkapan tertinggi dari suara hati manusia.
Beberapa prinsip esensial berikut perlu diperhatikan agar makna penting dari DUHAM itu tidak diabaikan.
Pertama, hormat, sekali lagi yang sangat ditekankan oleh dokumen ini, tanpa syarat pada martabat manusia. Ada yang lebih suka memakai istilah martabat pribadi dan hak tiap pribadi daripada martabat manusia. Tetapi pribadi di sini dimengerti hanya sebagai yang mampu berargumentasi dengan akal budi, martabat dan hak lalu diturunkan dari kemampuan individu untuk mengetahui dan mengambil tindakan bebas. Tetapi tidak semua orang memiliki hal itu. Anak yang belum lahir, orang tua yang bergantung pada orang lain, kaum disable dalam konsep itu tidak memiliki martabat pribadi. Sebaliknya, Gereja menegaskan bahwa martabat setiap manusia bersifat intrinsik, berlaku dalam segala situasi. Pengakuan martabat manusia tidak bersifat kontingen dan tergantung pada penilaian atas kemampuan untuk mengetahui atau bertindak dengan bebas. Hanya dengan mengakui ciri intrinsik dan tak terhapuskan martabat manusia, kita dapat menjamin dasar yang aman dan kuat untuk perwujudannya.
Tanpa pendasaran ontologis, pengakuan martabat manusia bersifat labil, tergantung pada berbagai penilaian yang beragam dan ambigu. Satu-satunya persyaratan untuk berbicara tentang martabat yang inheren dalam pribadi manusia, tadi istilahnya martabat ontologis, adalah keanggotaan mereka sebagai manusia, entah dia bisa berargumentasi dengan baik, berpikir atau tidak, entah dia disable atau tidak, dia tidak kehilangan martabatnya.
Kedua, dasar objektif dari kebebasan manusia.
Konsep martabat manusia kadang disalahgunakan untuk membenarkan pandangan sewenang-wenang tentang hak-hak baru yang seringkali bertentangan dengan hak fundamental untuk hidup. Yang dimaksud di sini adalah tuntutan bahwa kemampuan mengekspresikan setiap preferensi individual atau keinginan subjektif harus dijamin. Perspektif ini mengidentifikasi martabat manusia dengan kebebasan individualistik dan tertutup yang mengklaim untuk memaksakan keinginan dan kecenderungan subjektif pribadi menjadi hak-hak yang harus dijamin dan didukung oleh komunitas. Tetapi demikian dokumen ini menegaskan, Gereja berpandangan bahwa martabat manusia tidak dapat didasarkan pada standar yang individualistik seperti itu. Tidak dapat juga diidentifikasikan dengan kenikmatan psikofisikal individual. Pembelaan terhadap martabat manusia didasarkan pada tuntutan konstitutif kodrat manusia yang tidak tergantung pada kesewenangan individual dan pengakuan sosial. Karena itu, kewajiban-kewajiban yang lahir dari pengakuan akan martabat orang lain dan hak-hak terkait yang lahir darinya memiliki isi yang konkret dan objektif berdasarkan kodrat bersama kita sebagai manusia.
Ketiga, struktur relasional pribadi manusia.
Martabat manusia membantu mengatasi perspektif sempit dari kebebasan yang mengacu pada diri sendiri dan individualistik yang mengklaim dapat menciptakan nilai-nilai sendiri tanpa memperhatikan norma objektif tentang yang baik dan tentang relasi kita dengan makhluk hidup lain.
Kita perlu mewaspadai kecenderungan mereduksi martabat manusia pada kemampuan untuk menentukan identitas dan masa depan seseorang terlepas sama sekali dari orang lain serta tanpa memperhatikan keanggotaan seseorang dalam komunitas manusia.
Yohanes Paulus II mengingatkan bahwa kebebasan harus ditempatkan dalam konteks pelayanan dan pemenuhannya melalui pemberian diri dan keterbukaan pada yang lain. Bila kebebasan dijadikan absolut secara individualistik, makna originalnya menjadi kosong. Martabat manusia meliputi juga kemampuan untuk menanggung kewajiban satu sama lain.
Kekhasan manusia tadi juga tidak boleh membuat kita lupa akan kebaikan ciptaan lain. Nah, ini saya kira dimensi baru tentang ekologi. Mereka, ciptaan itu ada bukan hanya demi kegunaannya bagi manusia, tetapi juga memiliki nilainya sendiri. Konsep tentang martabat memang hanya untuk manusia tetapi pada saat yang sama kebaikan dari ciptaan yang lain juga harus diakui.
Kita dipaksa untuk menyadari bahwa hanya antroposentrisme yang terbataslah yang mungkin. Manusia tak mungkin hidup tanpa ciptaan lain. Maka menjadi bagian dari martabat manusia ialah kewajiban untuk memelihara lingkungan, mengupayakan ekologi manusiawi yang menjamin eksistensi semua ciptaan.
Keempat, kebebasan manusia perlu dibebaskan dari berbagai pengaruh negatif. Dokumen mengingatkan pada kita pada fakta bahwa dengan kebebasan, kita seringkali memilih kejahatan daripada kebaikan. Kebebasan adalah anugerah berharga dari Allah bahkan bila Allah menarik kita pada-Nya. Dengan rahmat Ia melakukannya tanpa memperkosa kebebasan kita. Salah besar berpikir bahwa dengan memisahkan diri dari Allah, kita dapat menjadi lebih bebas dan merasa lebih bermartabat. Keliru juga bila kebebasan mengimajinasi diri sebagai yang bebas dari referensi eksternal dan memandang setiap relasi dengan kebenaran yang mendahuluinya sebagai ancaman. Tidak realistis memandang kebebasan secara abstrak, bebas dari segala pengaruh konteks dan keterbatasan. Perwujudan kebebasan pribadi menuntut kondisi ekonomis, sosial, yuridis, politis dan budaya tertentu yang kadang tidak terpenuhi. Dalam arti itu sejumlah individu menikmati kebebasan lebih dari yang lain. Kebebasan yang riil dan historis seringkiali harus dibebaskan oleh karena seringkali disalahgunakan.
Bagian terakhir, beberapa pelanggaran berat terhadap martabat manusia berdasarkan prinsip-prinsip itu
Bagian yang lebih konkret tentang hal ini Konsili Vatikan II sudah memberi sejumlah petunjuk tentang pelanggaran berat terhadap martabat manusia. Semua bentuk serangan terhadap apa yang namanya hidup, pembunuhan, genosida, aborsi, euthanasia, bunuh diri secara sengaja, semua pelanggaran atas integritas manusia seperti mutilasi, penyiksaan fisik, tekanan psikologis melanggar martabat manusia.
Vatikan II mencela segala bentuk serangan melawan martabat manusia seperti kondisi hidup yang tidak manusiawi, pemenjaraan sewenang-wenang, deportasi, perbudakan, prostitusi, perdagangan perempuan dan anak-anak, kondisi kerja yang merendahkan di mana orang diperlakukan semata sebagai sarana untuk mendapatkan keuntungan dan tidak sebagai pribadi yang bebas dan bertanggung jawab.
Hukuman mati juga melanggar martabat setiap orang yang tidak dapat dihapus apapun keadaannya. Penolakan tegas terhadap hukuman mati memperlihatkan betapa pengakuan akan martabat manusia sungguh jauh. Kita perlu sungguh menegaskan kembali martabat mereka yang dipenjara seringkali dalam kondisi yang tidak layak. Bahkan bila seseorang melakukan kejahatan serius, martabatnya sebagai manusia tidak hilang. Maka, praktik penyiksaan sepenuhnya bertentangan dengan martabat manusia.
Dokumen kemudian mendata sejumlah bentuk-bentuk pelanggaran berat terhadap martabat manusia yang lain.
Pertama adalah drama kemiskinan itu sendiri. Hidup dalam kemiskinan yang ekstrem, hidup dalam kemiskinan seperti itu adalah juga hidup bertentangan dengan martabat manusia.
Kedua, perang. Perang merupakan tragedi yang menyangkal martabat manusia baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Semua perang bertentangan dengan martabat manusia, tidak memecahkan masalah, tetapi hanya memperbesarnya. Banyak orang sipil tak bersalah menjadi korban dari perang. Terutama perang atas nama agama tidak pernah dapat dibenarkan. Karena itu berarti perang melawan agama itu sendiri.
Ketiga, penderitaan para migran. Kaum migran adalah salah satu contoh korban dari berbagai bentuk kemiskinan. Martabat mereka sering kali disangkal. Hidup mereka penuh risiko karena tidak lagi memiliki apa yang perlu untuk membangun keluarga, bekerja, mencari makan untuk mereka sendiri. Migran di negara baru seringkali tidak dipandang seperti yang lain dalam partisipasi dalam kehidupan masyarakat. Dilupakan bahwa mereka juga memiliki martabat yang sama sebagai pribadi. Maka, menerima para migran adalah cara penting mempertahankan martabat pribadi tanpa memandang asal-usul suku ataupun agama.
Keempat, perdagangan manusia. Perdagangan manusia merupakan salah satu bentuk pelanggaran berat martabat manusia. Paus Fransiskus menegaskan bahwa perdagangan manusia merupakan aktivitas yang keji, sebuah aib bagi masyarakat kita yang memandang diri beradab. Perdagangan manusia adalah sebuah kejahatan melawan kemanusiaan, melanggar kemanusiaan korban secara mendalam, tetapi pada saat yang sama perdagangan manusia juga merendahkan martabat manusia yang melakukannya.
Kelima, kekerasan atau pelecehan seksual. Martabat manusia inheren dalam diri manusia dalam keseluruhan jiwa dan badan. Mereka yang mengalami kekerasan atau pelecehan seksual mengalami luka yang dalam dan merusak martabat manusianya. Penderitaan itu dapat berlangsung seumur hidup. Gereja berusaha
tanpa henti mengakhiri segala bentuk kekerasan seksual mulai dari dirinya sendiri. Yang berikut (keenam), kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan adalah skandal global. Juga di negara-negara maju, perempuan seringkali dipandang dan diperlakukan tidak sebagai yang memiliki martabat setara seperti laki-laki. Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa ada kebutuhan urgen untuk mengupayakan kesetaraan dalam semua area, upah yang setara untuk kerja yang sama, perlindungan pada ibu-ibu yang bekerja, fairness dalam perkembangan karier, kesetaraan sebagai pasangan dalam hak-hak keluarga, dan pengakuan atas segala sesuatu yang merupakan bagian dari hak dan kewajiban warga negara dalam sebuah negara demokratis.
Berikut (ketujuh), aborsi. Gereja secara konsisten mengingatkan bahwa martabat setiap manusia memiliki ciri intrinsik dan valid sejak saat pembuahan hingga kematian natural. Demi mempertahankan nilai tak tersentuh hidup manusia, magisterium Gereja selalu menentang aborsi. Kita perlu mewaspadi istilah interruption of pregnancy yang memperlemah, menghaluskan, menyembunyikan ciri aborsi. Mungkin fenomen linguistik ini sendiri merupakan simtom dari suara hati yang tidak tenang. Tapi kata-kata tidak memiliki kekuatan untuk mengubah realitas. Ia tetap merupakan bentuk pembunuhan. Anak-anak dalam kandungan adalah mereka yang paling lemah dan tak berdosa perlu dilindungi. Sekarang ini ada berbagai macam upaya dibuat untuk menyangkal martabat manusiawi mereka. Karena itu harus selalu dinyatakan dengan tegas bahwa pembelaan terhadap kehidupan mereka yang dalam kandungan berkaitan erat dengan pembelaan setiap hak manusia, martabat manusia, meliputi keyakinan bahwa setiap manusia adalah suci dan tak dapat diganggu gugat dalam segala situasi dan dalam setiap tahap perkembangan.
Yang berikut (kedelapan), surogasi (surrogacy), ibu pengganti. Praktik ibu pengganti dipandang melanggar martabat anak-anak. Setiap anak memiliki martabat yang diungkapkan dengan jelas dalam setiap tahap hidupnya, saat pembuahan, kelahiran, tumbuh dan menjadi dewasa. Setiap anak memiliki hak untuk memiliki asal-usul yang manusiawi sepenuhnya dan tidak artifisial dan untuk menerima anugerah kehidupan yang mengungkapkan baik martabat pemberi maupun penerima. Keinginan untuk memiliki anak tidak berarti harus ditransformasikan menjadi hak atas anak yang gagal menghormati martabat anak sebagai penerima anugerah kehidupan. Ibu pengganti (surrogacy) juga melanggar martabat perempuan, entah bila ia dipaksa atau bila dengan bebas memilihnya. Dalam praktik ini perempuan mengambil jarak, melepaskan diri dari anak yang tumbuh di dalamnya dan menjadi sarana melulu demi tujuan yang lain.
Berikut (kesembilan), euthanasia dan bunuh diri dengan bantuan orang lain. Harus dinyatakan pula bahwa penderitaan tidak menyebabkan orang kehilangan martabatnya yang melekat secara intrinsik. Sebaliknya penderitaan dapat menjadi kesempatan untuk memperkuat ikatan saling memiliki secara mutual dan memperoleh kesadaran lebih besar akan nilai berharga bagi setiap pribadi dan keluarga manusia. Tentu saja, martabat mereka yang sakit dan menderita menuntut usaha yang sepadan dan mendesak untuk meringankan penderitaan mereka melalui pemeliharaan paliatif yang cocok dan menghindari tindakan agresif dan prosedur medis yang tidak proporsional. Tetapi upaya itu berbeda dan bertentangan dengan keputusan untuk mengakhiri hidup seseorang maupun orang lain yang terbebani oleh penderitaan. Juga dalam keadaan yang sulit dan menderita, hidup manusia memiliki martabat yang harus dipertahankan. Dan itu tidak boleh hilang dan menaruh sikap hormat tanpa syarat. Hidup itu adalah hak, bukan kematian yang harus diterima dan bukan diatur.
(Kesepuluh), marginalisasi kaum disable. Tanda verifikasi penghargaan martabat oleh sebuah masyarakat adalah kelihatan dalam bantuan yang diberikan pada mereka yang paling tidak beruntung. Tetapi kita menyaksikan bahwa budaya membuang (throwaway culture) justru berkembang. Melawan tendensi ini, kondisi mereka yang memiliki keterbatasan fisik atau mental perlu mendapat perhatian dan menjadi keprihatinan bersama. Kondisi seperti itu mengingatkan kita pada apa artinya menjadi pribadi manusia, mulai dari mereka yang disable. Setiap manusia kendati segala kekurangannya menerima martabatnya sekali lagi melulu dari fakta bahwa ia dikehendaki dan dikasihi Allah. Maka perlu diupayakan untuk mendorong inklusi dan partisipasi aktif bagi mereka yang disable.
Yang berikut (kesebelas), teori gender. Gereja menegaskan kembali bahwa setiap pribadi apapun orientasi seksualnya harus dihormati sesuai martabatnya dan diperlakukan dengan hormat karena setiap tanda diskriminasi yang tidak adil harus dihindari khususnya dalam bentuk agresi dan kekerasan. Bertentangan dengan martabat manusia bahwa tidak sedikit orang dipenjara, disiksa dan dirampas kebaikan hidupnya hanya karena orientasi seksual mereka. Di lain pihak pada masa kini, kita menyaksikan upaya untuk memperkenalkan hak-hak baru. Teori gender ini berbahaya karena ia membatalkan perbedaan dalam klaimnya untuk memandang setiap orang sebagai yang setara. Mengenai teori ini, Gereja mengingatkan bahwa hidup manusia dalam segala dimensinya, baik fisik maupun spiritual merupakan anugerah dari Allah dan harus digunakan dengan penuh syukur demi kebaikan. Menginginkan determinasi diri secara personal sebagaimana diajarkan teori gender dengan mengabaikan aspek biologis bahwa hidup manusia adalah anugerah akan berakhir pada kejatuhan pada godaan sejak dahulu untuk menjadikan diri sendiri seperti Allah. Aspek lain dari teori gender ini ialah, ia menyangkal perbedaan paling besar yang mungkin yang ada di antara makhluk hidup perbedaan seksual. Perbedaan dasar ini bukan hanya perbedaan paling agung yang dapat dibayangkan, tapi juga perbedaan yang paling indah dan berkekuatan. Dalam pasangan laki-laki-perempuan, perbedaan itu mencapai keindahan tertinggi yang mengungkapkan ciri timbal balik keduanya dan menjadi sumber dari mukjizat yang senantiasa mengagumkan lahirnya manusia-manusia baru di dunia. Hormat baik pada tubuh sendiri maupun orang lain adalah sangat penting dalam kaitan dengan klaim atas hak-hak baru yang dituntut, dianut teori gender. Perlu ditekankan bahwa seks biologis dan peran sosiokultural seks dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Karena itu segala usaha untuk menyembunyikan acuan pada perbedaan seksual antara laki-laki dan perempuan harus ditolak.
(Keduabelas), perubahan seks. Martabat tubuh tidak dapat dipandang lebih rendah dari martabat pribadi. Tubuh manusia ambil bagian dalam martabat sebagai citra Allah. Kebenaran seperti itu pantas diingat khususnya bila kita bicara tentang pengubahan seks karena manusia secara tak terpisahkan terdiri dari tubuh dan jiwa. Tubuh merupakan konteks hidup. Di dalamnya interioritas jiwa berkembang dan mewujudkan diri. Baik jiwa dan tubuh berpartisipasi dalam martabat yang dimiliki setiap manusia. Dalam tubuhlah setiap pribadi mengenali diri sendiri sebagai yang dilahirkan oleh yang lain. Karena itu setiap intervensi sex change berisiko mengancam martabat unik yang diterima manusia sejak momen pembuahan.
Gejala terakhir (ketigabelas) yang disebut sebagai bentuk pelanggaran martabat manusia adalah kekerasan digital. Teknologi digital menawarkan banyak kemungkinan untuk memajukan martabat manusia. Tetapi ia juga dapat menciptakan dunia di mana eksploitasi, eksklusi, dan kekerasan tumbuh hingga merugikan martabat pribadi manusia. Melalui teknologi digital ini, misalnya, terjadi ancaman terhadap nama baik orang melalui aneka berita palsu dan fitnah.
Penutup
Demikianlah melalui deklarasi ini, Gereja mendorong bahwa hormat pada martabat manusia harus ditempatkan pada pusat komitmen dalam usaha menciptakan kebaikan bersama dan pada pusat setiap sistem hukum. Sekali lagi ingin ditegaskan bahwa martabat pribadi manusia bersifat sungguh-sungguh ontologis karena dia sungguh-sungguh melekat pada adanya sebagai manusia.
Keterbatasan fisik dan mental tidak bisa menghilangkan martabat manusia tersebut. Paus Fransiskus menegaskan, “Saya menyerukan pada setiap orang di seluruh dunia untuk tidak melupakan martabat kita sebagai manusia. Tak seorang pun memiliki hak untuk merampasnya dari kita”. Terima kasih.