Sungai Bagian Kehidupan Kita

Agustinus Irawan memiliki kesan yang mendalam akan sungai Boyong di Yogyakarta.  Tahun 2003, ia tinggal di kawasan Monjali yang dekat sungai tersebut. Ia kerap menghabiskan waktu di dekat sungai itu. Lelaki yang kerap disapa Irawan itu pun akrab dengan sungai itu. Ia biasa mendengar suara gemericik airnya. Ia biasa mengamati aliran dan keindahan sungai itu. Dan ia pun belajar banyak hal dari sungai itu.

“Sungai itu memang unik. Dikatakan unik, ternyata ekosistem terlengkap itu ada di sungai. Ada mata air, ada aliran, ada tebing, ada rumput, ada ikan, bahkan burung pun ada di sungai,” katanya. Di samping itu, di sungai ada rantai makanan yang terjadi. Ada perayaan kehidupan yang menarik. Irawan pun  jatuh cinta pada sungai. Kecintaan pada sungai itulah yang membuatnya tergerak untuk menjaga dan merawat sungai, selain karena kedekatannya dengan alam waktu remaja misalnya dengan naik gunung, susur gua dan pengamatan alam.

Ada kenyataan yang juga memicunya untuk bertekad mencintai sungai yakni abainya masyarakat akan sungai. Alih-alih menjaga sungai, sebagian masyarakat, justru merusaknya. Tak sedikit orang yang membuang sampah padat maupun limbah cair ke sungai yang mengakibatkan pencemaran air yang parah. “Nah, dari situlah kemudian saya menetapkan pilihan untuk melestarikan alam sungai,” kata suami Christina Nita Dwi Yuliani itu. Tak mulai dengan gebrakan besar, ia memulai dari sungai Boyong yang ada di dekatnya.

Ia pun mulai mengamati dan mempelajari sungai dengan menambah literasi tentang sungai. Selain ekosistem yang terlengkap, ia pun menemukan kalau pusat peradaban sebagian masyarakat berasal dari sungai. Demikian juga berbagai masalah sosial berada di sekitar sungai.  Namun sayangnya, ia juga menemukan anggapan bahwa sungai dipandang sebelah mata. Orang-orang yang tinggal dekat sungai dianggap orang pinggiran, tersingkir dan bekerja pada sektor-sektor informal dengan pendapatan rendah dan tidak dapat bersaing. Dengan demikian, banyak rumah-rumah kumuh milik orang miskin berada di pinggir sungai. Sementara itu, orang-orang berduit dan bertulang ekonomi kuat, tinggal di pinggir jalan.

Padahal, menurutnya, sungai mempunyai peran strategis. “Di situlah sebenarnya pusat kehidupan,” tutur lelaki kelahiran 24 Juli itu.

Irawan meyakini, kalau orang mau memanfaatkan sungai dengan baik, maka, kehidupannya pasti akan lebih baik. Sungai, baginya, adalah nadi bumi. “Jadi, ketika nadinya rusak, diganggu atau terganggu, seperti diri kita. Karena nadinya tidak lancar ada sumbatan, ya, pasti pusing. Ketika air dari mata air itu tidak bisa mengalir baik, maka ya orang di sekitar sungai itu akan dapat banyak masalah,” ungkap Irawan yang berprofesi sebagai jurnalis itu. Negara-negara maju, tuturnya, telah merawat dan memanfaatkan sungai dengan baik. Entah sungai besar atau kecil, sungai mesti dirawat dengan baik.

Tahun 2006, Irawan pun memantapkan pilihan ekologisnya untuk merawat sungai. “Saya serius menetapkan pilihan di sela-sela aktivitas primer, untuk mencoba melibatkan diri, mulai tidak membuang sampah di sungai. Tidak mencemari sungai, menjaga sungai ala diri saya,” katanya. Perlahan dan pasti, ia membuka jaringan dan kerja sama mengajak masyarakat di sekitar sungai untuk bersama-sama merawat sungai.

Dari yang sederhana

Irawan merawat sungai mulai dari yang sederhana dan yang paling mungkin dilakukan. “Kalau saya yang paling sederhana. Ya, saya melakukannya dulu. Setelah saya ketemu polanya baru saya mencoba menularkannya pada orang lain. Kalau dalam bahasa teks itu mengedukasi. Mengedukasi itu tidak memberikan ilmu, tetapi mengajak, mengajak terlibat. Jadi, tugas kita adalah mengajak. Perkara diterima atau tidak itu urusan lain,” ungkapnya.

Agustinus Irawan menebar benih ikan

Namun, semua itu, menurutnya membutuhkan konsistensi yang tinggi. Tidak sekali dua kali, namun upaya merawat sungai terus menerus diupayakan meski tantangan menghadang di depan. Saat ini dia bersama istrinya sudah tidak tinggal di dekat Sungai Boyong lagi. Ia pindah di daerah yang lebih atas dan kebetulan tak jauh dari rumahnya, ternyata ada sungai yang lebih kecil. Ia pun meneruskan upayanya menjaga sungai.

Ada hak sungai, menurutnya, yang tidak boleh dilanggar, yakni sempadan sungai yang berada di sisi kanan-kiri sungai. Di atas sempadan sebenarnya tidak boleh ada bangunan permanen. Di sana mestinya aneka vegetasi tumbuh dengan baik bersama ekosistem yang ada. “Kalau dipersonifikasikan, sempadan merupakan ruang bernafasnya sungai. Jadi, sungai itu kan butuh ruang bernafas. Jadi, dia juga meresapkan air ke kanan kiri. Supaya kandungan air di kanan kiri sungai itu terjamin. Ekosistem terjaga, vegetasi terjaga,” kata Pimred Tabloid Remaja di Yogyakarta itu.

Sekian waktu konsistensi menjaga dan merawat sungai serta tekun mengajak masyarakat, akhirnya masyarakat sekitar sungai mulai menanggapinya secara positif dengan melakukan agenda rutin kerja bakti sungai. Bahkan inisiatif masyarakat tersebut ditangkap Pemerintah Kabupaten Sleman dalam Program Kali Bersih (Prokasih). Irawan pun dipercaya menjadi Ketua Forum Komunitas Sungai Sleman yang berkoordinasi dengan 43 komunitas sungai dari 15 sungai yang ada di Kabupaten Sleman.

Sekarang kesadaran masyarakat sekitar sungai mulai meningkat. Masyarakat sadar akan pentingnya menjaga dan merawat sungai yang ada di dusun atau desa mereka. Merawat dan menjaga sungai, menurut Irawan, membutuhkan kerja sama masyarakat yang tinggal di wilayah yang dilalui sungai. “Jadi, semakin banyak kelompok masyarakat, komunitas masyarakat yang merawat sungai, maka, sungainya semakin terawat. Karena merawat sungai itu tidak bisa sepenggal-penggal. Sungai itu hulu, tengah, hilir. Kalau tengah bersih, hulu tidak, sama saja,” katanya. Sungai bisa melintasi batas teritori dan administrasi pemerintahan daerah. Bisa jadi hulunya di kabupaten A, bagian tengahnya di kabupaten B, hilirnya di kabupaten C. Bisa jadi pula, sisi bagian kanan dan kiri sungai merupakan wilayah administrasi yang berbeda. Di sinilah uniknya menjaga dan merawat sungai, butuh kerja sama dan komitmen semua pihak secara menyeluruh dan integral.

“Maka, ada kewenangan sungai secara khusus memang, sehingga ada Balai Besar Wilayah Sungai. Itulah yang sebenarnya mengurus sungai bagian hulu, tengah, hilir. Intinya, itu melintasi teritori administrasi kabupaten/kota bahkan provinsi,” katanya.

Irawan menyadari tugas berikutnya adalah menjaga api semangat warga masyarakat untuk tetap merawat dan menjaga sungai. “Harus didorong terus supaya sadar betul bahwa sungai itu penting bagi kehidupan. Jadi, sungai tidak lagi tempat sampah. Sungai tidak lagi tempat buang limbah. Sungai tidak lagi hanya bagian terkecil dari kehidupan. Sungai ini bagian kehidupan kita,” tutur Irawan

Sungai, menurutnya, juga menjadi indikator tata kelola sebuah kota atau negara. Tidak perlu melihat taman kotanya, namun cukup melihat sungainya. Dengan melihat sungai yang terawat dengan baik, maka bisa simpulkan, tata kelola kota atau negaranya pun baik.

Bergerak menjaga dan menyelamatkan sungai membutuhkan stamina semangat yang prima. Kalau stamina semangat tak prima, gerakan bisa patah di tengah jalan. Sebagai manusia biasa, Irawan pernah merasa dongkol ketika ajakannya untuk merawat dan menjaga sungai tidak ditanggapi warga. Namun, dengan cepat ia sadar. Kalau hanya berfokus pada kedongkolannya, maka ia menjadi tidak produktif dan justru mengalami kemandekan.

Ia menyadari, bisa jadi, warga yang tak menanggapi ajakannya tersebut karena dipicu oleh rendahnya edukasi tentang sungai, apalagi kalau itu terkait dengan eksploitasi sungai untuk memenuhi kebutuhan ekonomi warga, misalnya penambangan pasir.

Perkara paham dan tidak itu belakangan, tetapi edukasi itu harus kita sampaikan. Jadi tugas saya tidak untuk melawan penambangan. Dan tugas saya juga tidak untuk ngurusi orang, tetapi saya ingin menyelamatkan lingkungan,” katanya.

Dalam situasi itu Irawan sadar kalau ia harus menjaga konsistensi dan daya tahan, bukan daya serang. “Kalau daya serang, kita akan capek. Ya, ibaratnya begini, bertempur habis-habisan itu capek, karena bisa jadi, tombak, pedang misalnya, bisa saja jadi patah. Tapi tugas kita adalah menyiapkan perisai, daya tahan. Kalau daya tahan kita kuat, perisai kita kuat, yang menyerang itu capek sendiri,” katanya.

Menjadi contoh

Ia pun menyampaikan contoh konkret. Ketika ada orang membuang sampah sembarangan, ia tidak memaki atau melarangnya karena ia tidak menginginkan konflik terjadi. Di situlah sebenarnya edukasi dilakukan. Ia pun memungut sampah itu dengan kesadaran penuh.

“Tugas saya adalah memungut sampah, tidak melarang orang buang sampah. Juga tidak memaki orang membuang sampah, supaya energi saya cukup. Kalau saya memaki orang buang sampah, hasilnya konflik. Akhirnya bersitegang, malah akhirnya berhadapan dengan konflik yang tidak nyaman,” katanya. Demikian pula, ketika membuat imbauan tertulis tidak membuang sampah di sungai, imbauan pun disampaikan dengan baik. Imbauan ditulis dengan menghindari nada ancaman. “Karena yang dibutuhkan masyarakat keteladanan, bukan anjuran. Kalau memberi contoh itu gampang, tapi menjadi contoh yang susah. Tugas kita semua itu bisa menjadi contoh,” katanya.

Ia menyadari tugas merawat lingkungan membutuhkan daya tahan karena merawat lingkungan dilakukan sepanjang usia manusia, dari generasi ke generasi. Demikian juga merawat sungai. Baginya, merawat dan menjaga sungai merupakan investasi yang hasilnya siapapun bisa menikmatinya.

Sebagai orang Katolik, Irawan menyadari bahwa menjaga dan merawat sungai merupakan perwujudan iman yang nyata. Di sana ia turut menjaga ekosistem. Ekosistem yang baik memberikan kehidupan yang lebih baik. “Prinsipnya sederhana, iman tanpa perbuatan adalah mati,” katanya.

Ia pun sadar, alam akhir-akhir ini tak selalu dalam kondisi yang baik. Ada yang telah mengalami kerusakan yang parah, termasuk sungai. “Maka, kadang gerakan kita sesungguhnya hanya ditugaskan untuk merawat kok, merawat yang sudah ada. Nah, pada titik tertentu sekarang, ya, merawat yang tersisa. Jadi, jangan sampai lupa, yang tersisa sekarang ya pencemaran. Ya, itu yang kita rawat, kita kendalikan supaya tidak lebih tercemar,” katanya.

Menurutnya, siapapun bisa ambil bagian dalam merawat alam, termasuk sungai dengan cara masing-masing dan kemampuan masing-masing.

Dimuat di Majalah INSPIRASI no 189 Tahun XVI Mei 2020

 

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *