Kelola Sampah Mulai dari Sumbernya

Dalam lingkup Jakarta, Tarno melihat gerakan sadar sampah sudah  terkolaborasi dengan baik yang terlihat dari aktivitas pemilahan dan pengangkutan terjadwal di lingkup RW. “Nah, oleh karena itu kita sebagai umat Katolik di lingkungan selayaknya untuk mencari informasi di RT RW sehingga kita bisa berkontribusi apa yang sudah kita pilah tidak tercampur lagi karena nanti sudah diangkut secara terjadwal. Syukur-syukur setiap keluarga tidak lagi menyumbang sampah organik ke TPS, ke RW. Sampah organik mandeg di rumah masing-masing. Syukur-syukur sampah media daur ulang itu bisa disedekahkan atau dibawa ke bank sampah. Mungkin ada bank sampah Gereja, bisa ke bank sampah Gereja, tapi kalau terlalu jauh dan terlalu lama, bisa koordinasi dengan bank sampah di lingkup RW masing-masing karena 50 persen RW di Jakarta 2020 wajib memiliki bank sampah,” katanya.

Khusus sampah yang tak bisa terurai, jika masih bisa didaur ulang, sebaiknya di daur ulang, menurut Tarno. “Di RW kami sudah diubah menjadi konblok. Residu. Jadi, seperti plastik-plastik bekas makanan itu sudah kami kelola,” katanya. Sedangkan pengolahan sampah mudah terurai, menurutnya, dapat dilakukan dengan composting, eco enzym, biopori, pot biopori, maggot, pupuk hijau, kompos skala lingkungan. “Ini menjadi isu yang luar biasa. Tapi selain dengan komposting dan maggot, sebenarnya sampah organik bisa dilakukan seperti eco enzym, biopori. Nah, kami kenalkan pot biopori portabel bagi daerah cekungan yang memang tidak bisa biopori maka, menggunakan pot biopori,” katanya.

Tarno pun mengingatkan, jika sampah sudah terolah dengan baik, misalnya menjadi pupuk, hal itu tidak berhenti sampai di situ saja. “Jadi, kalau sudah mengelola sampah jangan berhenti. Kalau sudah mengelola sampah, ya harus menghijaukan rumah kita seperti Bapak Uskup (Kardinal Suharyo) katakan, bahwa tanggung jawab penyediaan makanan sehat bagi keluarga, mengelola dan menyediakannya adalah tanggungjawab keluarga. Nah, kalau ini yang terjadi maka, pengelolaan sampah itu menjadi penunjang untuk kegiatan penghijauan di rumah. Jadikan rumah sebagai sumber pangan keluarga kita,” katanya.

Menurut Tarno, Jakarta adalah kota yang sangat cocok untuk pertanian perkotaan. “Cahaya cukup, pupuk sampah menumpuk, air melimpah. Nah, ini kalau pengolahan sampah berlanjut menjadi penghijauan Jakarta, maka, Jakarta kota kolaborasi itu akan menjadi contoh nasional, menjadi kota bersih sampah terkelola di sumber, menuju penghijauan untuk ketahanan pangan organik,” tegasnya.

Apa yang bisa ditanam? Tarno melanjutkan, yang bisa ditanam di sekitar rumah adalah tanaman buah dalam pot (tabulampot) maupun sayur yang biasa dikonsumsi di rumah. Dengan demikian, rumah tangga bisa menghemat anggaran belanja makanannya karena sebagian makanannya sudah diperoleh di sekitar rumahnya.

Dengan menanam, gereja pun bisa memakai tanaman tersebut sebagai dekorasi yang hidup. “Tentu Gereja sudah mulai tidak lagi selalu menggunakan dekorasi bunga potong tetapi dengan dekorasi bunga hidup,” katanya. Selain itu, obat keluarga pun bisa diambil dari tanaman obat di sekitar rumah yang bisa ditanam

“Dengan demikian, menurutnya, umat Katolik bersama-sama dengan  komunitas Gereja, RT RW, subdinas lingkungan hidup, kelurahan, dinas lingkungan hidup dan berbagai lembaga melakukan kegiatan aksi nyata Laudato Si’ dengan pengurangan sampah di sumber secara terpadu, berkesinambungan, menunjang penghijauan, memperkuat ketahanan pangan masyarakat hingga tercapai hidup sehat sejahtera, kita menjadi semakin beriman, kita menjadi semakin rendah hati,” pungkasnya.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *