
Melalui pertobatan ekologis, menurutnya, seseorang bisa memperbaiki relasinya dengan Tuhan yang terekspresi dengan relasinya pada sesama dan lingkungan. “Kita perlu mengagungkan nama Tuhan dengan cara memperbaiki relasi dengan sesama yang kita cintai, dengan anak, keluarga, istri, tetangga, dengan saudara-saudara yang kita kenal,” katanya.
Demikian pula dengan sampah atau dengan orang-orang yang tak mau diajak mengelola sampah. Pertobatan ekologis memungkinkan seseorang mengubah pandangan dari sampah yang semula dianggap menjengkelkan menjadi suatu panggilan untuk mengolahnya. “Mungkin juga ada teman-teman kalau diajak membuang sampah tidak mau, atau ada yang berbeda dengan pandangan kita tetapi kita berkolaborasi. Kita dengan rendah hati, dengan penuh cinta, mampu membangun kolaborasi dengan orang-orang, sesama yang tidak sepaham dengan kita,” katanya.

Pertobatan ekologis juga memungkinkan seseorang untuk mengubah relasinya dengan tumbuhan dan hewan di sekitar kita seperti belatung, cacing, hama, dan gulma. “Tumbuhan dan hewan adalah saudara kita,” katanya.
Maka, menurutnya, kita diharapkan untuk tidak dengan mudah membunuhnya dengan pestisida. “Tetapi mari kita wujudkan keseimbangan ekologi. Wujudkan rantai makanan kembali bahwa kita menghargai, kita memelihara binatang-binatang kecil itu sehingga terjadi rantai makanan yang masih ada,” katanya.
Tarno pun berharap, semangat Laudato Si’, maupun semangat pertobatan ekologis itu betul-betul menjadi jiwa dan roh dalam hidup keseharian.