
Gaya hidup non konsumtif
Suster Nur prihatin dengan gaya hidup konsumtif masyarakat akhir-akhir ini. Terlebih saat ini banyak sarana yang memudahkan seseorang untuk memuaskan hasrat konsumtifnya. “Kalau pesan segala macam apa yang kita inginkan begitu lihat di HP gitu langsung klik-klik pesan online gitu datang sendiri,” katanya.
Suster Nur melihat, sebagian masyarakat tidak bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Menurutnya, masyarakat mesti bisa memilah dan memilih yang akhirnya menjadi keputusan “mana sih sebetulnya menjadi kebutuhanku, mana yang menjadi keinginan”. Tentu, akan menjadi tantangan tersendiri kalau orang hanya selalu berfokus pada dirinya, tak peduli bahwa tindakan konsumtifnya kalau tidak hati-hati bisa berpengaruh pada orang lain.
Suster Nur melihat perlunya mengembangkan kemampuan baru yaitu berani keluar dari diri menuju yang lain. Menurutnya, kalau kita berhasil mengatasi individualisme, akan terjadi perubahan besar.
“Jadi, mendobrak pikiran-pikiran kita yang tertutup, yang terpusat pada diri sendiri itu untuk keluar. Nah, dalam konteks ini, Laudato Si’ ini mengajarkan bagaimana pendidikan antara manusia dan lingkungan hidup. Yang perlu menjadi PR kita adalah soal perubahan, perubahan pola konsumsi, kepekaan ekologi, sikap murah hati, lalu membela lingkungan,” katanya.
Mengubah pola konsumsi
Di sekolah, Suster Nur mengajak anak-anak didiknya untuk pelan-pelan mengubah pola konsumsi. “Hal kecil yang kami lakukan dengan anak-anak muda generasi mendatang ini bagaimana mengenai pola perubahan konsumsi. Kami mencoba untuk anak-anak ini diperkenalkan dengan sayur-sayuran, yang alami, begitu ya, diajak untuk memasak di rumah bersama dengan keluarga,” katanya. Suster Nur mengajak generasi muda untuk mengonsumsi makanan sehat dan alami.