Bekerja Sama Merawat Alam Ciptaan

Masa remaja Yuli Nugrahani sangat akrab dengan alam. Ia dekat dengan pepohonan yang ada di sekitarnya. Karena kedekatan itu, Yuli tahu bahwa dekat dengan pepohonan yang sesungguhnya lebih menyehatkan daripada dekat dengan pepohonan yang artifisial terbuat dari bahan-bahan tidak alami seperti plastik yang sekarang banyak dipakai orang.

Perlahan namun pasti, kedekatan dengan alam membentuk kesadaran dan kecintaannya pada alam ciptaan semakin nyata mulai dari sekitar rumahnya. Bersama suaminya, ia pun menanam berbagai macam pohon sehingga sekitar rumahnya menjadi sejuk. “Orang seringkali tidak percaya kalau saya nanam kelengkeng yang terus berbuah. Kemudian ada beberapa jenis jambu air,” kata Yuli dalam webinar yang diselenggarakan Komisi Keadilan Perdamaian Pastoral Migran dan Perantau Konferensi Waligereja Indonesia (KKP-PMP), 8 September 2021 lalu.

Kebiasaannya merawat alam dengan menanam pohon di sekitar rumah berbuah manis. Ia tetap bisa minum air dari sumur yang dibuat di dekat rumahnya karena pohon-pohon yang ditanamnya menyimpan air. “Saya lebih memilih untuk minum dari air sumur yang saya tahu itu ada di dekat rumah, karena lokasinya di belakang rumah begitu, sehingga saya tahu ini sumbernya di situ. Saya bisa menjaga kelestarian airnya dengan menanam pohon di sekitarnya. Saya tahu sumbernya, daripada kalau saya memakai air kemasan, saya nggak tahu itu dari mana,” kata pegiat KKP-PMP Keuskupan Tanjungkarang itu.

Kecintaannya pada alam ciptaan tetap menemukan relevansinya meskipun berada dalam masa pendemi Covid-19. Pandemi Covid-19, menurutnya, mestinya menjadi titik balik seseorangg untuk kembali mencintai ciptaan. “Saya menyebutnya masa pandemi itu adalah masa penolong,” katanya. Ia pun mengutip ensiklik Laudato Si’ artikel 202 “Banyak hal yang harus diarahkan kembali, tetapi terutama umat manusia harus berubah. Yang dibutuhkan ialah kesadaran pada asal kita bersama, pada rasa saling memiliki, dan pada masa depan yang harus dibagi dengan semua makhluk.”

Melalui pandemi, menurutnya, kita dihadapkan pada krisis yang luar biasa mulai dari kesehatan, ekonomi, pendidikan, komunikasi maupun lingkungan. Namun, melalui pandemi, Yuli juga mengatakan, kita dipaksa untuk melihat bahwa manusia itu berada pada satu nafas. “Kalau saya berbicara ini pada jarak yang dekat dengan seseorang dan ternyata saya terpapar oleh virus, saya akan menularkan itu kepada orang lain,” katanya.

Dalam masa pandemi ini, menurut Yuli, kita tidak bisa membeda-bedakan orang meski dengan musuh sekalipun. “Walaupun dia musuh, kita harus tetap memberikan kepedulian karena ini akan saling terkait dan memaksa ada cara-cara baru yang kita lakukan dalam hidup,” katanya.

Semangat itu pula yang memicunya untuk bergerak ketika pandemi Covid-19 merebak di Indonesia. Awal pandemi di Indonesia, informasi tentang Covid-19 masih simpang siur dan berubah karena penelitian tentang virus tersebut masih berlangsung. Hoaks juga bermunculan. Dalam situasi seperti itu, masyarakat sangat membutuhkan masker. Namun di Lampung, masker susah didapatkan. Kalaupun ada, masker dijual dengan sangat mahal.

Yuli pun tergerak untuk menyediakan masker kain bagi masyarakat yang membutuhkan. Selain untuk menyediakan masker yang susah didapat masyarakat, masker kain diyakini lebih ramah lingkungan. “Maka, saya waktu itu memulai dari rumah, membuat masker-masker dari kain perca. Bahkan bukan kain perca yang baru, tapi dari daster yang masih bagus, tetapi robek, kaya begitu, saya akan gunting itu,” katanya. Usahanya ternyata mengundang banyak orang untuk terlibat baik dari Gereja maupun masyarakat , hingga akhirnya menjadi gerakan bersama.

Mereka yang bisa menjahit turut membantu membuat masker. “Siapapun yang bisa menjahit, siapapun yang mau menjahit, saya kirimi pola-pola maskernya,” katanya. Bantuan pun datang mulai dari yang mengirim kain bahkan mesin jahit baru. Mereka yang berbagi tenaga untuk mencuci kain-kain perca pun tak sedikit. Ada tiga tempat mencuci yaitu di komunitas Susteran FSGM, Susteran HK, dan Susteran CB.

Kaum muda juga terlibat mendistribusikan masker kain yang sudah jadi ke pasar, terminal, lembaga pemasyarakatan, daerah rentan Covid, kawasan buruh dan tempat rentan lainnya. Sampai akhir 2020, ada 9 kabupaten dan kota di Provinsi Lampung yang terjangkau distribusi masker.  Menurutnya, ada 100.000 lebih masker kain yang terdistribusi dengan melibatkan para donatur kain, karet, benang, dan mesin jahit.

Pangan dari pekarangan

Selain menginiasi gerakan berbagi masker kain, Yuli juga mengawali gerakan menyediakan pangan dari pekarangan mengingat kondisi ekonomi masyarakat yang terpukul. Hal itu dimulai dari hal sederhana. “Saya mengumpulkan biji-biji. Kemudian bukan lagi saya, menjadi kami. Biji-biji itu, dikumpulkan kemudian disebarkan antara April-Desember 2020. Ada 30-an jenis biji, bersama organisasi WKRI di Paroki Margoagung,” katanya.

Banyak orang  dan komunitas yang tergerak untuk turut mengirimkan biji pada Yuli. Kemudian komunitas-komunitas yang membutuhkan pun mengambilnya atau meminta untuk dikirimi biji-bijian setelah dikemas dalam kantong. “Sampai akhir 2020, ada 7 kabupaten/kota yang terjangkau. Ini ribuan kantong,” katanya.  Diharapkan biji-biji sayuran itu bisa ditanam dan menjadi sumber pangan dari pekarangan rumah warga.

Peminjaman tabung oksigen

Pandemi Covid-19 sempat menggila. Padahal pasien dengan gejala yang parah  sangat membutuhkan oksigen.  Namun, rumah sakit kerap kehabisan stok. Di pasaran pun harus antri bahkan kadang langka. Tergerak akan hal itu, Yuli menggandeng beberapa jaringan untuk menyediakan stok tabung oksigen. “Ini menjangkau 3 kabupaten/kota. Punya hanya 40 tabung oksigen dan punya 2 tabung oxygen concentrator. Tetapi ini sangat memadai,” katanya.

Yuli sangat sadar bahwa gerakan tersebut sangat terbantu oleh edukasi, sosialisasi, dan jaringan. Ia pun memanfaatkan bakatnyanya sebagai penulis untuk menyebarkan nilai-nilai kepedulian.  Ia berkolaborasi dengan jaringan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Dewan Kesenian Lampung, maupun Komsos Keuskupan Tanjungkarang.

“Kami menggunakan cara bersama-sama dengan media untuk menyebarkan nilai-nilai ini terus menerus tentang kepedulian yang terkait dengan segala hal, khususnya dalam 2 tahun terakhir ini, dampak atau apapun yang terkait dengan Covid-19,” katanya.

Permasalahan sampah

Sebagai aktivis lingkungan, Yuli sangat prihatian dengan pengelolaan sampah di daerahnya. Ia mencatat, tahun 2019, TPA Bakung Kota Bandarlampung menerima 800 ton sampah per hari yang terdiri dari 60 persen sampah anorganik dan didominasi plastik. Selain itu, masih banyak masyarakat yang membuang sampah-sampah anorganiknya di sungai-sungai yang bermuara di Teluk Lampung.

Terkait dengan penyelesaian masalah sampah, kerjasama dengan berbagai komunitas pun dilakukan. Yuli melihat, sudah ada gerakan bersama seperti membentuk komunitas Eco Enzym, memelihara magot BSF, gerakan World Clean Day, pengelolaan sampah rumah tangga dan edukasi tentang reuse, reduce, dan recycle (3R) sampah. Di Keuskupan Tanjungkarang, edukasi persiapan perkawinan pun ditambah materi kesehatan lingkungan atau sanitasi yang sehat.

Dalam menggulirkan kerja-kerja merawat lingkungan, Yuli merasa terdukung dengan banyaknya jejaring. “Beruntung, saya mempunyai jaringan-jaringan yang di luar Gereja Katolik, yang bisa bersama-sama bergerak untuk itu. Karena masalahnya, bukan hanya soal sampah. Kalau di Lampung itu ya ada juga tentang polusi laut, tanah, udara karena ada banyak pabrik di sini. Kemudian juga, penggundulan hutan, pengalihfungsian dan juga pemaprasan bukit-bukit,” katanya.

Menurut Yuli, akibat adanya lingkungan yang rusak, bahkan banyak monyet  turun mendekati sebuah gereja. “Mereka tidak lagi mendapatkan makanan di sana,” katanya.

Kebijakan-kebijakan pemerintah tentang ekologi, menurutnya, juga harus didorong. “Ini menjadi kekuatan besar untuk aksi kita,” kata Yuli.

Bicara soal ekologi, menurutnya, tidak hanya peduli pada keasyikan diri sendiri seperti dulu ketika ia remaja asyik dan nyaman kalau dekat dengan pepohonan. “Sekarang ini terkait dengan orang lain, dengan orang yang membutuhkan, dengan orang yang rentan, anak-anak di masa mendatang ,” katanya.

Ia pun mengutip Ensiklik Laudato Si’ artikel 232 untuk menekankan hal tersebut, “…Dunia dan kualitas hidup mereka yang paling miskin dipelihara berkat suatu rasa solidaritas yang pada saat yang sama menjadi kesadaran bahwa kita hidup di sebuah rumah bersama yang dipinjamkan Allah kepada kita. Tindakan komunal ini ketika mengungkapkan kasih yang membaktikan diri dapat menjadi pengalaman spiritualitas yang intens.”

Yuli mengingatkan, kita terhubung dengan semua orang di bumi.  Bumi kita hanya satu, belum ada alternatif pengganti bumi. “Kita memang harus membaktikan diri, bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri, tetapi secara komunal ini untuk kelestarian dan juga kepentingan generasi-generasi mendatang,” katanya.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *