
Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas menyampaikan pertanyaan reflektif tentang agama. “Agama itu sebenarnya sebagai wasilah atau ghoyah? Agama itu sarana atau tujuan sih sebenarnya?” tanyanya dalam webinar Dialog Lintas Agama, 10 Mei 2021.
“Kalau agama dijadikan tujuan maka apapun yang kita lakukan seringkali menafikan hal-hal yang terkait atau bersinggungan dengan orang yang berbeda agama dengan kita. Bahkan seringkali agama ini kita jadikan norma konflik,” katanya dalam acara yang dihelat oleh FKUB Provinsi Jateng, Yayasan Tasamuh Kudus, dan Gerbang Watugong Semarang.
Ia pun mengilustrasikan norma konflik. “Kalau kita tidak memusuhi agama lain yang berbeda dengan agama kita maka cara beragama kita dianggap belum kafah, belum tuntas,” katanya dalam acara bertema “Agama Inspirasi dalam Memperteguh NKRI” itu.
Menurutnya, orang dengan pemahaman tersebut masih ada dan berjumlah banyak bahkan berkembang cepat di Indonesia terutama terkait dengan momentum politik. “Norma-norma agama di Indonesia seharusnya berupa perdamaian, kasih sayang dan seterusnya itu, berubah menjadi norma agama yang menyeramkan itu, penuh dengan konflik dan seringkali jauh, menjauh dari tujuan agama itu sendiri,” katanya.
Menurutnya, hal tersebut sangat mengerikan, ketika agama dijadikan tujuan dan bahkan malah menjadi alat politik. “Nah, tentu saya berkepentingan dengan diskusi ini karena memang dari awal saya mengajak kita semua sebagai warga negara Indonesia, kebetulan dan pasti beragama, gitu ya. Dan agamanya masing-masing, untuk membawa agama ini sebagai wasilah, sebagai sarana,” katanya.
Agama, menurutnya, menjadi sarana untuk mencari keridhaan Tuhan Yang Mahakuasa. “Jadi, apapun agamanya, seharusnya adalah sama, bagaimana mendapatkan ridha dari Tuhan yang maha esa,” katanya.
Dari hal itulah, agama menjadi inspirasi, bukan sebagai aspirasi.
“Kalau agama dijadikan wasilah atau sebagai sarana untuk mencapai keridhaan Tuhan. Maka, agama ini akan bisa menjadi inspirasi. Inspirasi bagi setiap langkah kita. Inspirasi bagi setiap gerakan kita. Inspirasi bagi setiap keputusan-keputusan yang kita ambil. Jadi, kalau semua diinspirasikan oleh agama, saya kira, hidup ini akan berjalan dengan tertib. Hidup ini akan berjalan dengan baik dengan penuh perdamaian dan kasih sayang. Tidak ada lagi konflik-konflik yang kita dengar berlandaskan agama,” imbuhnya.
Yaqut pun menambahkan, agama itu memudahkan kita untuk melayani Tuhan. “Kita semua meyakini, semua kita ini mengimani bahwa Tuhan itu adalah kebenaran. Jika hidup kita dengan cara kita beragama ini diorientasikan untuk melayani Tuhan, itu artinya adalah melayani sesama,” ungkapnya.
Menurutnya, nilai-nilai kebenaran bersifat universal, sama dengan nilai agama. “Nilai kebenaran yang universal ini saya kira menuntun kejujuran di dalam diri kita masing-masing. Benarkah apa yang sudah kita lakukan sekarang ini dalam beragama? Benarkah kita ketika berinteraksi dengan saudara-saudara kita yang berbeda keyakinan, berbeda agama. Nah ini, mari kita tanyakan ke diri kita masing-masing, sudah benarkah sikap kita? Dan saya yakin kalau kita mau sejenak meluangkan waktu dan kemudian mempertanyakan pada diri kita sendiri, kemudian memperbaiki apa yang mungkin kurang, yang belum kita lakukan, maka ya cara kita berinteraksi dengan saudara-saudara kita yang mungkin tidak seiman, tidak sekeyakinan itu akan menjadi lebih baik,” katanya.
Yaqut pun menyampaikan, masing-masing dari kita ingin memegang teguh keyakinan agama masing-masing. “Kita meyakini bahwa agama kita ini adalah agama yang benar. Tetapi di saat yang sama, kita juga harus menghargai apa yang diyakini atau dianggap benar oleh saudara kita yang lain, yang mungkin berbeda dengan kita. Nah, ini sebenarnya inti dari moderasi beragama,” katanya.
Moderasi beragama, menurutnya, tidak memoderatkan cara kita beragama. “Kita beragama harus tetap teguh kuat memegang keyakinan kita. Tapi di saat yang sama, sementara kita berinteraksi dengan orang yang berbeda keyakinan dengan kita, sikap kita, kita luruhkan sedikit, kita luruhkan sejenak untuk menghargai keyakinan yang dipegang oleh orang lain,” katanya.
Jadi, menurutnya, moderasi beragama itu bukan agama yang kemudian dimoderatkan. Bukan cara pemahaman agama yang dimoderatkan, bukan amaliah agama yang dimoderatkan tetapi sikap kita terhadap orang lain yang berbeda agama dan keyakinan dengan kita.