Dalam Rencana Induk Keuskupan Agung Semarang (RIKAS) 2016-2035, Ketua Komisi Pendidikan Keuskupan Agung Semarang (KAS), Pastor Edy Wiyanto, Pr menemukan pedoman sistem pengelolaan pendidikan yang terencana, terstruktur, terintegrasi dan terukur di wilayah KAS. Hal itu terlihat dalam road map RIKAS tersebut. “Ada di road map-nya, mengatakan pemantapan dalam pendalaman filosofi pendidikan Katolik dan penyusunan konsep kerangka operasional. Ini yang kemudian dimimpikan oleh KAS ini. Menurut saya mimpi ini pada petang hari ini ada inspirasi dari Romo Mangun,” katanya dalam bedah buku Sekolah Merdeka yang digelar melalui platform online, 5 November 2020.
Hal senada, juga ditemukannya dalam tulisan Ki Hajar Dewantara. “Ada halaman yang menuliskan bahwa dalam konteks pra merdeka, yaitu Ki Hajar Dewantara memimpikan atau mengupayakan hadirnya manusia merdeka. Dan manusia merdeka itu manusia menuju Indonesia merdeka,” katanya dalam acara hasil kerjasama Komisi Pendidikan KAS dengan Program Pascasarjana Universitas Atmajaya Yogyakarta itu..
Menurutnya, merdeka dalam gagasan Ki Hajar Dewantara adalah merdeka pikirannya, batinnya, maupun tenaganya. Semuanya itu untuk perkembangan negeri. Ia pun mengutip pernyataan tokoh pendidikan itu. “Segala daya upaya untuk menjunjung derajat bangsa tak akan berhasil kalau tidak dimulai dari bawah. Sebaliknya rakyat yang sudah kuat akan pandai melakukan segala usaha yang perlu atau berguna untuk kemakmuran negeri” (Ki Hajar Dewantara). Di bagian lain, Ki Hajar menulis, “Pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas kehidupan lahir, sedang merdekanya hidup batin itu terdapat dari pendidikan” (Ki Hajar Dewantara).
Sejak semula, sambung Pastor Edy, Ki Hajar Dewantara sudah menawarkan pemikiran bahwa pendidikan bisa memerdekakan manusia. Hal itu termuat dalam tulisan Ki Hajar, “Manusia merdeka yaitu manusia yang hidupnya, lahir atau batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri” (Ki Hajar Dewantara).
Menurut Pastor Edy, apa yang diungkapkan Ki Hajar Dewantara tahun 30-an, sebelum kemerdekaan juga menjadi gagasan Romo Mangun. “Romo Mangun itu juga melanjutkan gagasan itu. Saya mengatakan Mangun juga ngomong manusia merdeka. Tapi manusia merdeka pasca kemerdekaan. Apa yang dipikirkan Romo Mangun tentang manusia merdeka pasca kemerdekaan itu adalah dirindukan adanya manusia yang berjiwa eksploratif, kreatif, integral. Manusia eksplorator, kreator itu kemudian memampukan bahwa manusia itu nggiwar, atau mau memberi alternatif lain,” ungkapnya.
Menurutnya, Romo Mangun di bukunya, menegaskan, tentang hadirnya manusia emansipatoris yang terlibat dalam kehidupan sosial. “Merdeka berarti merdeka untuk bisa mencipta dan di situlah ada kemandirian. Bagi Romo Mangun, pendidikan itu proses pendampingan pemekaran diri. Itu akan mencapai guna dan citra yaitu manusia semakin berguna untuk perkembangan dirinya dan juga berguna atau berdaya manfaat bagi orang lain. Di samping itu, yang mekar itu adalah menghidupi citra tata nilai yang bisa digunakan untuk hidup bersama,” katanya.
Pastor Edy juga menemukan, manusia merdeka menurut Romo Mangun adalah manusia yang bisa memberikan diri, menginspirasi dan juga mandiri di atas dirinya sendiri.
“Dalam buku Sekolah Merdeka ini, saya menemukan ada visi manusia yang mau dihadirkan di sana, yakni anak yang eksploratif, kreatif dan integral. Ini hadir dengan apa? Dengan mengembangkan ada tujuh modal dalam diri anak. Dan 7 modal itu, sudah ada dalam diri anak yakni sikap, karakter, mental, spiritual; penguasaan bahasa, orientasi diri anak, logika kuantitatif dasar, kerja sama, pengenalan piranti dan kebugaran-sportifitas,” katanya.
Ketika pendidikan di sekolah-sekolah memberi ruang pada kompetisi, Romo Mangun justru sebaliknya. Romo Mangun, menurutnya, tidak memilih ruang kompetitif, tetapi kolaboratif. “Opsi pertama Romo Mangun adalah kepada orang miskin. Orang miskin ketrampilan dasarnya adalah bagaimana bisa bekerja sama, berjejaring dengan sebanyak mungkin orang. Karena miskin secara ekonomi, kalau nanti mengembangkan daya saing pasti akan digencet. Maka yang paling riil adalah kolaboratif. Tetapi bukan hanya masalah karena tidak mau bersaing, tetapi di sini kerja sama itu menjadi keutamaan yang ditawarkan dalam bukunya Romo Mangun ini,” katanya.
Kemudian, lanjutnya, ketika ini berkembang menjadi satu kesatuan pribadi, anak akan menjadi pribadi yang semakin eksploratif, kreatif, dan integral. “Eksploratif itu orang yang terus mau belajar mencari ide, menemukan ide. Kreatif itu kemudian mencipta ide itu. Integral itu memaknai pengalamannya yang bisa menawarkan kreasinya kepada orang lain,” katanya.
Menurut Romo Mangun, lanjut Pastor Edy, untuk menghadirkan manusia yang berdaya eksploratif, kreatif, dan integral dibutuhkan perangkat pembelajaran atau kurikulum yang organis. “Bagi Romo Mangun, kurikulum itu bukan sekadar alat pengajaran yang nanti rujukannya RPP, seperti rencana pembelajaran. Tapi kurikulum itu perangkat pembelajaran bukan pengajaran saja,” katanya.
Bagi Romo Mangun, kurikulum atau perangkat pembelajaran dibuat seturut dengan perkembangan anak dan perubahan situasi yang saling terhubung antara pembelajaran satu dengan yang lain seperti organ-organ dalam tubuh manusia.
Lebih lanjut, Romo Mangun menggambarkannya seperti pohon. “Hal yang dasar itu adalah identitas orientasi diri. Maka, pondasi, pohon ini menjadi gambaran anaknya. Pondasi dalam pendidikan itu adalah identitas dan orientasi diri anak. Kemudian yang menopang adalah sains, matematika, bahasa, kemudian ketika ada pengolahan alam, maka hasilnya, buahnya itu adalah bunga dan citra. Ada di sana, rancang bangun, seni tari dan perangkat pembelajaran itu tidak hanya pohon tetapi juga alam sekitarnya, dari religiusitas, budi etis, Pancasila. Itu yang kemudian dipikirkan Romo Mangun,” kata Pastor Edy.
“Maka, kurikulum bagi Romo Mangun, itu saya tafsirkan sebagai ekosistem, bukan hanya alat, tetapi ekosistem pembelajaran yang dirancang untuk pemekaran diri anak. Sehingga hadir anak yang eksploratif, kreatif dan integral. Ini kemudian di Sekolah Eksperimental Mangunan kurikulumnya diberi nama Pohon Kurikulum Mangunwijaya,” katanya.
Pastor Edy menjelaskan, dalam pohon kurikulum Mangunwijaya ada komponen sistem pembelajaran. Yang pertama adalah anak itu sendiri. “Maka perangkat pembelajaran utama itu bukan alat eksternal, metodologi, project best learning ataupun pakai IT tetapi yang utama adalah anak sendiri. Maka, sering kami menyebut, kurikulum adalah anak. Berarti anak itu sendiri yang belajar,” katanya.
Baru kemudian komponen berikutnya, lanjut Pastor Edy, adalah alam: tempat di mana anak belajar atau tempat di mana anak itu tumbuh, hidup. Disusul kemudian, alat. Menurutnya, kebutuhan anak dan tempat itulah yang kemudian menentukan alatnya.
Pastor Edy menawarkan, bagaimana konsep pembelajaran Romo Mangun itu bisa diterjemahkan dalam kekinian misalnya dalam kurikulum 2013 (Kurtilas).
Untuk membangun suasana eksploratif, kreatif dan integral, sekolah perlu mengisi visi atau value yang dihidupi masing-masing sekolah. “Maka, alam, wajah sekolah, visi sekolah, itu bagaimana juga mencerminkan eksploratif, kreatif, integral,” katanya.
Dalam konteks pendidikan iman, Romo Mangun, menurutnya, juga mewariskan pembelajaran khas di pendidikan dasar yakni komunikasi iman. “Yakni relasi ciptaan dengan Pencipta, itu sikap dasarnya perlu diolah, terus dikomunikasikan, disharingkan, yakni dalam komunikasi iman,” katanya.
Yang khas dari Romo Mangun selain itu adalah adanya kotak pertanyaan di sekolah. “Bertanya itu tidak bodoh. Bertanya itu pintar, karena bertanya itu punya ide. Maka di situ ada kotak pertanyaan,” katanya. Kebiasaan membaca buku bagus juga dihidupi. “Yang dimaksud buku bagus adalah buku yang berisi tentang perjuangan orang untuk hidup lebih baik,” jelas Pastor Edy. Demikian juga musik pendidikan. “Musik pendidikan bukan ketrampilan musiknya, tetapi rasa perasaan musik yang kemudian dikelola, diasah dalam diri anak,” kata Pastor Edy.