
Dalam Seminar dan Pameran Foto bertajuk “Jejak Karya Mangunwijaya” di Soegijapranata Catholic University, Semarang, 25 November 2024, Mohamad Sobary membahas kaitan antara Romo Y.B. Mangunwijaya, Pr dan nasionalisme.
Menurutnya, nasionalisme berwujud dalam dua corak. Corak pertama, nasionalisme dalam teks. Dan yang kedua, nasionalisme dalam kehidupan sehari-hari (everyday politic). Sobary menegaskan, politik yang dimaksud adalah politik tidak berhubungan dengan politik elektoral. “Tidak ada hubungannya dengan politik yang dipanggul ke sana kemari untuk pantes-pantesan para politisi kita. Nah, Romo Mangun tidak, tidak memanggul itu untuk pantes-pantesan. Itu beliau memanggul itu demi sesuatu yang namanya teks sekaligus konteks,” kata Sobary yang terhubung secara daring saat itu.
Menurut Sobary, Romo Mangun sangat mengagumi tokoh-tokoh angkatan 45. “Bagi Romo Mangun, bangsa Indonesia ini kalau mau ditelusur sampai saat ini, generasi yang paling keren itu memang generasi angkatan 45. Mereka ini semua orang sekolahan, orang sekolahan betul,” katanya.
Tidak hanya pergi belajar ke universitas, menurutnya, tanda sebagai kaum sekolahan juga terlihat karena mereka berpikir, “mengasah jiwa yang paling pokok, dan tambahannya mengasah otak, akal budi untuk diwujudkan dalam tatanan kehidupan sehari-hari”.
Menurut Sobary, nasionalisme yang dihidupi Romo Mangun bukan gagasan-ideologi dalam pikiran-pikiran yang terlalu muluk-muluk. “Nasionalisme itu wujud beliau memikirkan hidupnya wong cilik. Tanda nasionalisme beliau itu beliau mengadikan hidup bagi kepentingan wong cilik melalui dunia pendidikan dan segala komitmen yang dijalaninya. Salah satunya adalah Dinamika Edukasi Dasar Mangunan. Selain melalui tindakan, Romo Mangun juga menuangkan rasa nasionalismenya melalui pikiran-pikiran yang ditulis dalam teks dan buku. “Jadi beliau itu berpikir dan melaksanakan, atau beliau melakukan tindakan-tindakan yang disebut nasionalisme, gambaran seorang nasionalis dan menjelaskan, menjelaskan dalam teks, dalam teks untuk meraih target audiens yang jauh lebih luas, jauh lebih luas,” kata Sobary.
Sobary pun berkisah, pertemuan dirinya dengan Romo Mangun pertama kali terjadi karena ia membaca novelnya. Setelah membacanya, ia berkirim surat pada Romo Mangun. “Kirim surat seorang anak muda. Saya waktu itu masih mahasiswa di Ramamangun. Mahasiswa Ilmu Sosial di Rawamangun dan punya kekaguman,” katanya. Waktu itu, Sobary sudah menulis di majalah-majalah mahasiswa. Menariknya, Romo Mangun sempat membaca tulisannya di suatu majalah dan berkomentar, “Jangan terlalu menghabiskan waktu untuk berpikir tentang mahasiswa dan politik. Ada wilayah kerja yang jauh lebih luas, jauh lebih penting dibanding mahasiswa, yaitu kehidupan rakyat.” Romo Mangun menaruh hati pada kehidupan rakyat.
Ketika bekerja di Yayasan Indonesia Sejahtera yang memikirkan program-program pendidikan dan kesehatan untuk masyarakat desa, Sobary pun mengundang Romo Mangun. “Ya masyarakat desa itu ya masyarakatnya Romo Mangun, tidak peduli agamanya apa. Beliau juga tidak peduli saya ini agama apa. Itu gak pernah penting. Tapi beliau memberi saya sesuatu yang saya sebut itu semacam proteksi. Proteksi. Jadi saya itu dibimbing, dibimbing,” katanya.
Maka, ketika Sobary menulis buku, ia pun menyampaikan bukunya pada Romo Mangun. Bahkan sesudah Romo Mangun wafat, ia datang ke makam Romo Mangun di Kentungan untuk “melaporkan dan menyerahkan” bukunya. “Saya serahkan buku itu di makam, tapi saya ngomong, Mo, ini karya baru saya,” kenangnya.
Sobary merasa menjadi bagian dari jiwa dan semangat nasionalis Romo Mangun. Jadi, kalau Romo Mangun diusulkan menjadi pahlawan nasional, ia justru merasa dari dulu Romo Mangun sudah pahlawan. “Beliau itu sudah pahlawan, sudah pahlawan di hati rakyat!” katanya.
Entah jadi pahlawan nasional atau tidak, menurut Sobary, yang lebih penting Romo Mangun menjadi orang yang hidup di dalam jiwa masyarakat.
Ia pun mengaku tidak risau dengan golongan, usia, kelompok demografi yang tidak terlalu mengenal Romo Mangun. “Yang namanya golongan milenial, golongan Gen Z dan sejenisnya, mereka tidak tahu itu ya salah mereka sendiri. Saya tidak tahu Bung Karno, tidak tahu. Tapi saya membaca Bung Karno,” katanya.
Menurutnya, Gen Z dan kaum milenial dibiarkan mencari sendiri. “Ya kalau mereka butuh, mereka akan mencari. Seperti generasi saya butuh tahu Bung Karno, butuh tahu Bung Hatta, ya membaca sendiri. Kita nggak tahu Bung Hatta. Kita nggak tahu Takdir Ali Syahbana, itu jauh tempat, tapi kita membaca. Kita tidak tahu Buya Hamka, kita membaca. Kita tidak tahu J.E. Tatengkeng, tapi kita membaca. Jadi, kita tidak tahu itu tidak menunggu guru mengajarkan. Ya, kita mencari sendiri.
Nah, cara hidup seperti ini hendaknya menjadi bagian dari cara hidupnya kaum milenial maupun Gen Z. Kita terlalu banyak mengabdikan pikiran kita, memikirkan kaum Gen Z,” katanya.
Sobary pun menyampaikan, pada masa mudanya, Sobary memerhatikan dan punya “belas kasihan” pada nasibnya sendiri untuk belajar. “Saya mikirkan nasib saya sendiri. Saya fight. Nah, di sana para hadirin yang mulia, fight itu bagian dari survival, dalam hidup. Mengapa survival? Karena kita bukan apa-apa dan kita menjadi bagian dari orang-orang yang mentereng-mentereng di Taman Ismail Marzuki. Ya, mereka hadir, kita juga hadir. Mereka nulis di koran, di Kompas, kita juga nulis, berkarya. Itu artinya kita mendaftarkan diri di hadapan publik supaya publik ingat kita ini ada. Nah, anak-anak Gen Z ini untuk kita kenang, bahwa mereka ada, apa yang mereka lakukan?” katanya.
Bersahabat dengan banyak kalangan
Menurut Sobary, Romo Mangun bersahabat dengan banyak tokoh termasuk tokoh sosialis yang tergabung dalam Partai Sosialis Indonesia (PSI).
“Pejuang yang kiri sekalipun, bagi Romo Mangun, itu tidak menjadi masalah. Yang menjadi persoalan kiri itu pun mereka manusia, yaitu manusia Indonesia yang memikirkan keindonesiaan,” kata Sobary.
Romo Mangun, menurutnya, juga menyanjung-nyanjung Syahrir, menyanjung-nyanjung Bung Hatta, maupun Bung Karno. “Jiwa Romo Mangun itu ditempelkan dalam jiwanya Syahrir, dalam perjuangan Syahrir, begitu pula dalam jiwanya Bung Hatta, Bung Karno dan tokoh-tokoh pejuang,” katanya.
Komitmen nasionalisme tersebut, menurutnya, berhubungan dengan teks yang termuat dalam buku-buku atau kitab-kitab yang dibacanya.
Terkait dengan konteks, menurut Sobary, dalam kehidupan sehari-hari, Romo Mangun disebut sebagai “anak gaul”. “Ya tandanya anak gaul itu beliau dekat dengan dunia media, dekat dengan wartawan senior maupun yang muda-muda. Beliau dekat LSM, senior-senior maupun yang muda-muda. Itu baik yang di Jakarta maupun yang di Jogya. Kalau yang di Jogya, tokoh-tokoh LSM, wah itu kira-kira diasuh. Diasuh oleh beliau dengan asuhan bukan untuk menjadi orang agama yang baik, bukan. Urusan agama itu urusan lain. Asuhan Romo Mangun terhadap tokoh-tokoh lintas agama, lintas agama, beliau bicara dengan siapa saja dalam kelompok agama yang berbeda, tapi yang dibicarakan ialah perkara cinta. Ini kalau kita hubungkan dengan sastra dan religiusitas kita, itu hubungan yang sangat dekat, sangat dekat,” ungkapnya.
Isi gagasan nasionalisme dan religiusitas menurutnya, seperti dua lembar daun sirih. “Dua lembar daun sirih yang satu jatuh ke tanah telentang, satu jatuh ke tanah tengkurep. Wujudnya, kelihatannya beda, kelihatannya beda wujudnya, tapi kalau digigit rasanya sama. Dan itu artinya hubungan dengan kelompok-kelompok agama, beliau menyukai anak-anak non Katolik sebagaimana beliau menyayangi anak-anak muda Katolik. Sama. Sama. Urusannya sama,” kata Sobary.
Romo Mangun, menurutnya, tidak pernah membedakan antara kita dan mereka. “Romo Mangun bicara itu tentang kekitaan. Kekitaan. Tidak peduli orang itu apa agamanya, orang itu aliran politiknya apa. Tidak dipersoalkan. Karena itu melihat kaum PSI, tokoh-tokoh yang tadi itu, tidak ada masalah kalau tokoh-tokoh PSI itu mengabdikan hidupnya bagi Republik. Juga Tan Malaka,” katanya.
Yang istimewa, menurutnya, adalah pertemuan dan persahabatan Romo Mangun dengan Gus Dur. “Kalau Romo Mangun berdua dengan Gus Dur itu, saya tidak pernah menjadi orang ketiga. Biar saja. Biar saja. Berdua. Berdua dengan Gus Dur dan membicarakan. Apa yang dibicarakan nanti kita akan mendengar dari media,” kata Sobary.
Sobary mengaku menikmati suasana ketika Gus Dur dan Romo Mangun, dua tokoh rohaniwan, dua tokoh politik, dua tokoh kebudayaan berbicara tentang kehidupan. Baginya itu pelajaran yang tidak pernah ia dapatkan dalam kuliah-kuliah. “Saya tidak menemukan kuliah antropologi di UI yang berbicara mengenai manusia dan kemanusiaan yang selekat itu, suatu komitmen dua tokoh yang berbeda latar belakang, tapi sama belaka. Sama belaka spirit dan jiwa mereka dalam memikirkan Indonesia dan ke-Indonesia-an,” ungkapnya.
Sobary mengenang pertemuan terakhirnya dengan Romo Mangun waktu Romo Mangun menjadi narasumber dalam seminar di Hotel Le Meridien. “Iya saya ingat momentum itu. Romo Mangun pakai pakaian putih bicara tentang pendidikan,” katanya.
Dalam acara itulah, Romo Mangun mengalami serangan jantung dan berada dalam pelukan Sobary. Ia menyebut peristiwa itu sebagai peristiwa yang anggun. “Peristiwa anggun, peristiwa kemanusiaan ketika antara tokoh yang layak disebut guru, mungkin mahaguru dan tokoh yang lainnya sebagai murid, murid-orang yang sedang belajar dan selamanya belajar, selamanya saya belajar tentang Romo Mangun,” ungkapnya.
Bagi Sobary, nasionalisme dan religiusitas adalah dua tema terdekatnya. “Sehingga saya mengunyah-ngunyah pemikiran di dua tema itu begitu mendekat,” katanya.
Nasionalisme Romo Mangun, menurutnya, bukanlah cerminan ideologi seperti halnya ideologi suatu partai. “Nasionalisme bagi Romo Mangun itu realitas empirik yang diwujudkan perlahan-lahan dalam kehidupan sehari-hari. Realitas empirik hari ini diprediksi untuk menjadi realitas empirik dalam sejarah yang akan datang,” katanya.
Menurut Sobary, Indonesia hendaknya merawat spirit nasionalisme, cinta kepada tanah air, cinta kepada rakyat. “Cinta kepada rakyat itu religiusitas. Dan jangan pernah mencoba-coba menghubungkan religiusitas itu dengan agama. Ketika religiusitas dihubungkan dengan agama, maka religiusitas itu menjadi pikiran ideologi, tempatnya di langit,” katanya.
Religiusitas bagi Romo Mangun, lanjut Sobary, adalah wujud everyday politic. “Everyday politic itu everyday love kepada any human being dalam masyarakat kita. Human being kayak apapun, kayak apapun, adalah human being,” katanya.
Sobary lebih lanjut menyampaikan, saat ini banyak tokoh-tokoh di kanal Youtube, meski tidak dikenal sebagai sastrawan dalam konteks kehidupan sastra Indonesia, namun mereka membuat cerita atau dongeng inspiratif. “Saya setuju dengan itu, karena itu juga sastra dan itu adalah wujud religiusitas. Karena dalam dongeng-dongeng, dalam kisah-kisah itu intinya kejutan dalam hidup. Bohong kalau hidup tidak pernah punya kejutan. Oh, itu bukan hidup,” katanya.
Bahkan, menurut Sobary, kita harus mengejutkan Tuhan meski ia sendiri juga mendapat reaksi normatif dari orang-orang di sekelilingnya karena bagi mereka, Tuhan tidak pernah bisa terkejut. “Itu konsep Tuhan dalam pikiran mereka. Kalau konsep Tuhan dalam pikiran saya, itu Tuhan dalam pikirannya Romo Mangun, dalam religiusitas. Ya, Tuhan ya bisalah terkejutlah, meskipun Tuhan itu sudah tahu kita ingin melakukan apa, Tuhan tahu, sudah menduga, Bung, tapi nanti terkejut. Kita pernah menduga, oh saya akan dibeginikan. Orang ini akan begini, tapi ketika apa yang kita duga, praduga kita itu ternyata benar, masih bisa terkejut, Bung. Ternyata benar, wah kaget gua. Dia benar melakukan apa yang saya duga,” katanya.
Baginya, Tuhan tahu ketika kita merencanakan sesuatu. Namun, ketika kita punya rencana, sering kali dalam pelaksanaan tidak kita wujudkan. “Entah karena apa kita sudah mempunyai rencana muluk-muluk, bagus-bagus tapi ketika tiba pelaksanaan itu tidak kita laksanakan. Tuhan tahu rencana tapi nggak ada pelaksanaannya, nah, Tuhan nggak terkejut, nggak terkejut,” katanya.
Ia menyampaikan ilustrasi Tuhan terkejut dalam peristiwa semacam ini. Ketika parkir, kita tidak memberi uang 5 ribu rupiah ke tukang parkir. Itu biasa. “Itu kemanusiaan universal,” selorohnya. Menurutnya, kita mesti menjadi yang spesifik. “Jadi, kepada tukang parkir itu apa salahnya kalau kita kasih diam-diam itu lembaran 100 ribu. Boleh. Tukang parkir boleh mengira kita keliru. Wah, Bapak itu keliru ini,” katanya mencontohkan.
Menurut, Sobary, dianggap keliru oleh tukang parkir itu baik. “Itu tanda kita ikhlasnya ikhlas. Kalau tukang parkir itu tahu kita dan kita memberi 100 (ribu). Wah, memang Bapak itu orang murah hati, ya nggaklah itu, nggak ada kejutannya apa-apa. Nah, kejutan pada manusia itu sekaligus merupakan kejutan pada Tuhan. Ini contoh kehidupan yang sangat periferal. Tipis. Pinggiran,” katanya.
Sobary pun mengajak supaya kita membuat Tuhan terkejut itu dengan contoh-contoh yang sentral dalam hidup kita. “Kita boleh memanggul gereja ke sana kemari. Boleh. seperti halnya orang Islam mau memanggul masjid ke sana kemari. Boleh. Itu untuk identitas. Tapi itu belum, belum mengatakan apa-apa. Membawa gereja atau membawa masjid itu belum, belum mengatakan apa-apa. Itu hanya identitas fisik. Nah, identitas yang bukan fisik yang jiwani, yang spiritual, yang rohaniah itu kalau kita tidak membawa gereja, tidak membawa masjid, tapi kita mengamalkan ajaran dalam gereja dan ajaran dalam masjid itu di dalam kehidupan sehari-hari, di dalam masyarakat kita yang ruwet ini,” kata Sobary.
Menurutnya, dalam kehidupan yang ruwet banyak orang tidak percaya masih ada orang berhati baik. “Zaman modern sekarang ini ora ono wong apik, ora ono wong murah hati, ora ono wong penolong. Ah, patahkan dalil itu, patahkan dalil itu. Kita mematahkan dalil sosial bahwa di dalam hidup modern sekarang tidak ada orang baik. Ada. Kitalah orang baik itu. Kita wujudkan. Itulah nasionalisme dalam hidup sehari-hari. Itulah nasionalisme yang kita wujudkan sebagai rasa cinta,” katanya.
Menurutnya, nasionalisme dalam konteks ini bukan menjunjung altar, tapi memuliakan dunia yang namanya pasar. “Di pasarlah kita memuliakan Tuhan dan semua ciptaan Tuhan. Itulah mengejutkan Tuhan yang betul-betul membuat Tuhan terkejut. Saya percaya. Lebih percaya bahwa imajinasi kita tentang teologi, tentang dunia spiritual itu kalau kita memasukkan konsep Tuhan terkejut, itu niscaya, niscaya itu ajaran moril yang sejati,” tegas Sobary.