Ajaran Sosial Gereja (ASG) dalam hubungannya dengan arus digital dan sinodalitas telah menjadi tema Gereja universal, Konferensi WaIigereja Indonesia (KWI) dan keuskupan-keuskupan kita. Romo Albertus Bagus Laksana, SJ menyampaikan hal itu dalam seminar daring “Sinodalitas dalam Arus Digital: Relevansi Ajaran Sosial Gereja Menghadapi Era Society 5.0” pada 7 Agustus 2024.
Dalam seminar yang dihelat untuk memperingati 100 tahun KWI itu, Romo Bagus, menyampaikan bahwa Society 5.0 sering disebut juga masyarakat super cerdas.
Dalam masyarakat yang super cerdas itu, semua terkoneksi seperti informasi, big data, internet of things, kebutuhan, kehendak atau aspirasi. Semua itu terintegrasi dan tersistematisasi. Dalam masyarakat itu juga terintegrasi teknologi kehidupan manusia dan kehidupan masyarakat bahkan juga politik. Bisa jadi, hidup dalam masyarakat seperti itu sangat nyaman.
“Kalau dulu itu mungkin sistem kita, pekerjaan kita atau kita sendiri merasa overloaded, merasa limited, nanti kita akan merasa empowered, karena bantuan teknologi, robot, AI, dan sebagainya. Kalau dulu overloaded nanti organized, semua data itu diorganisir, termasuk data-data preferensi kita. Tidak hanya data-data yang mengenai hal-hal di luar kita, tetapi bahkan data-data mengenai diri kita sendiri ya,” kata Romo Bagus.
Dengan demikian, menurutnya, ada potensi kita akan terbantu untuk mengatur hidup kita, untuk membuat hidup kita lebih efisien, lebih nyaman dan sebagainya. “Kalau dulu orang itu terisolasi, nanti connected meskipun mau terisolasi tapi tidak perlu khawatir, karena selalu ada bantuan di sekitar kita lewat sistem. Tidak lagi mengandalkan kehadiran orang secara fisik, tetapi bantuan-bantuan yang terintegrasi dalam sebuah sistem yang berlaku untuk masyarakat semuanya. Ini cita-citanya ya, belum menjadi kenyataan. Tetapi arahnya ke situ, sudah banyak step ke sana. Kalau dulu itu all by oneself, nanti itu network assisted. Kalau dulu kita melakukan semua sendiri, nanti kita akan dibantu oleh network, bahkan Gereja pun sering disebut eklesiologi zaman sekarang itu Network Church. Gereja yang berjejaring ya, yang eksistensinya itu ada dalam jaringan. Jaringan itu bukan sarana saja, tapi jaringan sudah menjadi medium keberadaan Gereja itu,” kata Rektor Universitas Sanata Dharma itu.
Menurutnya, masyarakat mengalami perkembangan mulai dari Society 1.0 ketika orang masih berburu, Society 2.0 ketika masyarakat mulai bertani (agraris), Society 3.0 masuk era industri (industrial society/revolusi industri), Society 4.0 atau yang sering disebut masyarakat informasi, dan nantinya adalah Society 5.0 atau creative society, masyarakat yang kreatif dan cerdas karena ada digitalisasi, transformasi, AI, big data dan sebagainya, akan ada kemudahan-kemudahan.
Dalam hal kesehatan, orang yang hidup dalam Society 5.0 akan sangat terbantu. “AI bagian dari Society 5.0 itu, AI akan membantu dia, akan sudah punya real time physiological data, data-data mengenai tubuh dia, mengenai semua hal itu sudah ada, real time. Lalu, ada medical data, environment data kemudian medical site info, di mana dia bisa berobat dan sebagainya, tidak membutuhkan banyak hal yang sulit gitu ya. Semua sudah langsung disediakan gitu,” katanya.
Selain dalam bidang kesehatan yang menjanjikan kenyamanan hidup dan dukungan kesehatan, Society 5.0 juga memengaruhi cara hidup kita. Romo Bagus memberi ilustrasi. “Kalau mau nyetir, mau ke mana, satu keluarga yang satu mau jajan bakso, yang satu segera mau ke mal, yang lain mau ke toko buku dulu atau apa, yang lain minta informasi mengenai weather, mengenai cuaca, yang lain sedang berpikir mengenai hotelnya nanti apa, dan sebagainya, itu langsung bisa disediakan dengan big data itu. Ada personal history, ada database dan sebagainya. Jadi kalau yang mau segera jalan-jalan lihat sesuatu yang menarik segera bisa. Mau jajan juga bisa, rutenya juga menghindari yang macet dan sebagainya,” katanya.
Menurut Romo Bagus, singkatnya Society 5.0 itu ditandai oleh integrasi antara hidup dan teknologi, antara environment dan teknologi, human environment–physical environment dengan teknologi dengan sangat erat. Bahkan sampai ke financial, pendidikan, food, dan auto mobil.
Dalam kemajuan itu, menurutnya, yang dibutuhkan adalah literasi baru seperti literasi data, literasi teknologi, maupun literasi manusia itu sendiri seperti humaniora, komunikasi, desain, literasi teologis, literasi spiritual, literasi komunal sebagai Gereja yang sinodal dalam Society 5.0 dengan segala kompleksitas dan problematikanya.
Persoalan Society 5.0
Dalam Society 5.0, Romo Bagus melontarkan pertanyaan mendasar, apakah manusia akan menjadi korban teknologi atau campuran antara manusia dimuliakan tetapi sekaligus menjadi korban dominasi integrasi antara teknologi dan masyarakat yang sangat ketat itu? Siapa yang punya kuasa mengontrol hidup seperti itu?
Mungkin hidup akan sangat dimudahkan, namun bukan hidup yang sepenuhnya. “Karena ada kecenderungan mungkin yang dimuliakan atau yang disejahterakan kebanyakan ke arah material ekonomis, hidup material saja,” katanya, meskipun juga ada aspek kesehatan. Namun, yang spiritual bisa jadi tidak sampai.
“Pertanyaan lain adalah dan ini menjadi jantung dari pertanyaan Gereja dalam Ajaran Sosialnya adalah apakah itu adil? Bagaimana Society 5.0 itu berurusan dengan keadilan, menjamin keadilan bahwa yang menikmati kesejahteraan itu, yang punya akses pada masyarakat yang super cerdas itu adalah semua? Apakah ini sebuah open and justice society. Apakah menjadi masyarakat yang terbuka dan juga adil? Apakah akan mengurangi kesenjangan? Mana buktinya bahwa ini mengurangi kesenjangan di dunia global, tidak hanya di yang lokal ya?” demikian pertanyaannya.
Sementara itu, dengan adanya Society 5.0, ada pekerjaan yang selama ini dihidupi masyarakat hilang, meskipun selalu dalam teori mengenai perkembangan teknologi itu akan tercipta pekerjaan yang baru.
“Tetapi tetap dalam transisi itu ada korban-korban tertentu yang harus kita perhatikan sebagai Gereja yang punya komitmen ajaran sosial itu, yang mungkin akan sangat menuntut kita,” katanya.
Menurutnya, akan ada masa transisi yang cukup berat untuk masyarakat-masyarakat tertentu yang akan kehilangan pekerjaan. “Konon katanya sekarang ini di era sekarang atau nanti, Society 5.0 ketika berjalan dengan full gitu ya, orang itu akan berganti pekerjaan minimal atau rata-rata 12 kali, antara 10 sampai 15 kali seumur hidupnya. Sampai dia pensiun itu dia perlu ganti pekerjaan sekian kali itu. Nah, masalahnya itu apakah semua orang bisa mempunyai skill, namanya upskilling untuk menavigasi dunia pekerjaan yang didisrupsi oleh teknologi ini, oleh AI dan sebagainya?” ungkap Romo Bagus.
Para pekerja mungkin menjadi lebih bebas bergerak memilih pekerjaan tidak tergantung pendidikannya, namun menurut Romo Bagus, ada kerapuhan tertentu, jaminannya lemah bahwa akan bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. “Bagaimana kalau dia sakit, kalau dia menjadi tua kalah bersaing, tidak mampu menguasai teknologi yang baru di tempat yang baru. Nah, maka sekali lagi pentingnya pendidikan upskilling nanti sebagai bagian dari masyarakat ini. Tapi itu tanggung jawab siapa? Apakah itu tanggung jawab negara upskilling itu? Biayanya dari mana kalau orang mau menaikkan kemampuan tetapi nggak punya biaya? Nah, apakah Gereja kemudian dalam ajaran sosial dan praktik sosialnya perlu memperhatikan topik ini, upskilling untuk warga?” ungkap Romo Bagus.
Kesejahteraan bersama (common good)
Dalam ASG, kesejahteraan bersama mendapat porsi besar. Hal itu termuat dalam berbagai ajaran dalam ASG. Paus Fransiskus sendiri menyampaikan tentang common good dalam ensikliknya seperti Laudato Si’ mengenai common good berhubungan dengan alam semesta, bumi sebagai rumah bersama, tetapi juga dalam Fratelli Tutti mengenai common good dalam pengertian persaudaraan universal.
Pertanyaan dasarnya, seperti yang disampaikan Romo Bagus adalah, apakah Society 5.0 itu membantu kita mencapai the common good itu dan apa itu the common good yang baru ya?
“Saya kira secara umum AI dan Society 5.0 punya potensi untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan lingkungannya. Ada bukti-bukti nanti AI for good itu sebuah gerakan global di banyak negara, menggunakan AI for good, untuk kebaikan bersama gitu ya, menyelesaikan masalah-masalah global. Seperti pemanasan global itu ternyata dengan AI itu lebih gampang diantisipasi kemudian dilokalisir , kemudian datanya di-gather gitu, dikumpulkan dengan lebih cepat, lebih banyak datanya dari seluruh dunia, seluruh bumi. Kemudian mitigasi bencana dan sebagainya bisa direncanakan dengan lebih baik meskipun tetap butuh leadership, meskipun butuh partisipasi dalam bahasa sinode. Kan salah satu poinnya partisipasi dan juga Ajaran Sosial Gereja, menekankan itu,” katanya.
Demikian menurutnya, dalam ketahanan pangan, juga, penemuan penyakit pun demikian. “AI itu sangat kuat kemampuannya ketika harus menafsirkan data yang banyak jumlahnya. Kalau dokter atau ahli sendiri sulit. Pakai AI itu cepat menemukan hal-hal yang berguna untuk penanggulangan kesehatan. Nah, AI diumpamakan seperti penemuan api dan listrik dalam peradaban manusia. Jadi akan menjadi bagian dari hidup kita, nggak bisa ditolak. Itu seperti api dan listrik menjadi kebutuhan kita ya,” ungkapnya.
Meskipun demikian, ada potensi negatif yaitu ancaman penggunaan AI untuk senjata dan perang. “Paus Fransiskus beberapa kali mengenai AI dia di depan G7 dan sebagainya itu mengutuk ini,” katanya.
Oleh karena itu, menurut Romo Bagus, AI dalam Society 5.0 membutuhkan regulator dan regulasi yang menjaga martabat manusia, kesejahteraan umum dan etika. Hal itu dilakukan untuk mengedepankan kesejahteraan bersama, bukan kepentingan perusahaan-perusahaan besar yang mempunyai AI meski investasinya sangat besar, triliunan dolar.
Romo Bagus melihat, pada saatnya, perusahaan itu nanti akan melakukan monetize, mengambil keuntungan dari AI itu meski yang sekarang mungkin masih gratis.
“Jadi, mereka punya kepentingan besar untuk mengembalikan modal dan mungkin juga mengambil keuntungan lebih. Itu normal. Maka, kalau ini berpengaruh untuk kehidupan manusia seluruhnya , tetapi ada pemain-pemain yang sangat besar, Ajaran Sosial Gereja itu menuntut supaya ada regulasi yang adil, juga negara-negara yang lemah, masyarakat-masyarakat yang lemah perlu diberi pencerahan dan di-empowered supaya mereka punya voice, punya suara untuk membuat regulasi lebih adil untuk mereka,” ungkap Romo Bagus.
Hal yang paradoks, meski kita sedang menuju Society 5.0 yang katanya masyarakat super cerdas, namun itu berjalan bersama dengan fenomena krisis demokrasi, berkembangnya populisme dan demagogi di banyak negara. Di negara Amerika Serikat yang terkendal demokratis terjadi penembakan pada Donald Trump.
PM Viktor Orban di Hungaria berpidato rasis. Politik sayap kanan menguasai Parlemen Uni Eropa. Di Filipina, anak diktator 25 tahun lalu bisa memenangkan pemilu. Di Indonesia sendiri kualitas demokrasinya merosot.
Romo Bagus melihat ada fenomena teori Spin Dictatorship. “Menjadi diktator di zaman sekarang itu nggak pakai kekerasan. Itu pakai hukum, pakai prinsip demokrasi. Dia bisa menang, bisa menguasai semua. Pemilu menang terus, oposisi bisa dibekuk, dibungkam dengan gampang dengan banyak cara-cara yang legal dan demokratis. Ini diktator yang punya kemampuan men-spin ya, men-twist informasi, bermain dengan media seperti Society 5.0 ini, dengan AI juga itu mereka piawai,” katanya.
Romo Bagus memperlihatkan adanya perkembangan Society 5.0 yang berkelindan dengan lemahnya demokrasi. “Padahal Ajaran Sosial Gereja menuntut agar ada partisipasi dari warga manusia sebagai warga manusia, sebagai manusia yang punya kehormatan dan dignity itu mesti berperan,” katanya.
Karakter dan prinsip Ajaran Sosial Gereja
Menurutnya, visi dan etos ASG itu berpusat pada manusia dalam keutuhannya, bukan pada manusia sebagai individu dalam dirinya sendiri. “Dalam konteks masyarakat yang semakin bermartabat tujuannya ke sana di mana Gereja berperan menghadirkan Kerajaan Allah secara nyata. ASG ada karena Gereja menghormati martabat manusia secara keseluruhan. Tapi Gereja juga ingin agar ada peran di sana dalam menyejahterakan manusia yang sosial itu ya. Dan sifat ASG itu kompleks dan luas. Semua hal itu dibahas ya: sosial, ekonomi, politik, alam semesta, teknologi juga dibahas, terhubungkan dengan tradisi ajaran dan pemikiran teologis yang lebih luas dan mendalam,” katanya.
ASG basis teologinya sangat kuat. “Ini bukan hanya sekadar social policy, policy ya, kebijakan sosial Gereja, tetapi sebuah teologi yang kemudian mewujud di dalam visi mengenai manusia dalam masyarakat, mengenai masyarakat yang adil dan peran Gereja di dalamnya,” tutur Romo Bagus.
Maka, dengan demikian, ASG bisa merespons hal-hal baru seperti Society 5.0. “Ajaran Sosial Gereja itu begitu kaya. Seperti pohon itu berkembang ke mana-mana gitu ya. Dasarnya adalah iman yang privat dan publik, dan komunal dan bahkan kosmik. Bukan iman yang privat, bukan agama yang privat hanya mengenai aku dan Tuhan di dalam lubuk hatiku yang terdalam, tetapi juga hidup kemasyarakatan, hidup sosial, implikasi sosial dari iman dan sebagainya. Implikasi kosmik bahkan. Maka, Ajaran Sosial Gereja itu bersifat open minded, terbuka. Jadi bisa diperdebatkan nanti tafsirannya dan relevansinya. Tidak seperti ajaran Gereja yang bersifat dogmatis atau dalam hal moral seringkali lebih sangat khusus,” katanya.
Selain lebih open minded, ASG, menurutnya, juga bukan solusi yang teknis, yang fixed dan manjur untuk segala situasi. “Perlu ada negosiasi-negosiasi dan hari ini kita juga menyentuh itu. Konteks Indonesia dalam arus digitalisasi itu menjadi konteks kita. Maka menerapkan ASG itu adalah sebuah seni, bukan sekadar penerapan, teorinya begini, penerapannya begini, seakan-akan hubungannya itu linier ya, antara teori dan praktik gampang. Tetapi sebuah penerapan yang penuh seni ya, harus kreatif dan kontekstual,” ujar Romo Bagus.
Namun, yang menarik dari aspek ASG, menurutnya, adalah adanya etos keterlibatan Gereja. “ASG itu ada karena kita itu mau terlibat. Ini bukan teori untuk orang lain. ASG ini adalah tuntutan untuk warga Gereja, juga mungkin dan terutama sering kali juga menuntut dunia begitu ya, tetapi ini bukan blueprint untuk orang lain. Gereja sendiri harus berperan di dalamnya. Maka, harus ada budaya keterlibatan pada kebaikan bersama yang kita libati, tetapi semoga masyarakat yang lebih luas, unsur-unsur masyarakat lain juga tergerak gitu ya. Paus Fransiskus karena hal-hal seperti ini diundang ke kongres Amerika Serikat dan diundang ke G7 ya, negara-negara maju itu, karena dia adalah suara moral sosial ini yang didengarkan. Bukan hanya untuk Gereja sendiri, tapi masyarakat lebih luas. Tapi sekali lagi Gereja dengan sinodalitasnya, tahun-tahun terakhir ini mau membuktikan diri sebagai Gereja yang terlibat itu ya,” katanya.
Demikian halnya dengan sinodalitas. “Sinodalitas itu saya kira bagian dari ASG yang sangat penting, karena ASG membutuhkan keterlibatan itu. ASG itu punya aspirasi, prinsip universal dan partikular ya, bergerak dalam ranah universal, berlaku umum tetapi juga sangat khusus,” katanya.
ASG menyentuh martabat setiap manusia, hak asasi manusia, solidaritas, kebaikan bersama, kesejahteraan bersama (common good), partisipasi, hak buruh, kepemilikan pribadi, perdamaian, keutuhan ciptaan, solidaritas dan subsidiaritas. Bahkan keluarga juga mendapat perhatian.
Tentang subsidiaritas dan peran sewajarnya dari pemerintah juga mendapat perhatian ASG. “Kalau pemerintah nggak berperan, ASG, Gereja juga mengkritik. Kalau pemerintah terlalu kuat seperti diktator meskipun itu spin dictator, itu juga dikritik ya, serta kerja sama antar pemerintah dan lembaga internasional. Maka sekali lagi paus sebagai pemimpin kita berada dalam level itu juga,” katanya.
ASG: Konteks Indonesia
Menurutnya, dalam konteks Indonesia, ASG harus dibumikan. “ASG saya kira juga harus dibumikan memberi sumbangan pada ASG sebetulnya, konteks Indonesia ini,” katanya. Dalam hal ini, Gereja Indonesia yang sinodal yakni Gereja yang mendengarkan aspirasi bangsa menjadi sangat penting.
Romo Bagus melihat ada hal baik mengenai kreativitas unik dalam kebangsaan yang menyatukan. Meski demikian semua itu hidup dalam tegangan-tegangan. “Nilai tradisional dan modern di tengah modernitas itu, juga demokrasi, keragaman agama dan spiritualitas yang ada dalam tegangan dengan pandangan radikalisme dan tribalisme juga,” katanya.
Demikian juga nilai-nilai budaya tradisional yang masih hidup meskipun sedang berhadapan dengan arus budaya baru yang individualistik, superfisial dan teknokratis. Selain itu ada ada budaya urban, jaringan kreatif yang hidup dalam kultur digital.
“Nah nilai-nilai ini menjadi pengawal untuk pengembangan Society 5.0 agar tidak meminggirkan budaya kreativitas bangsa ini, tetapi membantu termasuk membangun karakter dan resiliensi warga Indonesia terutama kaum muda dalam memasuki masyarakat super cerdas ini. Sekali lagi demokrasi, partisipasi warga dan tanggung jawab pemerintah kita yang akhir-akhir ini menurut kita juga agak krisis gitu itu perlu ditekankan,” harapnya.
ASG, sinodalitas dan demokrasi transisional
Di tengah kemajuan teknologi dalam Society 5.0, ada potensi terpinggirkannya masyarakat yang rapuh. Dalam situasi itu mesti hadir. Selain itu, dalam perkembangan teknologi dan masyarakat 5.0 yang berkelindan dengan populisme, dengan turunnya indeks demokrasi, korupsi yang marak, dan kaum muda yang sulit melek politik, Gereja mesti berperan lebih besar. “Maka ini undangannya adalah Gereja berperan agak lebih besar lagi secara khusus di dalam demokratisasi. Ini bagian dari ASG yang besar ya, martabat manusia dalam sistem politik demokrasi,” katanya.
Menurutnya, Gereja juga mesti menyadari seperti yang dicetuskan Rahul Dodhia, ahli AI for Social Good, teknologi memang bisa membantu kecepatan dan ketepatan tanggapan kita pada bencana maupun krisis global. “Tetapi yang dibutuhkan juga adalah strategi komprehensif, menggabungkan kekuatan AI dengan kebijakan-kebijakan publik dan tindakan kolektif. Dibutuhkan pemimpin yang baik di bidang politik, sains dan perusahaan swasta dan organisasi sosial. Jadi Gereja di sini masuk sebagai organisasi sosial keagamaan. Butuh leadership supaya AI, supaya teknologi di dalam masyarakat Society 5.0 itu bisa efektif gitu ya. Kalau teknologi saja ada yang bilang technology is nothing, teknologi itu tidak ada gunanya kalau tidak ada kebijakan pemimpin masyarakat yang mengarahkan semuanya gitu ya. Tindakan kolektif juga Gereja itu selalu dengan Ajaran Sosial Gerejanya ingin memobilisasi warganya dan masyarakat supaya bertindak kolektif,” katanya.
Hak milik pribadi
ASG, menurutnya, membela hak milik pribadi, tetapi juga menekankan dimensi sosial dari hak milik pribadi itu. “Tidak membela kapitalisme buta, tapi juga tidak menyerang komunisme total. Ada keseimbangan sosial dalam hak milik. Masalahnya dalam era Society 5.0 itu adalah masalah privacy ya. Kita semua tahu data kita ini sudah tidak privat lagi. Kemarin ada skandal apa itu pembobolan, peretasan Pusat Data Nasional gitu ya. Pemerintah dituntut kurang bertanggung jawab dan sebagainya. Lalu ada fenomen surveillance capitalism, kapitalisme yang teknologinya itu menyerap data-data pribadi kita, dijual ke pihak-pihak tertentu, nothing is private anymore sekarang katanya ya. Nah, ini kan hak milik kita yang paling suci kan ya, privacy itu sebetulnya. Bukan tanah, bukan uang, tetapi mungkin privacy itu. Nah, ini terancam bagaimana ASG itu menantang para pengambil kebijakan, para pemegang data itu, perusahaan-perusahaan untuk menghargai hak milik pribadi,” katanya.
ASG, tantangan pendidikan dan pastoral dalam Society 5.0
Saat ini muncul fenomena krisis kewargaan. Banyak warga semakin menghidupi semangat hidup privat, tidak publik. Kalau itu makin parah, maka warga merasa hidup nyaman secara pribadi, mau hidup sendiri. Dalam situasi itu, Romo Bagus menyampaikan pertanyaan reflektif, eksistensi kita sebagai warga tanggung jawab sosial kita di mana?
“Maka, kita perlu nanti juga berperan secara sosial ya, mendampingi mereka yang tersingkir dalam transisi ekonomi ini. AI akan membantu pekerja, membebaskan pekerja dari tugas tertentu agar mereka bisa berfokus pada tugas yang lebih tinggi dan kompleks katanya, tetapi apakah semua pekerja bisa melakukan tugas yang lebih tinggi dan kompleks itu sepanjang hidupnya sampai dia pensiun? Apakah semua pekerja yang terimbas AI bisa menyesuaikan diri dengan cukup cepat gitu ya, terutama mereka yang memiliki keterbatasan pendidikan, umur, kesehatan, mental dan ekonomi?” ungkapnya
Dalam soal literasi dan resiliensi, kita juga mempunyai masalah. Menurutnya, masyarakat Society 5.0 mempunyai pola-pola baru dalam relasi yang memengaruhi resiliensi mereka sebagai pribadi. Beberapa di antaranya yang cukup mencuat adalah keuangan online, judi online, pinjaman online, relasi online, bahkan terjadi sexual abuse. “Ini bagian dari perkembangan masyarakat sekarang, begitu mudahnya mengakses relasi, tetapi begitu rapuhnya juga relasi yang ada di sana itu dan potensinya adalah mengorbankan hak asasi, dignity dari orang-orang termasuk anak-anak kita. Maka, kita perlu mendengarkan seruan ASG mengenai manusia yang bermartabat itu untuk pendampingan ya. Secara pastoral, saya kira kita harus punya cara-cara baru mendampingi anak-anak kita, generasi kita yang terpapar pada Society 5.0,” ungkapnya.