Oleh BAVO BENEDICTUS SAMOSIR, OCSO*
Ia masuk ke ruang pengakuan lalu mengenakan stola di atas pundaknya dan membiarkan ujung stola menjuntai ke bawah ke bagian depan. Kemudian ia mendudukan dirinya dengan posisi tegak lurus di kursi yang tanpa sandaran bagi punggungnya, menunggu umat Allah yang mau kembali kepada-Nya untuk menerima belas kasih pengampunan. Manusia tidak pernah luput dari dosa, untuk itu kita memerlukan rahmat pengampunan agar rahmat pengudusan yang telah diterima melalui baptisan suci dipulihkan kembali dan kemudian berusaha menjalani kehidupan sesuai dengan ajaran Kristus.
Kristus mempercayakan rahmat belas kasih pengampunan melalui Gereja (Yohanes 20:21-23, Matius 16:19. 18:18). Dan saat ini, keberadaannya di ruang pengakuan ini untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan Gereja kepadanya sebagai imam. Tiba-tiba dirinya yang melayang dengan pemikiran tersebut tersadarkan dengan kedatangan seorang umat. Umat tersebut berlutut di hadapannya dan ia mengawali dengan berkat tanda kemenangan Yesus di Kayu Salib..
Kita adalah makhluk hidup yang diciptakan Allah menurut gambaran-Nya sendiri. “Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya sendiri, menurut gambar Allah diciptakannya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan mereka.” (Kejadian 1:27). Apa artinya menurut gambar Allah? Sebagai gambaran Allah, itu berarti bahwa kita mencerminkan sifat-sifat Allah, kita menampilkan kemuliaan Allah. Sebagai manusia yang dianugerahi gambaran-Nya, segala kebaikan yang ada di dalam diri kita bersumber dari Allah sendiri. Allah menjadi sumber seluruh keberadaan dan segala sesuatu yang baik dalam ciptaan-Nya. Tanpa Allah tidak ada realitas (termasuk manusia) karena hanya Allah yang menjadi sumber realitas.
St. Agustinus berpendapat bahwa gambar Allah (imago Dei) itu dimiliki manusia di dalam ingatan, pemahaman dan kehendak bebasnya. Gambar Allah ini menempatkan kita manusia di atas semua ciptaan lainnya. Dengan gambaran Allah inilah manusia selalu terarah kepada Tuhan untuk memenuhi tujuan utama kita sebagai ciptaan-Nya, yakni memuliakan Dia selama-lamanya, baik di dalam doa dan juga dalam tindakan. Dan sebagai ciptaan yang segambar dengan Allah, kita memiliki tanggung jawab untuk memelihara ciptaan (Kejadian 1:28).
Namun Adam dan Hawa tidak taat pada Allah dengan melanggar perintah-Nya. Mereka memakan buah yang dilarang untuk dimakan. (Kejadian 3:1-7). Dengan memakan buah terlarang, berarti mereka menyalahgunakan kebebasan yang mereka miliki sebagai gambaran-Nya. Kebebasan yang mereka miliki, mereka gunakan untuk memilih melanggar perintah Pencipta mereka sendiri. Ketidaktaatan Adam dan Hawa merusak seluruh gambaran Allah dalam diri mereka, namun tidak menghilangkan gambaran tersebut. Gambaran Allah telah rusak total sehingga persekutuan manusia dengan Allah hilang. Mereka terasing dari Allah yang sebelum jatuh dalam dosa telah mereka kenal melalui gambaran Allah yang mereka miliki sebelum rusak oleh dosa. Keadaan tersebut diwariskan kepada kita semua sebagai anak cucu Adam dan Hawa (Roma 5:12), yang kita sebut dosa asal, artinya di dalam diri kita ada kecendrungan untuk berbuat dosa, meskipun kodrat manusia diciptakan untuk berbuat baik. Di dalam diri manusia ada dua unsur yang saling bertentangan, yang baik dan yang buruk
Thomas Merton mengatakan unsur baik dan buruk di dalam diri kita, membentuk pribadi yang sejati (true self) dan pribadi yang palsu (false self). Pribadi yang sejati adalah ketika kita mencerminkan karakter Tuhan dalam kehidupan kita sehari-hari, misalnya mengasihi sesama dengan mengampuni yang bersalah kepada diri kita, memberi bantuan kepada sesama yang butuh pertolongan, membela mereka yang tertindas dalam masyarakat kita, mengusahakan keadilan sosial bagi semua orang tanpa terkecuali. Namun di dalam diri kita tidak hanya ada benih-benih yang baik tetapi juga benih-benih yang buruk, kecendrungan untuk berdosa akibat dosa asal. Benih-benih buruk yang ada dalam diri kita seperti kebencian, amarah, dendam, segala tindakan yang hanya semata-mata berdasarkan kehendak dan kesenangan pribadi dan tidak mencerminkan kebaikan dan kekudusan Allah. Saat itulah kita berada dalam situasi pribadi yang palsu.
Kita dapat dibebaskan dan lepas dari diri yang palsu hanya melalui anugerah Allah. Allah melalui Putra-Nya telah menebus kita dan memulihkan gambaran yang telah rusak akibat dosa dan menciptakan “manusia baru, yang diciptakan serupa dengan Allah dalam kebenaran dan kekudusan sejati (Efesus 4:24 ). Penebusan itu hanya dapat diperoleh melalui kasih karunia Allah (Efesus 2;8). Melalui Kristus, kita dijadikan ciptaan baru yang serupa dengan Allah (2 korintus 5;7).
Dia keluar dari ruang pengakuan dengan rasa damai dan ringan karena beban dosanya telah diampuni (Matius 11:28-29). Ia teringat kembali pesan dari imam yang memberi absolusi atas nama Kristus tersebut, mengatakan bahwa Allah itu Maha Kasih. Bagaimanapun keadaan kita, Ia tetap mengasihi kita, sekalipun kita jatuh dalam dosa dan kesalahan, asal kita menyesali dan mau kembali kepada-Nya. Hidup ini adalah sebuah proses terus menerus untuk kembali kepada-Nya, untuk mengarahkan diri kita kepada Dia sebagai gambaran sejati diri kita. Atas bantuan anugerah-Nya, ia berjanji berusaha agar pilihan dan kebiasaan hidup sehari-hari digerakkan oleh keinginan untuk menggambarkan Allah Bapa yang penuh kasih. Kemudian ia menjalankan penitensi dengan berlutut menghadap Sakramen Maha Kudus.
Penulis adalah Rahib dan Imam – Mount St. Yoseph Abbey –Roscrea Co. Tipperary- Irlandia.
Saat ini sedang berada di Rawaseneng.