Berbicara dari Keheningan Hati

Oleh BAVO BENEDICTUS SAMOSIR, OCSO*

 

Di awal ia memeluk hidup kerahiban, ia sudah menyukai keheningan dalam kehidupan sehari-hari meskipun ia tidak terlalu banyak mengerti akan tujuan keheningan yang ia jalani. Yang pasti ia mengalami rasa damai di hati dan keheningan sangat membantunya untuk berdoa secara pribadi dan bersama komunitas. Sebagai seorang pribadi yang pendiam, tidak sulit baginya dalam menjalani keheningan: ia tidak akan berbicara di waktu keheningan yang memang diharuskan.

Namun di kemudian hari, setiap kali ia mengingat penghayatan keheningan di awal ia menjalani hidup kerahiban, kadang ia tersenyum karena keheningan sejati itu bukan sekadar menahan diri untuk tidak berbicara, bukan hanya sekadar suka menjalaninya dan bahkan juga bukan hanya sekadar ingin merasakan kedamaian di hati.

Keheningan itu bukan hanya sekadar tidak berbicara karena sebagai mahluk sosial tentu kita perlu berkomunikasi dengan berbicara saat kita berelasi dengan sesama. Jika kita menghayati keheningan hanya sekadar menahan diri untuk tidak berbicara, itu bukan keheningan yang sejati. Keheningan seperti itu tidak memilki arti apapun dalam kehidupan rohani. Keheningan bukan tentang boleh atau tidak boleh berbicara tetapi tentang relasi kita dengan Tuhan yang ada di hati kita. Dalam keheningan sejati, yang perlu selalu kita sadari bahwa kita  berkomunikasi, membuka hati kita untuk mendengarkan Tuhan yang ada dalam hati kita. Tuhan yang selalu membimbing kita dalam kehidupan harian, juga ketika kita sedang berbicara kepada sesama. Sesungguhnya  keheningan tidak bertentangan dengan berbicara namun memampukan seseorang berbicara atau berkomunikasi dengan baik.

Dalam budaya zaman sekarang, kita diberi kebebasan untuk berbicara,  untuk mengungkapkan pandangan atau menyampaikan protes jika terjadi ketidakadilan dalam kehidupan sosial. Di satu pihak ada sesuatu yang positif, yakni kita diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri. Namun di sisi lain, dapat terjadi hal yang negatif yakni kita berbicara dengan tidak terkontrol. Orang tidak lagi memikirkan apa yang perlu dikatakan dan yang tidak perlu dikatakan. Kata-kata yang diucapkan menjadi tidak berkualitas bahkan tidak bermakna. Di media sosial banyak orang menyampaikan pernyataan mereka tanpa mengikuti rambu-rambu dalam berkomunikasi. Media sosial menjadi tempat untuk saling menyerang satu sama lain dengan kata-kata.

Dalam realita kehidupan, khususnya dalam dunia politik dan birokrasi, sering kali kata-kata atau berbicara justru digunakan untuk memanipulasi, menipu, memojokkan bahkan mengancam orang lain demi kepentingan diri sendiri. Kata-kata atau berbicara sering digunakan sebagai usaha untuk sekadar menarik simpatik orang lain, sebagai usaha untuk sekadar pembelaan diri dan menutupi fakta yang sebenarnya terjadi. Dunia saat ini penuh dengan kata-kata atau pembicaraan yang bukan dari keheningan hati sehinga menjadi terlalu banyak beromong kosong. Kitab Amsal mengatakan bahwa “dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran” (Amsal 10:19). Untuk itu dalam berbicara harus ada kontrol, disiplin dan pengendalian diri melalui keheningan hati.

Berbicara merupakan pantulan dari hati seseorang. Hati yang penuh kebencian, kemarahan dan dendam  dapat berbahaya dan melukai bahkan menghancurkan diri sendiri dan orang lain karena akan mengeluarkan kata-kata yang pahit, fitnah, jawaban yang menusuk dan berduri dengan kemarahan yang meledak. St. Benediktus meminta kita semua untuk menghindari pembicaraan atau kata-kata tersebut dengan tujuan agar tidak melukai sesama dan menghindari dosa yang ditimbulkan (Bdk. Markus 7:15). Dalam keheningan, ketika kita menyadari kehadiran Tuhan dalam diri kita dan sesama, akan menghasilkan sikap hormat, kerendahan hati yang diungkapkan dalam tindakan dan juga saat sedang berbicara. Dalam keheningan kita akan mengalami kasih Allah yang adalah sumber kasih sehingga kata-kata yang kita ucapkan merupakan ungkapan dari kasih Allah.

Ia berusaha agar keheningan merupakan bagian dalam rutinitas hidup harian. Dengan menghayati keheningan, di mana ia terjalin relasi dengan Tuhan, ia akan tertolong, terhindar dari pembicaraan yang tidak perlu (gosip). Keheningan membantunya untuk menganalisa diri dan melihat motivasi sebelum berbicara. Keheningan membantunya agar apa yang ia sampaikan sungguh dipikirkan, dengan mempertimbangkan situasi dan waktu, mempertimbangkan apa yang perlu dikatakan dan yang tidak perlu dikatakan. Untuk itu ia sadar diperlukan disiplin keheningan yang terus menerus agar ia masuk dalam keheningan hati di mana Tuhan selalu membimbing untuk menjalani kehidupan harian, termasuk dalam hal berbicara.

 

*Penulis adalah Rahib and Imam – Mount St. Joseph Abbey –Roscrea Co. Tipperary Irlandia. Saat ini sedang berada di Rawaseneng

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

2 Comments

  1. Bagus banget artikel nya. Sangat mengena. Jadi membuat saya rindu akan kesunyian yang sulit di dapat di Jakarta.

    1. Meski hidup di jakarta sulit mendapat kesunyian tapi masih bisa mengelami keheningan batin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *