
Oleh BAVO BENEDICTUS SAMOSIR, OCSO*
Dia terkejut menerima reaksi kemarahan dari seorang saudara sekomunitasnya. Saudara tersebut merasa bahwa ia menyalahkan dirinya meski sesungguhnya ia sama sekali tidak bermaksud untuk menyalahkannya. Ia hanya memberi saran kepada saudaranya apa yang harus dilakukan. Kenyataan ini menyatakan bahwa maksud hati yang baik tidak selalu diterima dengan baik. Ia pun terpancing menjadi marah. Ia yang seharusnya tidak marah menjadi ikut marah. Sikap saudara tersebut menjadi gangguan baginya.
Namun dalam keheningan batinnya, ia kemudian menyadari bahwa dalam dirinya ada kemarahan juga. Saudara tersebut hanya memantik keluar kemarahan yang ada dalam dirinya. Jika ia sungguh tidak memiliki kemarahan dalam dirinya, semarah apapun reaksi saudaranya terhadap dirinya, ia tidak akan terpancing untuk marah. Ia sungguh menyesal.
Mengenal Allah
Tujuan utama kita masuk dalam keheningan batin adalah kita mau menjalin relasi dengan Tuhan. Dan jika kita menjalin relasi pribadi dengan Tuhan dalam keheningan maka kita mengenal Allah. Mengenal Allah bukan sekadar mengetahui tentang-Nya, bukan hanya sebagai pengetahuan tetapi sebagai sebuah pengalaman pribadi di dalam kehidupan dengan peristiwa suka dan dukanya. Dalam 1 Yohanes 4:16b tertulis bahwa Allah itu adalah kasih. Mengetahui Allah adalah kasih tidak otomatis kita mengenal Allah. Mengenal Allah berarti kita mengalami kasih-Nya dan bimbingan-Nya dalam hidup kita. Pada akhirnya mengenal Allah akan memampukan kita menjadi pribadi yang mengasihi sesama, memampukan kita menjalin relasi yang baik dengan sesama. Tanpa buah kasih, kita tidak sungguh mengenal Allah (1 Yohanes 4:8) tetapi hanya sekadar mengetahui Allah sebagai pengetahuan.
Pengenalan kita akan Allah bukan hanya setahun atau sepuluh tahun namun seumur hidup, selama hidup di dunia ini. Hal ini bisa kita usahakan dengan bantuan rahmat Allah di dalam keheningan hati kita, dimana Allah hadir untuk mengenalkan diriNya kepada kita. Allah adalah pribadi yang transenden, yang melampaui diri kita. Kita tidak dapat mengenal Allah secara penuh, namun kita bisa mengusahakan setiap harinya di dalam peristiwa hidup harian untuk mengenal lebih dalam dan lebih dekat, meskipun hanya secara parsial, samar-samar, tidak utuh. Pengenalan akan Allah secara utuh dan sempurna hanya bisa kita dapatkan kelak di keabadian hidup. (1 Korintus 13:12)
Mengenal diri sendiri
Mengenal Allah dalam keheningan akan membawa diri kita mengenal diri. Mengenal diri di hadapan Allah bukan di hadapan diri sendiri. Mengenal diri di hadapan Allah menyadarkan kita bahwa kita adalah gambaran-Nya, citra-Nya, namun gambaran itu tidak utuh dan sempurna karena keberdosaan kita. Dengan kata lain bahwa di dalam diri kita ada hal yang baik namun di lain pihak ada hal yang tidak baik. Penting ditekankan mengenal diri di hadapan Allah bukan di hadapan diri sendiri. Mengenal diri di hadapan diri sendiri akan membawa pada kesombongan yang membanggakan diri (Lukas 18:11-12) atau sebaliknya keputusasaan. Yudas menyadari kesalahannya karena mengkhianati Yesus, namun ia hanya berhenti pada dirinya sendiri tidak sampai pada pengenalan diri di hadapan Allah yang Maha kasih dan pengampun (Matius 22:5).
Mengenal diri di hadapan Allah dengan segala kekurangan dan dosa kita, akan membawa pada pertobatan atau transformasi diri. Hal itu dapat terjadi karena kita mengalami tetap diterima dan dikasihi Allah. Allah tidak pernah menghakimi. Ia selalu mau menerima kita yang mau kembali kepada-Nya. Anak yang hilang menyadari keadaan dirinya yang bersalah dan jauh dari bapanya, mengundang dirinya kembali kepada sang bapa. (Lukas 15: 11-20). Pengenalan diri di hadapan Allah dapat kita alami ketika kita masuk dalam keheningan batin di mana Allah dan diri kita ada di dalam keheningan tersebut.
Mengenal Sesama
Keheningan batin yang membawa pada pengenalan akan Allah yang mengasihi dan pengenalan diri yang dikasihi Allah, pada akhirnya juga membawa diri kita mengenal akan sesama yang juga dikasihi oleh Allah. Kita mengenal sesama tidak hanya pada kelebihan dan kekurangannya, kemampuan intelektualnya atau hal-hal eksterior lainnya, tetapi mengenal sesama atas dasar sama-sama sebagai ciptaan yang segambaran dengan Allah, yang dicintai-Nya meskipun gambaran itu sudah rusak karena dosa. Kita tidak akan menghakimi sesama, namun memahami dan mengasihi sekalipun sesama memiliki kelemahan. Hal itu bisa kita lakukan hanya karena kita lebih dahulu mengalami kasih Allah, meskipun kita memiliki kekurangan dan kelemahan diri.
Pengenalan terhadap sesama yang sama-sama sebagai ciptaan Tuhan akan membuat kita menghargai sesama tanpa memandang status pribadi seseorang. Kita tidak lagi mengkategorikan sesama berdasarkan status mereka. Kita akan lebih mampu menjalin relasi yang baik terhadap sesama, sekalipun disertai tantangan kelemahan dari kita masing-masing sebagai ciptaan yang tidak sempurna. Lebih luas lagi, kesadaran bahwa kita dengan semua ciptaan yang ada di bumi ini sama-sama sebagai ciptaan yang diciptakan oleh Pencipta yang sama yakni Allah, akan menggerakkan kita untuk menjaga dan memelihara bumi dan segala isinya. Untuk itu kita perlu masuk dalam keheningan hati dimana Allah, diri kita, sesama dan seluruh alam ciptaan hadir dalam keheningan itu.
Akhirnya ia menyadari betapa tipisnya kesabaran yang ia miliki. Setipis kertas yang gampang dirobek, meski hanya oleh tangan seorang bayi. Seumpama kerupuk, sangat rapuh dan sangat mudah dihancurkan dengan satu gigitan. Seumpama kapas, sangat ringan dan mudah diterbangkan tanpa arah, meski oleh angin sepoi. Sesungguhnya di balik respon kemarahan dari saudaranya kepada dirinya, Tuhan sedang menyediakan keutamaan kesabaran untuk dirinya, namun ia sia-siakan. Tantangan atau kesulitan hidup bersama, kadang membuatnya lupa masuk dalam keheningan batinnya, sehingga yang muncul ego diri, bukan dirinya yang sejati di hadapan Allah. Ia menyadari bahwa untuk mengetahui sejauh mana ia memiliki keutamaan kesabaran adalah ketika ia menghadapi tantangan dalam hidup harian. Ia tidak mengenal sebesar apa kesabaran yang ia miliki, jika peristiwa hidup yang ia hadapi semua berjalan dengan baik. Maka satu permohonan yang ia sampaikan pada Tuhan agar ia mampu tinggal dalam keheningan batinnya sehingga ia mampu sungguh mengenal Allah, dirinya dan sesama dengan segala macam peristiwa kehidupan yang ia alami dalam perjalanan hidup sebagai pejiarah di dunia ini.
*Penulis adalah Rahib and Imam – Mount St. Joseph Abbey –Roscrea Co. Tipperary Irlandia. Saat ini sedang berada di Rawaseneng.